Selasa, 19 Agustus 2008

Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara Belum Optimal

Berita kecelakaan pesawat udara semakin sering "menghiasi" media massa.
Indonesia termasuk salah satu negara yang beberapa tahun belakangan ini tidak
lepas dari isu keselamatan transportasi udara, hingga Uni Eropa memberlakukan
larangan terbang bagi pesawat-pesawat dari negara kita.

Dari serentetan kejadian itu tampaknya belum ada upaya dari otoritas untuk
melakukan investigasi secara komprehensif guna meningkatkan keselamatan
penerbangan. Salah satu bentuk belum optimalnya pelaksanaan investigasi itu
belum adanya keseragaman konsep dan pemikiran tentang proses investigasi. Fokus
investigasi cenderung mencari kesalahan individu (active error) dan masih sangat
sedikit menyentuh pada keterlibatan organisasi (latent error).

Sebagai contoh, perdebatan dalam penahanan Pilot Marwoto Komar dalam kasus
kecelakaan pesawat Garuda di Bandara Adisutjipto, Maret tahun lalu, menunjukkan,
belum adanya proses penyelesaian kasus yang terintegrasi antarberbagai sektor
yang terlibat, seperti, Kepolisian, organisasi profesi/pilot, dan Komite
Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT).

Dalam pemikiran awam memang seolah-olah terlihat bahwa faktor manusia, dalam hal
ini kru pesawat, yang paling bertanggung jawab terhadap setiap kejadian. Namun,
berbagai teori dan pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa faktor manajemen
menjadi predisposisi utama mengapa awak kru sampai melakukan kesalahan.

Yang terpenting saat ini adalah melihat kembali dan menetapkan prosedur baku
dalam investigasi kecelakaan pesawat serta hasil apa yang diharapkan dari
investigasi tersebut. Mengingat penerbangan adalah masalah lintas batas dan
antarnegara maka prosedur harus mengacu kepada aturan internasional.

Dalam part 2A dari Air Navigation Act (1920) yang diperbarui dalam TSI Act 2003
dan International Civil Aviation Organization (ICAO) Annex 13 disebutkan, tujuan
utama dari Aviation Safety Investigations untuk meningkatkan keselamatan
penerbangan dan bukan untuk mencari siapa yang disalahkan atau
dikambinghitamkan.

Lebih jauh, fokus utama investigasi untuk mengetahui kondisi yang mendasari
terjadinya kecelakaan, mengidentifikasi, dan menilai adanya faktor-faktor yang
berperan serta mengidentifikasi dan menilai adanya kekurangan dalam manajemen
keselamatan di tingkat organisasi. Hasil yang diharapkan adanya tindakan dari
otoritas lokal, rekomendasi dan petunjuk untuk keselamatan penerbangan serta
adanya laporan kepada publik.


Manusia dan Organisasi

Dalam keselamatan penerbangan satu hal yang penting diperhatikan, yakni human
factors, suatu disiplin ilmu dan teknologi yang melibatkan faktor psikologi,
ergonomi, fisiologi, dan disiplin ilmu yang lain. Secara kasar hal ini
berhubungan dengan beban kerja, pemrosesan informasi, kesiagaan terhadap situasi
darurat, pembuatan keputusan, kelelahan, resiko, tekanan, kesalahan, kondisi
laten, ingatan, perhatian, skil, peraturan, pengetahuan, prosedur, pelatihan dan
lain sebagainya. Hal-hal tersebut sangat penting dan menunjukkan bahwa setiap
insiden atau kecelakaan tidaklah murni akibat faktor tunggal melainkan hasil
akhir dari suatu proses yang saling mempengaruhi, yang melibatkan faktor manusia
dan organisasi.

Sebagai contoh, pilot yang terbukti melakukan kesalahan karena mengantuk atau
kelelahan tidak bisa disalahkan kalau sistem pengaturan jadwal terbangnya tidak
tepat atau terlalu padat atau pun tidak siap karena ada masalah psikologis atau
kesehatan yang tidak mampu dideteksi oleh organisasi tempatnya bekerja.

McIntyre dan Stone (1985) memaparkan salah satu hasil penelitian yang mendukung
pemikiran di atas. Mereka menemukan bahwa jika berbagai faktor organisasi dalam
penerbangan (seperti penilaian resiko di tingkat manajerial, perusahaan
penerbangan, asosiasi profesi, kondisi airport) diperhitungkan dalam analisis
terhadap suatu kecelakaan pesawat udara, maka angka statistik yang sebelumnya
menyatakan 65-70 persen kecelakaan karena murni kesalahan tunggal kru pesawat
turun menjadi di bawah 13 persen.

Semua hal harus ditelusuri secara menyeluruh, baik dari faktor kesalahan
individu maupun organisasi atau perusahaan penerbangan, untuk mendapatkan solusi
guna peningkatan keselamatan. Melemparkan kesalahan hanya kepada individu memang
tidak akan menyelesaikan persoalan karena penyelidikan cenderung dihentikan
untuk menutupi keseluruhan faktor penentu yang mungkin berpengaruh. Dengan kata
lain, hal tersebut tidak akan meningkatkan keselamatan penerbangan di masa yang
akan datang.

Beberapa hal yang perlu dijadikan catatan adalah faktor yang terlihat jelas
berhubungan dengan kesalahan manusia dan tidak selalu menjadi faktor yang paling
signifikan. Human error juga tidak bisa disimpulkan secara sederhana. Hendaknya
pula berhati-hati dalam menyimpulkan dan mengklasifikasi masalah. Secara
psikologis harus dipahami bahwa manusia tidak selalu bertindak seperti apa yang
mereka harapkan, khususnya dalam situasi kritis.

Di tingkat manajemen, beberapa isu yang perlu diperhatikan dalam menjaga
keselamatan penerbangan. Di antaranya, apakah perusahaan penerbangan sudah
secara aktif mempelajari kelemahan, apakah sudah mengevaluasi pengendalian
resiko sebelum dan sesudah melakukan perubahan, apakah sudah memanfaatkan sumber
daya dan ahli, atau terlalu bergantung pada kemewahan teknologi? Yang paling
penting, apakah perusahaan tersebut sudah memiliki program untuk manajemen
resiko yang efektif?

Lalu bagaimanakah peranan pemerintah dalam hal ini? Sudahkah departemen terkait
menjadi mediator atau fasilitator atau bahkan leading sector yang bisa melihat
dan menyelesaikan masalah keselamatan secara lebih menyeluruh? Sejauh mana
kontrol terhadap perusahaan penerbangan dalam menerapkan standar baku?

Masih banyak pekerjaan rumah untuk meningkatkan keselamatan penerbangan di masa
yang akan datang. Otoritas terkait hendaknya tanggap dan tidak melakukan
tindakan korektif yang sifatnya hanya di permukaan dan tidak menyentuh akar
permasalahan. Mudah- mudahan ada tindakan nyata, sehingga tidak akan terdengar
lagi berita yang berhubungan dengan kecelakaan pesawat.


Penulis adalah Dosen PSIKM Unud dan memiliki Australian Certificate of Civil
Aviation Medicine (ACCAM)

Tidak ada komentar: