Selasa, 19 Agustus 2008

Keselamatan Transportasi Udara di Era Persaingan

Musibah kecelakaan pesawat yang terjadi pada tanggal 5 September 2005 sesaat
setelah lepas landas dari Bandara Polonia Medan telah menimbulkan duka cita bagi
bangsa Indonesia dan kerugian materil dan non-materil yang tidak sedikit.

Bagaimana pun juga musibah ini ternyata telah membawa kembali kesadaran terhadap sistem keselamatan dan keamanan operasional transportasi udara. Sistem dan prosedur pengawasan terhadap kelaikan operasional pesawat muncul sebagai pertanyaan mendasar kepada pemerintah dalam beberapa hari terakhir ini.

Pertanyaan ini kemudian direspon positif oleh Menteri Perhubungan dengan melakukan langkah perbaikan di jajaran Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara. Namun demikian, masih terdengar beberapa pendapat yang kembali mengaitkan terjadinya kecelakaan pesawat di Indonesia dengan berkembangnya persaingan usaha di bidang penerbangan dan turunnya harga tiket pesawat untuk kemudian mengusulkan pembatasan tarif bawah.

KPPU sekali lagi ingin menegaskan tentang
tidak diperlukannya tarif batas bawah dalam mengatasi persoalan kecelakaan pesawat di Indonesia. Tarif batas bawah hanya akan membatasi keleluasaan
perusahaan penerbangan kecil dan menengah untuk mengoptimalisasikan penghasilan (revenue) mereka.

Dari perhitungan teori ekonomi, besar kemungkinan perusahaan
penerbangan kecil justru akan mengalami penurunan penghasilan jika tarif batas bawah diberlakukan. Penurunan penghasilan ini dikhawatirkan akan menjadi pemicu semakin buruknya kemampuan perusahaan tersebut melakukan perawatan pesawat terbangnya.

Langkah-langkah yang dilakukan Departemen Perhubungan untuk memperbaiki kinerja pengawasan keselamatan dan keamanan penerbangan diyakini adalah jawaban yang tepat dan akan mampu secara efektif mengatasi masalah ketidaklaikan sarana transportasi udara tanpa meregulasi tarif bawah.

Melaksanakan prinsip ? prinsip
pengawasan di bidang keselamatan dan keamanan sesuai dengan regulasi yang ada memang merupakan agenda utama pemerintah yang sangat penting. Pemerintah sudah semestinya menyusun dan melaksanakan regulasi sistem pengawasan keamanan operasional transportasi udara secara lebih cermat dalam kondisi tingkat persaingan usaha di sektor ini yang semakin tajam. Penempatan SDM yang berkualitas dan dalam jumlah yang cukup dari mulai tingkat pelaksana lapangan sampai dengan pejabat eselon II di bidang pengawasan kelaikan udara sudah
seharusnya mendapat perhatian pemerintah. Kemampuan pengawasan harus mampu mengimbangi pertumbuhan usaha di sektor penerbangan.

Akan dapat dimengerti apabila pada saatnya nanti, karena pengawasan yang ketat dari Departemen Perhubungan, maka biaya perawatan pesawat mungkin saja meningkat. Dan juga dapat dimengerti jika konsekuensinya perusahaan penerbangan harus menaikkan harga tiketnya sebagaimana harga tiket yang naik karena naiknya harga BBM. Semua itu akan berlangsung sebagai proses bisnis yang wajar dan alami.

Oleh karena itu, KPPU juga menghimbau para pelaku usaha di bidang jasa penerbangan untuk mengembangkan bisnisnya dengan akal sehat secara dewasa. Perusahaan penerbangan harus memahami semua kewajiban yang harus dipenuhi untuk terjun memasuki dunia bisnis penerbangan yang telah memiliki standar yang lengkap dan jelas baik di tingkat domestik maupun internasional. Profesionalisme sebagai pengusaha jasa penerbangan, bukan jasa angkutan umum biasa, diperlukan
tidak hanya untuk kepentingan bisnis semata mengejar keuntungan, namun juga untuk kelanggengan dan citra perusahaan di mata konsumen. Hanya menerbangkan pesawat yang berkondisi prima dengan awak pesawat yang juga prima merupakan bagian terpenting dari profesionalisme di bidang industri penerbangan.

Perlu dipahami bahwa persaingan usaha yang sehat di dalam negeri adalah upaya membangun profesionalisme para pelaku usaha dalam membangun daya saing mereka. Dengan daya saing yang tinggi, para pelaku usaha Indonesia akan siap menghadapi tantangan persaingan global. Di bidang penerbangan, hal ini sudah mulai kita rasakan dengan masuknya penerbangan murah dari luar negeri yang mau tidak mau menjadi tantangan bagi pengusaha Indonesia. Pengusaha kita harus dapat
menghitung secara cermat bagaimana bertarif murah namun tetap berpenghasilan tinggi.

Penghasilan yang merupakan perkalian dari besaran tarif dengan jumlah
penumpang dapat diperhitungkan nilai optimalnya melalui pendekatan teori ekonomi dan manajemen. Tarif yang tinggi akan mengurangi jumlah penumpang, namun tarif yang terlalu rendah yang tidak sebanding dengan tambahan jumlah penumpang, akan mengurangi penghasilan.

Sementara itu, aspek keamanan dan keselamatan penumpang yang harus dilaksanakan terlepas dari berapa besar tarif yang ditetapkan, merupakan biaya tetap (fixed costs) yang harus dapat terpenuhi dari penghasilan perusahaan. Keselamatan dan keamanan penerbangan adalah semisal perawatan mesin produksi untuk suatu pabrik yang jika tidak dilakukan dengan baik akan menyebabkan mesin tersebut rusak, tidak mampu lagi bekerja menghasilkan produk yang diinginkan.

Penerbangan
berbiaya murah (low costs carrier/LCC) merupakan gejala yang berlaku secara global. Perusahaan penerbangan di berbagai negara menjalankan strategi LCC agar mampu bersaing dengan penerbangan besar yang telah mempunyai citra yang kuat di mata konsumen. Namun demikian gejala ini tidak mempunyai dampak apapun pada aspek keselamatan dan keamanan penerbangan.

Bercermin kepada musibah kecelakaan pesawat di Medan yang baru lalu, hendaknya kita semua dapat melakukan introspeksi melihat kekurangan dan memperbaikinya secepat mungkin. Pemerintah harus menyadari peran dan tugasnya sebagai regulator untuk memastikan sistem dan prosedur pengawasan keselamatan dan keamanan penerbangan terlaksana dengan baik. Hal ini dapat dilakukan tanpa menggunakan instrumen regulasi tarif atau harga tiket.

Sementara itu, pengusaha penerbangan
juga harus memperbaiki manajemen dan teknologi pengelolaan usahanya agar dapat menumbuhkan daya saing tinggi dengan tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan yang juga tinggi. Tidak ada kaitan antara tarif yang rendah dengan masalah keselamatan dan keamanan penerbangan jika masing-masing pihak melaksanakan tugasnya dengan baik. Dengan cara ini maka industri jasa transportasi udara akan dapat berkembang sesuai kebutuhan masyarakat.

Para stakeholders transportasi di Indonesia hendaknya memahami bahwa tidak ada sarana transportasi yang lebih sesuai bagi negara kepulauan seperti kita selain transportasi udara. Hanya transportasi udara yang memungkinkan hubungan antar kota antar pulau berjalan secara cepat, efektif dan efisien menjangkau dari Sabang sampai Merauke. Transportasi darat hanya berfungsi sebagai pendukung transportasi rakyat yang murah dan transportasi jarak dekat. Sedangkan
transportasi laut yang cenderung lambat akan lebih sesuai untuk transportasi wisata bahari dan transportasi barang.

Yield Management

Walau pelaku yield management ini sudah banyak tapi yang mengembangkan algoritma masih jarang.
Best practice untuk penentuan jumlah seat ialah berdasarkan intuisi dari sang RC (Reservation Control) dari waktu ke waktu berdasarkan past historical data dan price competition.

Faktor experience sangat dominan disini. Tantangannya adalah membuat sistem yang memasukkan tacit knowlegde experiencei.
CRS is allowed up to 14 subclasses in the availability display. Dimana masing2 subclasses nested terhadap lainnya. Algoritma nesting pun berkembang dari tiap2 CRS. Mekanisme nesting misalkan sudah given dari CRS dan tinggal menentukan fare dan kuota tiap subclass tersebut.

Penentuan kuota per subclasses, faktor yang berkaitan (selain history data) adalah:

1. Pax decision window characteristic (tiap rute):

schedule preferences,
willingness to pay, brand, khusus untuk international ada faktor fare rules restriction. Ada penelitian yang mengungkapkan bahwa dikotomi antara business traveler dengan leisure menjadi blur karena sifatnya yang fuzzy. Beberapa rute domestik menunjukkan gejala ini.

2. Karakteristik rute yang dimiliki.

sebagai referensi bisa dicari tentang PODS model (passenger origin destination
simulator)

3. past historical data:

noshow as well as goshow rate, late cancellation, booking patern.

Semua kemudian dilakukan forecasting/demand modeling. Lalu, penentuan pricing tiap subclasses akan bergantung juga pada struktur biaya airlines tersebut. Salah satu variabel nya adalah komposisi antara fixed dan variable cost. Dari komposisi itu akan ada perimbangan antara kuota low fare dan high fare. Pendekatan dengan menggunakan expected marginal seat revenue jg ada yg pakai.

Dari sini juga landasan dilakukannya overbooking. Hanya harus dimasukkan lagi probability utk show up semua dan resiko/cost yang ditanggung dgn lost krn empty seat. Bagi airlines domestik, jika terjadi overbooking uang atas pembelian ticket akan di kembalikan atau ,enunggu nunggu next flight without any compensation, simply no cost.

Faktor history dan forecasting ini di iterasi untuk menentukan hasil akhir berupa kouta untuk mencapai optimum result. Saya membayangkan fungsi determinasi kouta yang bergerak sangat dinamik ini dilakukan oleh mesin/server. itu akan sangat menarik. Intervensi human diperkecil.

Mungkin jika topik ini untuk lebih menarik lagi, yield management untuk multi leg bisa dijajaki jg dgn lab transport nya Teknik Penerbangan ITB untuk riset bersama.

Ahmad Ullya

Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara Belum Optimal

Berita kecelakaan pesawat udara semakin sering "menghiasi" media massa.
Indonesia termasuk salah satu negara yang beberapa tahun belakangan ini tidak
lepas dari isu keselamatan transportasi udara, hingga Uni Eropa memberlakukan
larangan terbang bagi pesawat-pesawat dari negara kita.

Dari serentetan kejadian itu tampaknya belum ada upaya dari otoritas untuk
melakukan investigasi secara komprehensif guna meningkatkan keselamatan
penerbangan. Salah satu bentuk belum optimalnya pelaksanaan investigasi itu
belum adanya keseragaman konsep dan pemikiran tentang proses investigasi. Fokus
investigasi cenderung mencari kesalahan individu (active error) dan masih sangat
sedikit menyentuh pada keterlibatan organisasi (latent error).

Sebagai contoh, perdebatan dalam penahanan Pilot Marwoto Komar dalam kasus
kecelakaan pesawat Garuda di Bandara Adisutjipto, Maret tahun lalu, menunjukkan,
belum adanya proses penyelesaian kasus yang terintegrasi antarberbagai sektor
yang terlibat, seperti, Kepolisian, organisasi profesi/pilot, dan Komite
Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT).

Dalam pemikiran awam memang seolah-olah terlihat bahwa faktor manusia, dalam hal
ini kru pesawat, yang paling bertanggung jawab terhadap setiap kejadian. Namun,
berbagai teori dan pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa faktor manajemen
menjadi predisposisi utama mengapa awak kru sampai melakukan kesalahan.

Yang terpenting saat ini adalah melihat kembali dan menetapkan prosedur baku
dalam investigasi kecelakaan pesawat serta hasil apa yang diharapkan dari
investigasi tersebut. Mengingat penerbangan adalah masalah lintas batas dan
antarnegara maka prosedur harus mengacu kepada aturan internasional.

Dalam part 2A dari Air Navigation Act (1920) yang diperbarui dalam TSI Act 2003
dan International Civil Aviation Organization (ICAO) Annex 13 disebutkan, tujuan
utama dari Aviation Safety Investigations untuk meningkatkan keselamatan
penerbangan dan bukan untuk mencari siapa yang disalahkan atau
dikambinghitamkan.

Lebih jauh, fokus utama investigasi untuk mengetahui kondisi yang mendasari
terjadinya kecelakaan, mengidentifikasi, dan menilai adanya faktor-faktor yang
berperan serta mengidentifikasi dan menilai adanya kekurangan dalam manajemen
keselamatan di tingkat organisasi. Hasil yang diharapkan adanya tindakan dari
otoritas lokal, rekomendasi dan petunjuk untuk keselamatan penerbangan serta
adanya laporan kepada publik.


Manusia dan Organisasi

Dalam keselamatan penerbangan satu hal yang penting diperhatikan, yakni human
factors, suatu disiplin ilmu dan teknologi yang melibatkan faktor psikologi,
ergonomi, fisiologi, dan disiplin ilmu yang lain. Secara kasar hal ini
berhubungan dengan beban kerja, pemrosesan informasi, kesiagaan terhadap situasi
darurat, pembuatan keputusan, kelelahan, resiko, tekanan, kesalahan, kondisi
laten, ingatan, perhatian, skil, peraturan, pengetahuan, prosedur, pelatihan dan
lain sebagainya. Hal-hal tersebut sangat penting dan menunjukkan bahwa setiap
insiden atau kecelakaan tidaklah murni akibat faktor tunggal melainkan hasil
akhir dari suatu proses yang saling mempengaruhi, yang melibatkan faktor manusia
dan organisasi.

Sebagai contoh, pilot yang terbukti melakukan kesalahan karena mengantuk atau
kelelahan tidak bisa disalahkan kalau sistem pengaturan jadwal terbangnya tidak
tepat atau terlalu padat atau pun tidak siap karena ada masalah psikologis atau
kesehatan yang tidak mampu dideteksi oleh organisasi tempatnya bekerja.

McIntyre dan Stone (1985) memaparkan salah satu hasil penelitian yang mendukung
pemikiran di atas. Mereka menemukan bahwa jika berbagai faktor organisasi dalam
penerbangan (seperti penilaian resiko di tingkat manajerial, perusahaan
penerbangan, asosiasi profesi, kondisi airport) diperhitungkan dalam analisis
terhadap suatu kecelakaan pesawat udara, maka angka statistik yang sebelumnya
menyatakan 65-70 persen kecelakaan karena murni kesalahan tunggal kru pesawat
turun menjadi di bawah 13 persen.

Semua hal harus ditelusuri secara menyeluruh, baik dari faktor kesalahan
individu maupun organisasi atau perusahaan penerbangan, untuk mendapatkan solusi
guna peningkatan keselamatan. Melemparkan kesalahan hanya kepada individu memang
tidak akan menyelesaikan persoalan karena penyelidikan cenderung dihentikan
untuk menutupi keseluruhan faktor penentu yang mungkin berpengaruh. Dengan kata
lain, hal tersebut tidak akan meningkatkan keselamatan penerbangan di masa yang
akan datang.

Beberapa hal yang perlu dijadikan catatan adalah faktor yang terlihat jelas
berhubungan dengan kesalahan manusia dan tidak selalu menjadi faktor yang paling
signifikan. Human error juga tidak bisa disimpulkan secara sederhana. Hendaknya
pula berhati-hati dalam menyimpulkan dan mengklasifikasi masalah. Secara
psikologis harus dipahami bahwa manusia tidak selalu bertindak seperti apa yang
mereka harapkan, khususnya dalam situasi kritis.

Di tingkat manajemen, beberapa isu yang perlu diperhatikan dalam menjaga
keselamatan penerbangan. Di antaranya, apakah perusahaan penerbangan sudah
secara aktif mempelajari kelemahan, apakah sudah mengevaluasi pengendalian
resiko sebelum dan sesudah melakukan perubahan, apakah sudah memanfaatkan sumber
daya dan ahli, atau terlalu bergantung pada kemewahan teknologi? Yang paling
penting, apakah perusahaan tersebut sudah memiliki program untuk manajemen
resiko yang efektif?

Lalu bagaimanakah peranan pemerintah dalam hal ini? Sudahkah departemen terkait
menjadi mediator atau fasilitator atau bahkan leading sector yang bisa melihat
dan menyelesaikan masalah keselamatan secara lebih menyeluruh? Sejauh mana
kontrol terhadap perusahaan penerbangan dalam menerapkan standar baku?

Masih banyak pekerjaan rumah untuk meningkatkan keselamatan penerbangan di masa
yang akan datang. Otoritas terkait hendaknya tanggap dan tidak melakukan
tindakan korektif yang sifatnya hanya di permukaan dan tidak menyentuh akar
permasalahan. Mudah- mudahan ada tindakan nyata, sehingga tidak akan terdengar
lagi berita yang berhubungan dengan kecelakaan pesawat.


Penulis adalah Dosen PSIKM Unud dan memiliki Australian Certificate of Civil
Aviation Medicine (ACCAM)

Aircraft Loading errors that cause fatality

Safety issues' dari sudut pandang prosedur muat kargo di pesawat (Aircraft cargo loading procedures) dimana menurut statistik kecelakaan pesawat udara dari FAA sekitar 80% fatal accidents
terjadi shortly before, after or during take-off and landing. Sering disebut juga 'Human error'.

Dari sekitar hampir 1900 kali fatal accidents selama periode
1950 sampai 2006, sekitar 10% disebabkan oleh yang disebut 'other human error' termasuk di dalamnya kategori 'Improper loading of aircraft'.

Saya mencoba memberikan 'wake-up call' tanpa tendensi menggurui atau mencurigai adanya
praktek bisnis 'tidak sehat' yang berpotensi membahayakan keselamatan penerbangan.

Saya mengamati harus dilakukan improvisasi pembenahan pelaksanaan manajemen kargo karena masih banyak pelanggaran yang terjadi di lapangan terutama di terminal kargo di bandara-bandara Indonesia. Diantara pelanggaran yang sering terjadi antara lain tidak dilengkapinya kargo dengan dokumen Pemberitahuan Tentang Isi (PTI) sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan sipil yang berlaku dan adakalanya tidak adanya rincian isi barang dalam surat muatan udara (SMU) terutama barang-barang konsolidasi.

Ironisnya sering didapati adanya perbedaan (descrepancies) angka antara hasil bukti timbang barang (BTB) dengan aktual berat barang tersebut. Angka yang tertera pada BTB inilah yang akan di input oleh Load Master untuk perhitungan Load Sheet.

Load sheet adalah metode perhitungan
'Weight and Balance' pada pesawat dengan faktorisasi 'Weight Distribution' dan 'Center of Gravity' pesawat berdasarkan 'Aircraft Structural Limitations' yang
dikeluarkan oleh pabrikan pesawat.

Apa bahayanya bila terjadi kesalahan pada perhitungan tersebut ? yang jelas disaster dengan korban nyawa yang tidak sedikit ! Setiap pesawat memiliki performance characteristic berbeda-beda termasuk limitasi dalam daya angkut maksimum. Banyak kasus cargo overweight yang cukup signifikan baik yang diketahui atau tidak oleh pilot yang mendekati 'titik limitasi' pesawat.

Sejauh ini belum ada sanksi dari regulator untuk pelanggaran terhadap maskapai penerbangan, warehouse operator, handling agent atau shipper yang terlibat manipulasi dokumen Pemberitahuan Tentang Isi (PTI) atau Dokumen Bukti Timbang Barang (BTB) yang tidak sesuai dengan yang tercatat di surat muatan udara (SMU) maskapai penerbangan.

Belum ada undang-undang pidana yang mengatur masalah ini,
pemerintah sebagai regulator bisanya cuma 'menghimbau kesadaran' dari pihak-pihak yang terkait Sebagai perbandingan, di negara-negara lain yang terbukti adanya 'permainan' seperti ini sanksinya pidana berat.

Sebagai orang yang concern dengan penerbangan Indonesia, saya menghimbau agar luka atas kehilangan keluarga, sahabat atau kerabat akibat kecelakaan fatal seperti yang terjadi pada Mandala Airlines flght 091 tanggal 5 September 2005 yang merenggut 148 jiwa tidak akan terulang lagi di Indonesia.

Donnie Armand Hamzah
Airbus Industry Dubai

Dampak Tingginya Harga Minyak Dunia.

Dunia penerbangan sudah menjadi ‘passion’ yang mendrive perjalanan karir saya walaupun sampai saat ini tidak banyak kontribusi pemikiran yang telah tersumbang. Sebagian besar kerja jauh dari Tanah air (beberapa kali pernah di Airlines lokal) tapi saya selalu mengikuti perkembangan dunia penerbangan dalam negeri yang kadang-kadang menggembirakan tapi gak jarang juga mencemaskan terutama yang menyangkut ‘safety issues’ dan ‘business ethics’.

Saat ini saya bekerja di Dubai, tepatnya di Airbus Middle East, Divisi Airline Strategy, bagian dari consulting depertment Airbus untuk area Middle East, Africa, Indian sub-continent dan Eastern Europe. Banyak pelajaran yang saya dapat disini yang saya hendak di share dengan rekan-rekan sekalian di Tanah air, terutama ‘what are the do’s and the don’ts dalam industri ini.

Saya ingin sharing dikit mengenai situasi dunia penerbangan global yang lagi ‘kurang asyik’ akibat tingginya harga minyak dunia.

Dua minggu belakangan ini saya bikin ‘riset kecil-kecilan’ mengenai dampak kenaikan harga minyak dunia yang sampai hari ini mendekati level US$150 per barel. Kenapa hal ini penting saya utarakan ? karena ‘Fuel is being the lifeblood of Aviation industry’.

Seminggu yang lalu, CEO IATA Giovanni Bisignani mengungkapkan ‘The Aviation industry is engulfed in a perfect storm’…ngeri juga mendengernya. Beliau
biasanyaselalu optimis tentang kondisi transportasi udara… namun kali ini terkesan skeptis dan berbau pesimis. Apa gerangan yang membuat
kekhawatiran Beliau ?

Kita semua tahu setiap industri pasti ada ‘Downturns’ sebagai siklus periodik, begitu juga penerbangan. Seingat saya ‘downturns’ terakhir industri ini terjadi pasca 9/11 diikuti oleh “SARS outbreak’ sekitar akhir 2002 dan perang Irak. Periode ini tercatat sebagai salah satu ‘masa kelam’ penerbangan dunia. Padahal waktu itu harga minyak masih US$25 per barel ! Menurut Bisignani lagi, krisis kali ini akan lebih parah dibandingkan 9/11, SARS dan perang Irak digabung sekaligus.

Saya bukannya mau nakut-nakutin, karena saya concern dengan perkembangan dunia penerbangan akhir-akhir ini. Menurut catatan saya, dalam 6 bulan terakhir tingginya harga minyak telah membantu mematikan 24 Airlines, yang berakibat sekitar 600 pesawat di Grounded termasuk 100 pesawat Boeing 737 NG Ryanair, perusahaan LCC yang paling agresif di dunia. Begitu juga United Airlines yang berencana merumahkan 950 pilot nya, menjadikan total hampir 4000 pilot kehilangan pekerjaannya.

Sebegitu parahnya kah krisis kali ini ? Probably this situation will be far more serious than we might ever think !

US$140+ per barrel corresponding to higher operating costs—higher ticket prices—drive lesser traveller to fly (Less demand) Less demand memaksa airlines reducing fleet sehingga reducing schedules/networks mengakibatkan reducing profitability akhirnya reducing salaries or reducing people who work for Airlines.

Bayangkan betapa luas dan dalamnya dampak yang bisa terjadi dari krisis ini. Stake holders suatu airlines terdiri dari : perusahaan itu sendiri dengan karyawannya, penumpang, suppliers, MROs, travel agents, cargo agents, ground handling, catering, fuel providers, hotel, taksi, perusahaan leasing pesawat, sampe calo dan porter di airport.

Siapa yang paling terasa dampaknya? Full-service carriers atau LCCs? Dua-duanya! IATA mencatat penurunan drastis penumpang selama 6 bulan terakhir. Business travellers yang biasanya duduk di first class sudah mulai down-graded ke business class. Begitu juga yang biasa di business class sekarang sudah mulai berpikir untuk duduk di ekonomi, dan yang di ekonomi?, turun ke LCC! Bagaimana
dengan penumpang LCC ? mereka sudah mulai beralih ke moda transportasi lainnya seperti darat dan laut.

Tidak ada yang bisa memprediksi kapan krisis ini berakhir, Analis dari perbankan, Aircraft manufacturer, airlines dll memperkirakan bahwa harga minyak akan terus ‘rally’ hingga mencapai US$200 per barrel pada akhir tahun ini dikarenakan timpangnya antara produksi 30 juta barel/hari versus konsumsi 35 juta barel/hari.

Padahal British Airways dan Ryanair menyatakan jika harga minyak bertahan di level US$120 per barel, they’ll be operating at a loss! Bagaimana dengan Airlines di Indonesia ? Padahal customer behaviour dari penumpang di Indonesia sangat ‘Price-sensitive’. Intinya susah untuk dibayangkan jika harga minyak menyentuh level US$200 per barel. What about fuel hedging ? Trust me there’s nothing much we can do about it.

Laporan terakhir sudah ada beberapa Airlines di Amerika yang sudah meminta perlindungan
kebangkrutan (chapter 11) atau berencana merger, begitu juga di
Eropa dan Asia.

Beberapa riset untuk mencari pengganti fossil energy sedang dilakukan termasuk oleh Sir Richard Branson pemilik Virgin Atlantic dengan bio fuel nya. So far sudah beberapa testing dilakukan, tapi hasilnya belum cukup menggembirakan karena bahan bakar yang dihasilkan oleh minyak kelapa ini hanya bisa mengkontribusi 20 persen dari total kebutuhan jet fuel konvensional.

Yang menarik, untuk
memenuhi 20 persen kebutuhan jet fuel dunia, diperlukan lahan sebesar 5 kali Negara Belgia untuk menanam pohon kelapa nya. Let’s share how do we cope with this turbulence skies… So ladies and gentlemen, fasten your seatbelt, bumpy ride ahead !

Donnie Armand Hamzah
Airbus Industry Dubai

Everyday Low Fare (ELF) Strategi Malaysia Airlines Menuju Penerbangan Murah dan Aman

Monday, June 09, 2008 21:47:56 Klik: 79

Area Manager Indonesia Malaysia Airlines, mengatakan penerbangan US$0 ditawarkan
bagi keberangkatan dari Jakarta, Medan, Yogyakarta, Surabaya ke Kuala Lumpur.

Ini pertama kali Malaysia Airlines yang merupakan full sercives airlines menjual
tiket murah membuat strategi ELF, katanya dalam konferensi pers, hari ini.

Menurut dia, program ELF itu menyediakan dua juta kursi senilai US$0 yang dapat
di-booking di seluruh dunia. Selain itu, penerbangan ke Kuala Lumpur bisa
dikombinasikan dengan penerbangan lanjutan ke beberapa kota di China atau
Australia.

Khusus penerbangan Denpasar-Kuala Lumpur dijual mulai US$39 dan dapat
melanjutkan penerbangan lanjutan ke kota di China atau Australia. Pemesanan
tiket hanya bisa dilakukan melalui internet yang dibuka mulai hari ini hingga 22
Juni untuk penerbangan 15 Juli-14 Desember.

Strategi pemasaran Malaysia Airline ini sudah dilakukan beberapa kali dan
memberikan kontribusi positif terhadap MAS. Strategi yang ditempuh adalah
melalui efisiensi biaya pada beberapa hal.Despite the slight drop forecasted in
domestic yields and higher fuel costs, the additional revenue from the higher
load factor should more than offset the higher costs, kata OSK Research Sdn Bhd
associate director Chris Eng kemarin.

Salahsatu pemangkasan biaya yang sangat besar adalah dalam sistem pemesanan
tiket. Pemesanan tiket dalam strategi pemasaran yang dilaksanakan MAS ini adalah
pemesanan tiket secara online. Salahsatu biaya yang dipotong adalah komisi agent
/ travel tour yang memiliki nilai yang cukup besar.

Dengan strategi yang dijalankan ini, target net profit dari MAS adalah sebesar 3
% pada tahun 2008, 3,4 % pada tahun 2009 dan 2,8 % pada tahun 2010.

Malaysia Airlines saat ini memberikan layanan EFL sebesar 30 % dari penerbangan
Malaysia Airlines dengan tujuan domestik, termasuk didalamnya tujuan dekat
seperti Indonesia. Dalam penerapannya tentu saja Malaysia Airlines melengkapi
layanan dengan add on services sehingga penumpang lebih mudah dalam menjalankan
aktivitas di tempat tujuan dan bagi Malaysia Airlines juga menguntungkan dengan
penyediaan layanan add on service tersebut.

Bagaimana dengan penerapan pada maskapai penerbangan di Indonesia? Penerapan
strategi ini dapat diterapkan pada semua maskapai penerbangan. Namun perlu
diingat bahwa EFL tidak mengesampingkan keselamatan penumpang. Artinya bahwa
kesiapan penerapan strategi EFL hanya dapat diterapkan untuk maskapai dengan
pesawat - pesawat yang relatif baru yang memerlukan biaya perawatan murah.
Efisiensi biaya perawatan pada pesawat tua cenderung mengabaikan keselamatan
penumpang.

Selain itu pemilihan media promosi yang tepat juga sangat menentukan. Dalam
penerapan strategi EFL MAS ini, mereka hanya melayani pemesanan dan pembelian
tiket secara online. Fungsi agen sebagai kepanjangan tangan dalam berpromosi
dihilangkan. Perlu media promosi baru yang tepat dalam menjangkau konsumen.
(dari berbagai sumber).

Pesawat Terlambat, Penumpang Dapat Kompensasi

18/06/2008 08:06:04 JAKARTA (KR)

Para pengguna jasa penerbangan dapat menuntut kompensasi pada

maskapai penerbangan yang mengalami keterlambatan penerbangan (delay), lebih
dari 30 menit. Regulasi yang dikeluarkan pemerintah ini selain melindungi calon
penumpang, juga mendorong kalangan airlines untuk lebih disiplin terbang sesuai
jadwal.

Ketentuan yang mengatur hak-hak konsumen itu, tertuang dalam revisi Keputusan
Menteri Perhubungan (KM) No 81 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan
Udara. "Dengan adanya regulasi ini, maskapai penerbangan tidak bisa lagi lepas
tanggungjawab dan membiarkan penumpangnya telantar di bandara bila pesawatnya
mengalami keterlambatan," kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Dephub Bambang S
Ervan di kantornya Jalan Medan Merdeka Barat Jakarta, Selasa (17/6).
Menurut Bambang, pemberian kompensasi ini untuk menghapus sikap arogan maskapai
penerbangan kepada para penumpangnya. Sehingga muncul kesan masalah
keterlambatan jadwal penerbangan seolah sudah menjadi kebiasaan buruk. "Kami
ingin menghentikan kebiasaan buruk itu. Sekarang ini KM 81 sudah selesai
direvisi dan tinggal ditandatangani menteri," jelasnya.
Bambang menambahkan, melalui payung hukum tersebut para penumpang bisa menuntut
haknya sebagai penumpang kepada maskapai bersangkutan. Dalam KM itu diatur hak
konsumen yang mengalami keterlambatan penerbangan selama 30-90 menit, 90-180
menit dan di atas 180 menit. Untuk keterlambatan penerbangan selama 30-90 menit,
konsumen berhak mendapatkan makanan ringan (snack) dan minuman. Bila terlambat
90-180 menit, maskapai wajib memberikan snack, makan besar dan pengalihan
penerbangan berikutnya.
Sementara untuk keterlambatan di atas 180 menit, maskapai wajib memberikan
akomodasi berupa fasilitas menginap di hotel.
"Semua hak konsumen itu bisa langsung ditagih di lapangan kepada maskapai
bersangkutan saat peristiwa keterlambatan penerbangan terjadi," jelas Bambang.
Namun, kewajiban memberi kompensasi tidak berlaku bagi keterlambatan karena
faktor eksternal. Di antaranya, masalah cuaca, akses bandara yang tertutup
karena kabut tebal, cuaca buruk dan banjir, yang penyebabnya bersifat force
majeur.

Airlines find ways to cut costs

As they try to cope with soaring and unpredictable fuel prices, airlines are
scrambling to cut money-losing routes, park fuel-guzzling airplanes, boost fees
and charges and reduce any unnecessary expenses. Here are some of the steps
carriers outlined when they talked to industry analysts this month:

American Airlines
Capacity: It will reduce mainline capacity 1.4 percent in 2008 vs. 2007, down
3.6 percent on domestic routes. In the fourth quarter, domestic capacity will be
down 4.6 percent from a year earlier. American previously planned to increase
its capacity 0.2 percent in 2008.
For American Eagle and other regional partners, capacity will be cut 2.1 percent
vs. a February estimate of an 0.6 percent decline.
Fleet: It will ground an unspecified number of MD-80s and three Airbus A300s in
2008. It will also speed up delivery of more efficient Boeing 737-800s, with
plans to take delivery of 34 in 2009 and 36 in 2010.
Costs: It implemented a hiring freeze on management and support staff April 1.

AirTran Airways
Capacity: Its capacity in fourth quarter 2008 and all of 2009 will be unchanged
year over year. AirTran previously reduced its annual growth rate from 20
percent down to 10 percent.
Fleet: It will add four airplanes in 2008 and finish the year with 141 rather
than the originally planned 147. It will end 2009 with 141 aircraft rather than
161 originally planned.
Capital expenditures: AirTran is cutting non-aircraft spending from $25 million
to $30 million to $12 million to $18 million.
Finances: It plans to raise $150 million from debt and equity offerings.

Alaska Air Group
Fleet: It will park the last of its 10 fuel-inefficient McDonnell Douglas MD-80
aircraft by Sept. 30, three months ahead of schedule. In 1995, Alaska flew 42 of
the MD-80s, which represented 60 percent of its fleet. But it made the decision
several years ago and go to an all Boeing 737 fleet.
It is also converting regional carrier Horizon Air to a fleet of 48 Bombardier
Q400s turboprop airplanes rather than a mix of three aircraft types and 65
airplanes, including 20 Bombardier regional jets over the next two years. The
smaller fleet will require fewer employees.
New and higher fees: On May 21, booking fees through reservations and airport
staff will go from $10 to $15; overweight bags will jump from $25 to $50; pet
transportation will cost $100, up from $75; handling unaccompanied children will
cost $75, up from $30 to $60 on nonstop flights and $60 on connecting flights.
The airline will start charging charge coach passengers $25 for checking a
second bag sometime this summer.
Route system: Alaska and Horizon likely will move up to 5 percent of their
existing capacity to better routes and markets this fall. This spring and
summer, it is deploying some aircraft flying some West Coast routes to
transcontinental and Hawaiian service.

Continental Airlines
Fleet: Continental is parking 14 older Boeing 737 aircraft as they come off
lease between September and April, in addition to 34 Boeing 737s previously set
to be removed from service through next year.
Capacity: Mainline capacity will be down 5 percent on an annualized basis
starting in the fall. Regional jet capacity will also be reduced by some amount
this fall.

Delta Air Lines
Fleet: Delta is removing 15 to 20 of its MD-80s, Boeing 757s and Boeing 767s and
70 of its 50-seat regional jets from its operations by year's end.
Capacity: It expects system capacity to be flat to down 2 percent in the second
half of 2008, with domestic capacity to shrink 9 percent to 11 percent.
Employment: It's cutting 700 administrative jobs and 1,300 front-line jobs
through normal attrition, voluntary severance and early retirement.
Capital spending: It expects to spend $1.3 billion, down $200 million.
Finances: It expects to produce $150 million through cuts in capital spending,
higher productivity and new revenue sources this year, or $350 million on an
annual basis.

JetBlue Airways
Capacity: The airline expects to grow 3 percent to 5 percent in 2008, down from
the up to 8 percent expansion originally planned this year. In the fourth
quarter, capacity will drop 2.8 percent below the same period in 2007, the first
year-over-year capacity decline in JetBlue's eight-year history.
Capital spending: It's been cut to $150 million, down from $150 million.
Fees and charges: JetBlue is implementing a $20 charge for a second checked bag
as of June 1.

Northwest Airlines
Capacity: It will cut domestic capacity by about 5 percent compared to its
original plans.
Fleet: It plans to park 15 to 20 additional aircraft, including DC-9s, Boeing
757s and Airbus A319s and A320s.
Fees and charges: It will charge coach customers $25 for a second checked bag
and $100 for additional bags and double fees for overweight bags. Overweight
bags will cost $50 each way, up from $25. It has begun charging passengers who
want to select particular seats on international flights or within Asia.
Cargo: It has suspended cargo service to Bangkok, Thailand and Singapore, and
will suspend service this summer to Guangzhou, China and Taipei, Taiwan. It is
retiring three freighters.
Capital expenditures: It's cutting nonaircraft spending to $150 million, down
$100 million.
Finances: It is trying to add $100 million annually through new charges, higher
productivity and lower costs.

Southwest Airlines
Capacity: It will cut 20 unproductive routes in August. It expects
fourth-quarter capacity to be up 1.4 percent over fourth quarter 2007, compared
to a previous projection of 4.2 percent and its growth in recent years of 8 to
10 percent. Capacity in 2009 is expected to climb 2 percent to 3 percent,
although it may wind up being flat compared to 2008.
Fleet: Southwest will take delivery of 14 aircraft in 2009, compared to the 28
previously ordered. For 2010, Southwest will have 22 airplanes on firm delivery
or with options to buy, down from 34. It intends to buy 29 aircraft in 2008 but
get rid of 22 other airplanes for a net growth of seven airplanes. It previously
cut back plans to grow by 34 aircraft in 2008. It may keep some of the 22
airplanes if other airlines' shrinkage provides growth opportunities.

United Airlines
Capacity: By the fourth quarter, capacity in domestic markets will be about 9
percent lower than a year earlier, which itself was down 5 percent from 2006.
Fleet: It will park 30 older, less efficient airplanes.
Fees and charges: It is implementing a $25 charge for a second checked bag.
Cost-cutting and layoffs: United will eliminate 500 salaried and management jobs
and 600 other jobs this year. It has targeted $200 million in non-fuel expenses
on top of a $200 million goal previous announced.
Capital spending: The $650 million in planned expenditures has been cut by $200
million.

US Airways
Capacity: It plans to reduce capacity by up to 4 percent in the second half of
2008.
Fleet: US Airways is returning six Boeing 737-300 aircraft when leases expire in
the latter part of 2008 and early 2009.
Fees and charges: It estimates it will raise $70 million this year from such
steps as charging $25 for a second checked bag, charging passengers for the
right to pick the best seats when they make seating assignments, etc.
Fares: It is modifying its fare structure to set floors on pricing, based on
distance. For example, it says it won't offer sale fares below $69 for flights
of less than 500 miles, with similar floors on longer-distance flights.
Capital spending: It cut $75 million from its capital expenditures for the
remainder of the year.

SOURCES: The airlines, Dallas Morning News research

Jangan Salahkan Regulasi...

Kecelakaan Adam Air

Tidak terkontrolnya maskapai penerbangan yang menyelenggarakan low cost carrier
dianggap satu penyebab seringnya musibah kecelakaan.

Indonesia membuka kelender baru 2007 dengan suasana berkabung. Mendung
menggelayut tatkala Pesawat Boeing 747-400 dengan nomor penerbangan DHI 574 Adam
Air jurusan Surabaya-Manado yang berpenumpang 102 orang dilaporkan hilang.
Sampai saat ini bangkai pesawat belum ditemukan. Hanya ada satu penjelasan yang
bisa dikemukakan. Pesawat hilang setelah dihantam angin kencang. Setidaknya itu
komunikasi terakhir pilot pesawat dengan petugas air traffic controller (pemandu
lalu-lintas udara) di Bandara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Tidak lama berselang, mendasarkan pada informasi Gubernur Sulawesi Barat Anwar
Adnan Saleh, keesokan harinya (2/1), Menteri Perhubungan Hatta Rajasa menyatakan
Pesawat jatuh di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat sekaligus melansir
data sementara tewasnya 90 korban dan 12 orang dinyatakan selamat. Di titik ini,
meski duka menyergap, setidaknya ada kejelasan soal status pesawat dan korban.

Namun, situasi menjadi tidak menentu saat Pemerintah meralat pernyataan
sebelumnya. Informasi lokasi dan jumlah korban yang terlanjur dilansir media
massa dinyatakan tidak benar. Kepada hukumonline, anggota Komisi V DPR Andi
Jalal menceritakan pengalamannya saat turun ke lokasi yang awalnya dinyatakan
sebagai lokasi kejatuhan pesawat.

Saat itu tanggal 2 Januari ketika Andi dan beberapa anggota Komisi V berangkat
ke Polewali Mandar. Lokasi yang kemudian diketahui salah itu ditempuh Andi dan
rombongan dengan menggunakan mobil selama dua jam. Karena kondisi alam yang
tidak memungkinkan untuk dilewati mobil, rombongan melanjutkan perjalanan dengan
jalan kaki. Tiga jam lamanya.

Ketika menemui Kepala Desa setempat, Andi terkejut bukan main. ?Dia menyatakan
tidak pernah menyampaikan informasi (pesawat jatuh, red) itu,? ungkap Andi.
Pernyataan ini diperkuat situasi ketiadaan sarana komunikasi di daerah itu,
sehingga sangat mustahil berita itu benar. ?Tapi kita baru bisa mengklarifikasi
pukul 19.30 waktu setempat dengan menggunakan telepon satelit di kecamatan
Matanga, itu satu-satunya. Dan itu juga dipakai media,? urai Andi.

Dilansir dari pemberitaan media, alur informasi yang salah itu berawal dari
Kepala Desa, Kapolres, Kapolda dan terakhir Gubernur yang langsung menyebarkan
informasi ini keseluruh pejabat terkait. Termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Hal ini yang dirasakan Andi aneh. Pasalnya, informasi sesat terkesan sengaja
dibikin untuk membuat bingung semua pihak.

