Selasa, 19 Agustus 2008

MEMBANGUN MEREK DI ANGKASA

Dalam urusan penerbangan berjadwal, pasar Indonesia boleh dikatakan mengalami
anomali. Ketika maskapai global memangkas jumlah karyawannya dan
mengistirahatkan banyak pesawatnya setelah peristiwa 11 September, di sini
industri jasa transportasi udara justru tumbuh pesat. Banyaknya pesawat nganggur
menyebabkan sewa pesawat rendah, dan ini sangat mendukung terjadianya perang
tariff. Medan peperangan yang paling keras adalah jalur gemuk Jakarta-Surabaya.
Sang pemimpin pasar - Garuda Indonesia - dikeroyok oleh para follower, karena
tiadanya kompetitor yang layak dinobatkan sebagai challenger.

Anomali pasar ini dipicu oleh dua hal. Pertama adalah kebijakan limited open sky
yang tercermin dari peraturan pemerintah No 40/1999 yang memungkinkan lahirnya
pemain-pemain baru dan bahkan didukung oleh Keppres 118/2000 yang mengijinkan
bidang usaha angkutan udara terbuka bagi asing dengan syarat harus berpatungan
dengan modal dalam negeri. Kedua, terpuruknya bisnis penerbangan global pasca
serangan 11 September 2002. Ketika maskapai penerbangan di belahan dunia lain
berguguran, di negeri kita malah bertumbuhan. Banyaknya pesawat yang nganggur
menyebabkan sewanya jadi murah, yang sangat mendukung perang tarif. Layaknya
sebuah fenomena industri yang tumbuh, akan terjadi seleksi alam.

Di tengah kebingungan konsumen dengan 12 nama baru yang mengudara di samping
lima muka lama - dan kemungkinan akan bertambah lagi menjadikan manajemen merek
menjadi sangat penting. Terutama bagi maskapai baru. Mereka harus segera
melakukan brand positioning, mengkomunikasikan value proposition yang
menunjukkan keungulan sebuah merek dibandingkan dengan kompetitornya dan akan
menjadi alasan mengapa konsumen harus memilih mereka.

Dalam penerapannya yang melakukan kontak dengan langsung dengan konsumen adalah
merek macam Garuda. Berdasarkan hasil segmentasi, targeting dan positioning
dilakukan brand positioning. Merek semacam Mandala, Merpati atau Lion Air, yang
mewakili produk ini diposisikan di benak konsumen. Merek ini diberi identitas
(brand identity) yang didukung sebuah kepribadian (strategic brand personality)
agar mengena di hati konsumen yang menjadi sasarannya. Konsumen akhirnya
mengenal merek itu (brand awareness) dan kemudian konsumen mempunyai kesan
tertentu terhadapnya (brand image). Jika seorang konsumen mengenal sebuah merek
dia akan mengasosiasikan dengan serangkai atribut dan meletakkan dalam jajaran
ingatannya. Contoh membangun identitas merek yang dilengkapi dengan strategic
brand personality adalah yang dialakukan Singapore Airlines, dengan Singapore
Girl-nya yang mepunyai strategic personality : caring, warm, professional,
enterprising dan dedicated.

Salah satu kendala yang dihadapi adalah apa yang ingin dikomunikasikan pemasar,
belum tentu dipersepsikan oleh konsumen seperti yang diharapkan oleh pemasar.
Sandungan terbesar dalam memanajemeni merek adalah bagaimana caranya agar yang
kita pikirkan (sebagai pemasar) dan yang ingin kita sampaikan kepada konsumen
dapat dipersepsikan seperti yang kita inginkan. Mengingat aspek terpenting merek
berada di pikiran konsumen. Merek yang berada dalam pikiran konsumenlah yang
'bekerja' untuk mempengaruhi keputusan konsumen dan memberi manfaat yang sangat
besar bagi pemasar.

Dalam sebuah identitas tersimpan sejumlah karakteristik yang membedakan satu
dengan yang lain. Seperti sebuah kartu identitas terdapat sejumlah atribut yang
menjadi pembeda. Bagi para pemilik merek sangat berkepentingan dengan citra
merek (brand image), harus selalu mengembangkan identitas merek (brand
identity). Identitas merek adalah apa yang disodorkan pemasar dan citra merek
adalah bagaimana kesan konsumen terhadapnya. Agar mempunyai citra merek yang
kuat, perlu diperhatikan konsistensi dalam mengkomunikasikan brand personality
dalam kerangka brand positioning.

Berdasarkan strategi pemasaran inilah disusun strategi merek, diantaranya dengan
melakukan brand portfolio, untuk mengisi masing-masing sasaran pasar dengan
masingmasing merek-merek yang ditugaskan menjalin brand-customer relationship
untuk masing-masing konsumen sasaran dan berkompetisi dengan kompetitor sasaran
pasar tersebut. Lantas dilakukan pengembangan konsep positioning terhadap
masing-masing merek, serta mengembangkan strategic brand personality dan brand
identity-nya.

Sebagai contoh, Singapore Airlines membutuhkan merek lain (Silk Air) untuk
melayani sasaran pasar yang berbeda. Perang tarif merupakan fenomena dinamika
persaingan yang sangat lazim dalam dunia penerbangan, dan kebangkrutan
perusahaan penerbangan menjadi hal yang lumrah. Agar dapat menjual harga tiket
dengan lebih murah tanpa mengganggu brand image Singapore Airlines, Silk Air
dimanfaatkan untuk berkompetisi dengan kompetitor yang banting harga. Garuda pun
mempunyai sub brand Citilink, yang menghubungkan jalur nomor dua dalam rangka
memanfaatkan pesawat Fokkernya yang nganggur. Citilink, sebenarnya dapat juga
dimanfaatkan layaknya Silk Air.

Bagi industri penerbangan, brand image memegang peranan penting, yang
menggantungkan bisnisnya pada persepsi konsumen tentang safety, service, dan
technology. Ingat yang paling penting adalah persepsi konsumen, yang belum tentu
sama dengan apa yang dipikirkan oleh pemasar.

Bila menilik keberhasilan Singapore Airlines (SQ) dalam kompetisi global,
kesuksesan mereka sangat ditentukan kemampuan SQ membangun brand image yang
positif. Berbekal brand image yang tertanam dalam benak konsumen, SQ dapat
membedakan dirinya dengan para kompetitor dan tidak terjebak dalam perang harga.

Janji SQ kepada konsumen untuk memberikan A Great Way to Fly berhasil mereka
wujudkan dengan menekankan pada teknologi dan pelayanan yang menjamin keamanan
dan kenyamanan perjalanan. Investasi yang dilakukan SQ dalam hal teknologi
seperti peremajaan armada pesawat dan perlengkapannya secara konsisten, berhasil
menciptakan citra sebagai maskapai penerbangan yang aman.

Sedangkan dalam hal pelayanan, SQ diakui sebagai maskapai yang tepat waktu
(walaupun data sebenarnya bukan nomor satu dalam hal ketepatan waktu) dan ramah
dalam pelayanan. Nilai-nilai utama pelayanannya telah diterjemahkan dalam
atribut-atribut caring, warm, professional, enterprising dan dedicated. Di benak
konsumen, atribut-atribut tersebut telah melekat erat dalam pelayanan yang
diberikan terutama melalui awak kabin Singapore Girl yang juga sangat didukung
oleh iklan-iklannya. Pengalaman yang menyenangkan bagi konsumen yang ditimbulakn
oleh keliam siafat tadi - tidak hanya ditekankan pada saat berada di dalam badan
pesawat tetapi lebih merupakan keseluruhan pengalaman sejak dari pemesanan
tiket, checking in, boarding, hingga penggambilan luggage.

Garuda Indonesia telah menunjukkan brand image shifting. Penghargaan The Best
Punctuality Intercontinental Airline (2000 & 2001) yang diperoleh Garuda
Indonesia selama dua tahun berturut-turut dari bandara Schipol Amsterdam dan
juga penghargaan Innovation: Crisis Busting Award dari majalah Travel Weekly
East menandai adanya perbaikan citra Garuda Indonesia di mata dunia. Penghargaan
tersebut memberikan tantangan besar bagi Garuda untuk membuktikan kualitas
layanannya, terutama dalam penerbangan domestik yang sedang mengalami
hypercompetive market. Keterlambatan jadwal penerbangan yang kadangkala masih
terjadi terutama dalam penerbangan domestik dapat melunturkan kembali brand
image. Penanganan bagasi pun mesti mendapat perhatian.

Penurunan brand image memang harus diwaspadai. Misalnya soal layanan yang gagal
(service failure), harus segara disertai service recovery program. Dunia
penerbangan domestik sering kurang memperhatikan hal ini, padahal pelanggan akan
selalu mengingat pengalaman pahit. Dan dalam situasi kompetitif seperti
sekarang, pelanggan akan dengan mudah sakit hati dan pindah ke kompetitor.

Bagaimana pun perang tarif hanya bersifat sementara. Semua pihak tentu menyadari
akibat buruknya. Yang terpenting adalah bagaimana masing-masing maskapai
melakukan diferensiasi dan menawarkan value proposition yang unik berupa sebuah
promise kepada konsumen. Inilah tugas manajemen merek : melakukan positioning
diantara belasan merek baru yang terkesan crowded, membangun brand identity yang
sesuai dengan posisinya dan mengkomunikasikan agar terbentuk brand image.


Airliners Indonesia

Tidak ada komentar: