Kamis, 21 Agustus 2008

Semua Tergantung Regulasi

Dudi Sudibyo

Menurut Dudi Sudibyo, permasalahan dunia penerbangan di Indonesia timbul ketika pemerintah membuka kran dimana banyak orang bisa mendirikan perusahaan airline yaitu sekitar tahun 2000. Itu membuat industri penerbangan kita tumbuh begitu cepat dari tahun 2000 sampai 2008. Tapi itu tidak selaras dengan pertumbuhan sumber daya manusia (SDM) dan infrastrukturnya. Di sinilah permasalahannya.

Dudi Sudibyo mengatakan, kita tidak bisa mengimbangi pertumbuhan industri yang begitu cepat. Kita juga tidak mau ikut dalam perkembangan itu secepatnya. Dia mencontohkan jumlah inspektur bisa dihitung oleh jari. Sedangkan pesawat ada di Banda Aceh, Sorong, Makassar, Menado, dan lain-lain. Mereka juga seharusnya dibayar tinggi, tapi kenyataannya tidak. Guna memperbaiki dunia penerbangan nasional harus bermuara dari regulator. Kalau regulator kita baik, maka industrinya juga pasti baik. Dalam kaitan ini ada dua hal penting, yaitu pengawasannya dan juga penegakan aturannya harus kuat sekali.

Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Dudi Sudibyo.

Adam Air dihentikan, maka kami sebagai konsumen atau penumpang ingin mempunyai pegangan. Apa sebenarnya yang berbahaya, apakah pesawatnya, pilot, atau perusahaannya dan bagaimana faktor resikonya?

Permasalahan timbul ketika pemerintah membuka kran, dimana banyak orang bisa mendirikan perusahaan Airline yaitu kira-kira pada tahun 2000. Pertama datang dan salah satunya adalah Lion Air yang memperkenalkan suatu tarif yang luar biasa murah, sehingga semua orang bisa terbang. Tentunya ini suatu kebanggaan dan saya sampaikan pada pemiliknya yaitu Rusdi Kirana bahwa saya bangga sekali. Tetapi saya katakan juga siapa yang mendidik penumpang untuk budaya penerbangan, dan bisnis penerbangan itu seperti apa? Tentunya itu harus kita persiapkan. Kelihatannya semua tidak siap termasuk Lion Air pada saat itu. Tentu kita ingat saat crash di Solo dan itu salah. Jauh sebelum itu saya pernah mengatakan pada Rusdi, "Pak saya lihat ada deviasi. Dan kalau ada deviasi harus back to the track". Namun yang terjadi justru seperti di Solo. "Kalau sebelum kejadian Solo saya tulis ada sesuatu, tentu Bapak tidak senang."

Crash seperti Solo itu tentu mengalami investigasi melalui lembaga ini dan itu dan melihat black box dan sebagainya. Lalu, Apakah Anda melakukan ulasan setelah melihat hasil mereka atau secara intuitive bisa menebak kesalahan itu?

Saya salah satu diantaranya. Contoh lain adalah saat kejadian Garuda di Solo. Ketika saya mendengar ada pesawat jatuh mendarat di Bengawan Solo, satu hal yang saya lakukan adalah saya menelpon meteorology. Saya ingin mengetahui bagaimana kondisi udara di atas 31.000 kaki saat itu. Dengan informasi dari meteorology saya bisa menebak bahwa itu karena Icing atau ada gumpalan es dan bisa dipastikan menyebabkan mesin pesawat mati. Saya langsung menulis di Kompas walaupun tidak ada data yang kuat mendukung saya, tapi itu disebabkan icing. Kejadian itu sangat jarang terjadi. Begitu saya bertemu dengan pilot pesawat Garuda Kapten Rozak, dia mengatakan, "Pak Dudi kok bisa tahu itu?"

Apakah itu memang karena sudah menyelaminya?

Ya, kadang kita bisa melihat ini begini dan begitu.