Apalagi, informasinya dibuat sangat sistematis, Dia tahu berapa jumlah penumpang
dan penerbangannya segala,? pungkas Andi. Apalagi, sang Kepala Desa, Muhammada
Natsir menyatakan, Saya hanya melaporkan warga saya mendengar bunyi seperti ada
ledakan mesin, tapi yang dilaporkannya sama sekali bukan soal pesawat. Saya
tidak tahu ada pesawat hilang,? kata Natsir dilansir dari media.


Regulasi Vs Low Cost


Musibah AdamAir ini mengingatkan kita pada musibah sejenis. Masih segar dalam
ingatan saat Maskapai Penerbangan Mandala tertimpa musibah yang merenggut 111
nyawa. Muncul pertanyaan adakah yang salah dengan regulasi di bidang
transportasi udara kita. Di Indonesia masalah penerbangan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Pertanyaan ini ditepis
oleh Ketua Komisi V DPR Ahmad Muqowam.

Dalam jumpa pers Komisi V Selasa (9/1) di DPR, Muqowam justru menyinggung isu
Low Cost Carrier (LCC-penerbangan biaya murah). ?Akibat low cost, keselamatan
kadang menjadi isu yang kurang diperhatikan,? tutur Muqowam. Sementara, Andi
Jalal menyatakan perangkat regulasi yang dimiliki Indonesia sudah cukup baik.
Masalahnya hanya soal implementasi dari regulasi itu sendiri.

Selain itu, Muqowam menyinggung satu fakta adanya Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 35 Tahun 2005 yang membatasi penggunaan pesawat terbang dalam jangka waktu
35 tahun. Usia kelaikan pesawat yang diatur di Permenhub ini menurut Muqowam
berbeda dengan standard yang dikeluarkan produsen pesawat serta International
Civil Aviation Organization (ICAO) yang membatasi usia pesawat hanya 20 tahun.

Fakta Permenhub ini bisa dihubungkan dengan isu LCC. Maskapai Penerbangan
menekan harga jual jasa penerbangan dengan menggunakan pesawat tua demi menekan
biaya operasi. Pesawat AdamAir yang jatuh menurut keterangan Direktur Komersial
Adam Air Gugi Pringwa Saputra berusia 17 tahun.

Komentar senada dilontarkan Prof. Mieke Komar. Ahli hukum udara dan angkasa ini
menyatakan, ?Ini bukan urusan regulasi. Ini urusannya dengan tarif yang murah.
Murah seharusnya juga memperhatikan aspek keamanan dan kelaikan baik pesawat dan
sebagainya?. Untuk urusan LCC, Indonesia dikatakan Prof. Mieke menjiplak dari
Amerika. Jika dulu urusan penerbangan dari mulai ticketing diurusi pemerintah,
sekarang semuanya diserahkan ke pasar.

Sementara, Prof. Oetarjo Diran, penggagas sekaligus Ketua Komisi Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) yang pertama tidak sependapat jika isu LCC
dikaitkan dengan Permenhub yang mengatur soal usia pesawat. ?Kalau peraturan
untuk maintenance pesawat dipatuhi 100 persen sebenarnya tidak ada masalah meski
usianya diatas 30 tahun,? ujar Prof. Diran. Alasan mengapa banyak negara tidak
memakai pesawat yang tua bukan karena masalah keamanan tapi lebih pada aspek
ekonomi. Pesawat yang baru dianggap lebih ekonomis. ?Tidak ada masalah dengan
keselamatan,? tambah Prof. Diran

Ia menyesalkan penerapan LCC yang tidak pada tempatnya. Menurut Ketua KNKT
periode 1994-2004 ini, ?Saya tidak setuju dengan low cost. Yang benar harusnya
low fair aircraft. Low fair itu tiketnya murah. Jual murah tapi tidak boleh
mengurangi operating cost?. Jika biaya minimum operasi ini dilanggar, Prof.
Diran tidak bisa menjamin keselatan penumpang akan terjaga.

Lebih jauh dari itu, menyinggung soal regulasi, Prof. Diran menyatakan
masalahnya bukan hanya pengawasan tapi juga penegakan hukum. ?Pengawasannya
sudah ketat, lalu ditemukan kesalahan. Tapi menjadi sulit ketika tidak
ditegakkan,? pungkas Prof. Diran.

Ditambahkannya, Departemen Perhubungan saat ini hanya memiliki 50 tenaga
pemeriksa. Hal mana sangat jauh dibandingkan jumlah pesawat yang harus diperiksa
yang mencapai angka 250-300 pesawat. Apalagi, aturannya satu pesawat harus
diperiksa empat kali setahun, ?Coba hitung betapa sulitnya itu dilakukan,?
tandas Prof. Diran.

Pasca Kecelakaan

Senada dengan Prof. Mieke dan Komisi V, Prof. Diran memandang regulasi yang ada
saat ini sudah cukup bagus. Akar masalah di bidang transportasi Indonesia
menurutnya adalah tidak adanya budaya keselamatan. Selain itu, yang paling
penting untuk diperhatikan pemerintah adalah manajemen pasca kecelakaan.

Lebih baik kita memanage dampak kecelakaan, meminimalisir kerusakan dan
lainnya,? urai Prof, Diran. Misalnya, melengkapi peralatan penanggulangan
kecelakaan dan meningkatkan kemampuan mengevakuasi korban untuk Badan Search and
Rescue Nasional.

Fakta dalam kecelakaan AdamAir agaknya membenarkan pendapat Prof. Diran.
Misalnya fakta minimnya kemampuan radar Indonesia. Ternyata tidak semua wilayah
udara nusantara dapat dijangkau sistem radar kita. dicontohkan Muqowam, ?Kalau
penerbangan masuk wilayah Kalimantan, disana begitu berada di atas Laut Sulawesi
masuk kearah Kalimantan bagian Utara itu blankspot sampai masuk wilayah
Singapura. Belum di daerah lain?.

Cerita minimnya peralatan yang dimiliki negeri ini diperparah keterangan Andi
Jalal yang empat hari menyisir daerah yang diduga lokasi kecelakaan. Peralatan
yang dimiliki Tim SAR Indonesia minim. Tua dan tidak canggih. Selain itu, ia
berharap agar di tiap Kabupaten diberikan fasilitas komunikasi dan Global
Positioning System (GPS).

Diakhir jumpa persnya Komisi V menekankan bahwa semua kejadian yang ada
diharapkan menjadi sebuah evaluasi yang menyeluruh tidak hanya untuk bidang
transportasi udara. Melainkan juga untuk transportasi darat dan laut.

Jabat Erat
Airliners Indonesia

Groups Mail :
airliners_indonesia-subscribe@yahoogroups.com

Perlu Rekonsiliasi Sistem Penerbangan

Dengan beroperasinya sejumlah airlines baru, jelas akan meningkatkan tingkat
persaingannya. Persaingan bidang penerbangan berjadwal akan berdampak pada dua
sisi. Yakni, sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif biasanya ditandai
dengan peningkatan sisi pelayanannya, operasi yang lebih efisien dan efektif,
serta yang segera dan langsung bisa dinikmati konsumennya adalah
potongan-potongan tarif yang cukup signifikan. Sedang sisi negatifnya adalah
bila manajemen maskapai penerbangan tidak mampu menahan munculnya dan
berkembangnya ekses-ekses dari persaingan itu sendiri. Dan atau bila birokrat
lembaga terkaitnya tidak mampu mengendalikan atau mengatur industri maskapai
penerbangannya. Atau adanya sikap atau kebijakan-kebijakan yang keliru yang
dilandasi oleh konsep-konsep dan interpretasi yang keliru pula.

Adanya sementara kalangan berpendapat bahwa penerbangan domestik disini tidak
perlu diatur atau mendapat pengaturan, karena itu merupakan manifestasi dari
suatu kebijakan deregulasi, dengan menyerahkan saja kepada mekanisme pasar.
Jelas bahwa sikap demikian merupakan sihap keliru. Bahkan memberi kesan
menyembunyikan kegagalan lembaga terkaitnya mengatur dan membina industri
penerbangannya.

Jelas pula bahwa sikap demikian sangat kontroversial dengan paradigma baru
tentang deregulasi seperti yang dinyatakan Jacque Naveau: "By no means should
deregulation be mistaken for anarchy, for what it really brings about is a new
type of order, an innovative order which brings satisfaction to those who rely
on it and apply the rules of the game". Dan innovative order ini ditandai dengan
munculnya dan berkembangnya pola rute Hub-and-Spoke (HaS).

Bila pola HaS di AS berkembang sebagai produk kebijakan deregulasi itu sendiri,
maka pola HaS di Uni Eropa sangat ditentukan oleh keadaan geografisnya. Dengan
kata lain, keadaan situasional telah menentukan identitasnya masing-masing.

Lalu, bagaimana dengan keadaan di Indonesia sekarang ini. Mungkin juga, sudah
menemukan identitasnya sendiri. Dengan beroperasinya empat bahkan mungkin sampai
enam airline bersama-sama di suatu sektor dan disejumlah sektor lainnya, maka
dengan sendirinya terbentuk pola rute ubyag-ubyug.

Tidak jelas mengapa, tapi mungkin juga memang sengaja direkayasa, karena mungkin
dianggap sesuai dengan filosofi budaya klasik suku etnik Jawa yang mengatakan,
"Mangan ora mangan asal kumpul". Yang perlu dipertanyakan, bagaimana maskapai
penerbangan bisa mendapat cukup revenue bila harus terbang kosong atau dengan
jumlah penumpang dibawah BEP-nya (titik impas).

Dalam keadaan semacam itu akan senantiasa dihadapkan kepada masalah mendasar
yakni, "How to fill the empty seats". Dan akan senantiasa rentan terhadap
tindakan-tindakan innovatif yang anarchis, yang umumnya ditandai dengan
berlangsungnya cut-throat competition. Yang pada tahap akhirnya, akan memotong
lehernya sendiri.

Suatu pertanyaan mendasar yang harus diajukan sekarang adalah, "Siapakah yang
harus bertanggung jawab bila entepreneurs itu akan berakhir sebagai debitur
bermasalah. Atau, bila pesawat udara mereka terpaksa harus berakhir dan
terparkir di Killing Fields seperti di Kemayoran (tempo dulu) ketika masih
berfungsi sebagai bandara. Bukankah sudah sangat mendesak dan tiba waktunya
untuk segera merekonsiliasi sistem penerbangan nasional untuk menyamakan visi
dan misi serta mencegah inovasi yang anarkis tersebut.

Jabat Erat
Airliners Indonesia

A Kind Notice of Airliners Indonesia

Dengan Hormat

Kami sampaikan kehadapan Anda bahwa ‘Airliners Indonesia’ ialah ikhtiar bersama untuk melaksanakan suatu kegiatan berasaskan profesi bidang Industri Jasa Transportasi Udara di Indonesia bersifat Nirlaba, Sukarela dan Social responsibility.

‘Airliners Indonesia merupakan Moral obligation dari kami untuk bersama-sama bahu membahu sembari bersilaturahmi antar sesama profesi di seluruh Indonesia juga berdiskusi dalam suasana serius namun santai memberikan Ide, Gagasan dan Pemikiran strategis dengan objektif perbaikan yang berkesinambungan industri jasa transportasi udara.

Kepengurusan Komite organisasi untuk mempiloti ‘Airliners Indonesia’ bersifat sukarela yang merupakan Inisiatif dan Motivasi member tanpa esensi ‘commercial objective’. Saat ini sudah tergabung kurang lebih 13 Member untuk berada dalam ‘Moderator Room’ yang bertugas untuk memonitor jalanya diskusi dan untuk memperbaiki wajah dari ‘Airliners Indonesia’ agar dapat tampil aspiratif dan akomodatif mengingat Heterogenitas yang tinggi, berbeda-beda namun dengan objektif yang sama dan sangat mengharapkan terjadinya proses pembelajaran dan transfer knowledge dari para Profesional baik Praktisi/Akademisi/Pemerhati/Pelaku Usaha seperti Anda terhadap adik-adik kita di kampus.

Substansi dari ‘Airliners Indonesia’ akan terefleksi melalui 2 bentuk kegiatan ONLINE dan OFF LINE. Kegiatan ONLINE melalui milis sebagai media penyampaian produk dan bukan produk utamanya dimana produk utamanya ialah value atas proses pembelajaran dan Transfer knowledge.

Kegiatan OFFLINE merupakan misi sosial yang terembani untuk meningkatkan citra & profesionalisme profesi, Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, Membantu menciptakan kader-kader profesional dan untuk Memperkenalkan lebih luas lagi kepada masyarakat mengenai Industri Jasa Transportasi Udara di Indonesia dengan metode pendekatan dunia pendidikan, bekerja sama dengan beberapa Universitas di Indonesia untuk mengadakan seminar, work shop, bedah buku, pelatihan dst dimana pembicara atau narasumbernya berasal dari Member.


Di dasarkan pada asas social responsibility di harapkan dapat terselenggara suau perhelatan publik di dunia pendidikan yang layak di konsumsi oleh Profesional, Kaum Pelajar dan Golongan Umum lainnya dengan biaya yang terjangkau dan ekonomis.

Saat ini kegiatan yang baru bisa untuk di jalankan ialah Milis yang Notabene bisa di katakana tidak berbiaya dan akan segera membuat Portal atau situs sebagai Media Center dengan alamat www.airliners-indonesia.net yang sekiranya akan memuat segala Informasi mengenai dunia penerbangan dimana datanya dapat di down load secara gratis baik berupa naskah Ilmiah, Hasil Penelitian dst.

Kami tengah mengupayakan beberapa Ahli di bidang penerbangan untuk dapat pula bergabung agar supaya Materi diskusi dapat dilakukan lebih terarah dan tepat guna, namun ini masih merupakan Ikhtiar yang realisasinya tentu saja belum dapat dinilai accountabilitinya.


Harapan 'Airliners Indonesia' mudah-mudahan Ikhtiar ini secara tersirat dapat di absorb dan di mudahkan jalan untuk melaksanakannya, dapat pula diinformasikan bahwa 'Airliners Indonesia' ini pun masih sangat Prematur yang baru menapaki Minggu ke-4 dan sangat membutuhkan tangan-tangan terampil penuh komitmen dan dedikasi untuk mengemasnya sehingga bisa menciptakan value yang 'Membanggakan' bagi kita semua.


Serta sudah menjadi Misi 'Airliners Indonesia' untuk menciptakan strategi 'Proses pembelajaran dan Transfer knowledge dari para profesional seperti Anda bagi Adik-adik kita di kampus sebagai output manfaat dari 'Airliners Indonesia' ini selain sebagai media silaturahmi profesional antar profesi untuk saling berkomunikasi dan berpendapat di seluruh Indonesia yang tingkat Heterogenitas sangat tinggi, berbeda tapi tetap dengan objektif yang sama.

Demikian yang dapat kami sampaikan dan dengan segala hormat serta kerendahan hati kami mengucapakan terima kasih telah memenuhi undangan kami ke ‘Airliners Indonesia’ untuk bersilaturahmi dengan sesama profesi di seluruh Indonesia dan berdiskusi dalam wacana yang serius namun santai sembari beraspirasi yang mudah-mudahan akan timbul ide-ide strategis guna perbaikan dan kedinamisan Industri Jasa Transportasi di Indonesia yang kita cintai ini.

Tiada usaha yang Magfiroh tanpa restu orang tua oleh karena itu restu yang sama pula kami mintakan kehadapan Anda sebagai cemeti motivasi bagi kami untuk terus melangkah maju menuju Indonesia yang lebih baik lagi khususnya untuk kemajuan dunia penerbangan yang sangat kita cintai.

Atas perhatian yang baik di haturkan terima kasih dan sambil menunggu saran serta koreksi dari Anda demi perbaikan di kemudian hari tak lupa untuk mohon di bukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan kata.

No Spams and No Promotion Please.

Tim Moderator

'Airliners Indonesia' Where Professional Airliners Meet
We live at the same sky and same harmony
****************************************************************************
'Airliners Indonesia' komitmen untuk Meningkatkan citra dan
Profesionalisme profesi serta menciptakan kader profesional
bidang Industri Jasa Transportasi Udara.
Sekertariat.
Grand Boutique Center Blok D No. 52 3rd Fl
JL. Mangga Dua Raya Jakarta Utara 14430 Indonesia
Ph. 6221-3343 7327 Fax. 6221-6017884
*****************************************************************************
Email. airliners_indonesia@yahoo.co.id
Http. www.groups.yahoo.com/group/airliners_indonesia

MEMBANGUN MEREK DI ANGKASA

Dalam urusan penerbangan berjadwal, pasar Indonesia boleh dikatakan mengalami
anomali. Ketika maskapai global memangkas jumlah karyawannya dan
mengistirahatkan banyak pesawatnya setelah peristiwa 11 September, di sini
industri jasa transportasi udara justru tumbuh pesat. Banyaknya pesawat nganggur
menyebabkan sewa pesawat rendah, dan ini sangat mendukung terjadianya perang
tariff. Medan peperangan yang paling keras adalah jalur gemuk Jakarta-Surabaya.
Sang pemimpin pasar - Garuda Indonesia - dikeroyok oleh para follower, karena
tiadanya kompetitor yang layak dinobatkan sebagai challenger.

Anomali pasar ini dipicu oleh dua hal. Pertama adalah kebijakan limited open sky
yang tercermin dari peraturan pemerintah No 40/1999 yang memungkinkan lahirnya
pemain-pemain baru dan bahkan didukung oleh Keppres 118/2000 yang mengijinkan
bidang usaha angkutan udara terbuka bagi asing dengan syarat harus berpatungan
dengan modal dalam negeri. Kedua, terpuruknya bisnis penerbangan global pasca
serangan 11 September 2002. Ketika maskapai penerbangan di belahan dunia lain
berguguran, di negeri kita malah bertumbuhan. Banyaknya pesawat yang nganggur
menyebabkan sewanya jadi murah, yang sangat mendukung perang tarif. Layaknya
sebuah fenomena industri yang tumbuh, akan terjadi seleksi alam.

Di tengah kebingungan konsumen dengan 12 nama baru yang mengudara di samping
lima muka lama - dan kemungkinan akan bertambah lagi menjadikan manajemen merek
menjadi sangat penting. Terutama bagi maskapai baru. Mereka harus segera
melakukan brand positioning, mengkomunikasikan value proposition yang
menunjukkan keungulan sebuah merek dibandingkan dengan kompetitornya dan akan
menjadi alasan mengapa konsumen harus memilih mereka.

Dalam penerapannya yang melakukan kontak dengan langsung dengan konsumen adalah
merek macam Garuda. Berdasarkan hasil segmentasi, targeting dan positioning
dilakukan brand positioning. Merek semacam Mandala, Merpati atau Lion Air, yang
mewakili produk ini diposisikan di benak konsumen. Merek ini diberi identitas
(brand identity) yang didukung sebuah kepribadian (strategic brand personality)
agar mengena di hati konsumen yang menjadi sasarannya. Konsumen akhirnya
mengenal merek itu (brand awareness) dan kemudian konsumen mempunyai kesan
tertentu terhadapnya (brand image). Jika seorang konsumen mengenal sebuah merek
dia akan mengasosiasikan dengan serangkai atribut dan meletakkan dalam jajaran
ingatannya. Contoh membangun identitas merek yang dilengkapi dengan strategic
brand personality adalah yang dialakukan Singapore Airlines, dengan Singapore
Girl-nya yang mepunyai strategic personality : caring, warm, professional,
enterprising dan dedicated.

Salah satu kendala yang dihadapi adalah apa yang ingin dikomunikasikan pemasar,
belum tentu dipersepsikan oleh konsumen seperti yang diharapkan oleh pemasar.
Sandungan terbesar dalam memanajemeni merek adalah bagaimana caranya agar yang
kita pikirkan (sebagai pemasar) dan yang ingin kita sampaikan kepada konsumen
dapat dipersepsikan seperti yang kita inginkan. Mengingat aspek terpenting merek
berada di pikiran konsumen. Merek yang berada dalam pikiran konsumenlah yang
'bekerja' untuk mempengaruhi keputusan konsumen dan memberi manfaat yang sangat
besar bagi pemasar.

Dalam sebuah identitas tersimpan sejumlah karakteristik yang membedakan satu
dengan yang lain. Seperti sebuah kartu identitas terdapat sejumlah atribut yang
menjadi pembeda. Bagi para pemilik merek sangat berkepentingan dengan citra
merek (brand image), harus selalu mengembangkan identitas merek (brand
identity). Identitas merek adalah apa yang disodorkan pemasar dan citra merek
adalah bagaimana kesan konsumen terhadapnya. Agar mempunyai citra merek yang
kuat, perlu diperhatikan konsistensi dalam mengkomunikasikan brand personality
dalam kerangka brand positioning.

Berdasarkan strategi pemasaran inilah disusun strategi merek, diantaranya dengan
melakukan brand portfolio, untuk mengisi masing-masing sasaran pasar dengan
masingmasing merek-merek yang ditugaskan menjalin brand-customer relationship
untuk masing-masing konsumen sasaran dan berkompetisi dengan kompetitor sasaran
pasar tersebut. Lantas dilakukan pengembangan konsep positioning terhadap
masing-masing merek, serta mengembangkan strategic brand personality dan brand
identity-nya.

Sebagai contoh, Singapore Airlines membutuhkan merek lain (Silk Air) untuk
melayani sasaran pasar yang berbeda. Perang tarif merupakan fenomena dinamika
persaingan yang sangat lazim dalam dunia penerbangan, dan kebangkrutan
perusahaan penerbangan menjadi hal yang lumrah. Agar dapat menjual harga tiket
dengan lebih murah tanpa mengganggu brand image Singapore Airlines, Silk Air
dimanfaatkan untuk berkompetisi dengan kompetitor yang banting harga. Garuda pun
mempunyai sub brand Citilink, yang menghubungkan jalur nomor dua dalam rangka
memanfaatkan pesawat Fokkernya yang nganggur. Citilink, sebenarnya dapat juga
dimanfaatkan layaknya Silk Air.

Bagi industri penerbangan, brand image memegang peranan penting, yang
menggantungkan bisnisnya pada persepsi konsumen tentang safety, service, dan
technology. Ingat yang paling penting adalah persepsi konsumen, yang belum tentu
sama dengan apa yang dipikirkan oleh pemasar.

Bila menilik keberhasilan Singapore Airlines (SQ) dalam kompetisi global,
kesuksesan mereka sangat ditentukan kemampuan SQ membangun brand image yang
positif. Berbekal brand image yang tertanam dalam benak konsumen, SQ dapat
membedakan dirinya dengan para kompetitor dan tidak terjebak dalam perang harga.

Janji SQ kepada konsumen untuk memberikan A Great Way to Fly berhasil mereka
wujudkan dengan menekankan pada teknologi dan pelayanan yang menjamin keamanan
dan kenyamanan perjalanan. Investasi yang dilakukan SQ dalam hal teknologi
seperti peremajaan armada pesawat dan perlengkapannya secara konsisten, berhasil
menciptakan citra sebagai maskapai penerbangan yang aman.

Sedangkan dalam hal pelayanan, SQ diakui sebagai maskapai yang tepat waktu
(walaupun data sebenarnya bukan nomor satu dalam hal ketepatan waktu) dan ramah
dalam pelayanan. Nilai-nilai utama pelayanannya telah diterjemahkan dalam
atribut-atribut caring, warm, professional, enterprising dan dedicated. Di benak
konsumen, atribut-atribut tersebut telah melekat erat dalam pelayanan yang
diberikan terutama melalui awak kabin Singapore Girl yang juga sangat didukung
oleh iklan-iklannya. Pengalaman yang menyenangkan bagi konsumen yang ditimbulakn
oleh keliam siafat tadi - tidak hanya ditekankan pada saat berada di dalam badan
pesawat tetapi lebih merupakan keseluruhan pengalaman sejak dari pemesanan
tiket, checking in, boarding, hingga penggambilan luggage.

Garuda Indonesia telah menunjukkan brand image shifting. Penghargaan The Best
Punctuality Intercontinental Airline (2000 & 2001) yang diperoleh Garuda
Indonesia selama dua tahun berturut-turut dari bandara Schipol Amsterdam dan
juga penghargaan Innovation: Crisis Busting Award dari majalah Travel Weekly
East menandai adanya perbaikan citra Garuda Indonesia di mata dunia. Penghargaan
tersebut memberikan tantangan besar bagi Garuda untuk membuktikan kualitas
layanannya, terutama dalam penerbangan domestik yang sedang mengalami
hypercompetive market. Keterlambatan jadwal penerbangan yang kadangkala masih
terjadi terutama dalam penerbangan domestik dapat melunturkan kembali brand
image. Penanganan bagasi pun mesti mendapat perhatian.

Penurunan brand image memang harus diwaspadai. Misalnya soal layanan yang gagal
(service failure), harus segara disertai service recovery program. Dunia
penerbangan domestik sering kurang memperhatikan hal ini, padahal pelanggan akan
selalu mengingat pengalaman pahit. Dan dalam situasi kompetitif seperti
sekarang, pelanggan akan dengan mudah sakit hati dan pindah ke kompetitor.

Bagaimana pun perang tarif hanya bersifat sementara. Semua pihak tentu menyadari
akibat buruknya. Yang terpenting adalah bagaimana masing-masing maskapai
melakukan diferensiasi dan menawarkan value proposition yang unik berupa sebuah
promise kepada konsumen. Inilah tugas manajemen merek : melakukan positioning
diantara belasan merek baru yang terkesan crowded, membangun brand identity yang
sesuai dengan posisinya dan mengkomunikasikan agar terbentuk brand image.


Airliners Indonesia