Anda tadi mengatakan dapat memperkirakan apa yang terjadi sewaktu kasus Garuda mendarat di Bengawan Solo bedasarkan pengalaman. Apakah Anda juga sering salah daripada benar?

Saya kira salah juga ada karena saya cuma menganalisa. Analisa saya juga bisa meleset tapi melesetnya tidak begitu jauh, contoh hydroplanning di Solo dengan pesawat Garuda dan ada banyak yang meninggal tapi pilotnya tidak.

Apakah Anda bisa cerita detail yang terjadi dengan pesawat itu, apakah patah, pecah, atau terbentur-bentur saja, atau bagaimana?

Seperti kasus Marwoto di Yogjakarta, untung dia bisa selamat. Kembali lagi kita harus percaya Allah, God is so kind, untuk membuka tabir karena jika dia meninggal kita tidak akan tahu karena dia saksi hidup.

Kecelakaan di Solo terjadi karena pesawat terkena gumpalan es, sedangkan kecelakaan tempat lain karena macam-macam. Apakah ada atau tidak benang merah antara satu kecelakaan dengan kecelakaan lain?

Ada beberapa kasus yang bisa dikatakan memiliki kesamaan. Nah, ini adalah tugas dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) adalah mencari solusi jangan sampai terulang lagi. Inilah tugas dari KNKT, bukan untuk mencari siapa yang salah tetapi mencari penyebab kecelakaan itu.

Dalam kenyataannya setelah sekian kecelakaan diselidiki, apakah masih terjadi pengulangan atau memang bisa kita belajar dari kesalahan?

Kita bisa belajar. Saya lihat tidak ada persamaan yang sama.

Jadi kalau ada yang jatuh berarti alasannya baru lagi?

Iya, baru lagi.

Bagi penumpang ini penting. Apakah masih banyak atau tidak alasan baru, jangan-jangan tidak ada habis-habisnya alasan baru?

Pesawat itu benda terbang. Bayangkan saja, dari Jakarta ke Eropa terbang selama 14 jam dengan mesin tidak berhenti. Saat sampai di Amsterdam, pesawat hanya 45 menit istirahat lalu terbang lagi ke London. Dari London terus ke Jakarta lagi.

Anda kelihatannya bersimpati pada pesawat terbang. Jadi kalau pesawat jatuh sih maklum saja karena kasihan dia capek. Apakah seperti itu?

Oh bukan, pesawat memang telah dibuat sedemikian rupa. Namun itu tentu tidak terlepas dari perawatan.

Oh, jadi yang penting perawatannya. Lalu, bagaimana dengan perawatan pesawat di Indonesia?

Nah, inilah yang saya katakan kita prihatin. Banyak sekali kekurangannya dengan pertumbuhan industri penerbangan kita yang begitu cepat dari tahun 2000 sampai tahun 2008. Bayangkan, pada tahun 2000 penumpang hanya tujuh juta orang. Tahun lalu (2007) sudah ada 36 juta penumpang, dan tahun ini (2008) diperkirakan 40 juta orang. Nah, ini tidak selaras dengan pertumbuhan SDM-nya dan juga infrastruktur-infrastrukturnya. Di sinilah masalahnya.

Apakah itu ada hubungan kuat dengan usia pesawat terbang? Bagaimana usia pesawat terbang di Indonesia dibandingkan dengan negara lain?

Saya melihat di Amerika, usia pesawat terbangnya sudah 35 tahun. Bayangkan, pesawat jenis McDonell Douglass (MD-80) masih terbang di sana. Unsurnya lagi-lagi adalah perawatan, pengawasan yang ketat dari regulator dan kecakapan keseluruhan dari crew dan manajemen. Dari segi lain, pesawat berusia 35 tahun tidak dapat bersaing dengan pesawat sekarang yang lebih efisien dari segi ekonomis.

Apakah bisa dikatakan Indonesia mempunyai terlalu banyak pesawat dibandingkan dengan kapasitas perawatannya (maintenance)?

Ya, itu karena pertumbuhannya terlalu cepat dan juga SDM-nya kurang, baik maintenance crew maupun flight crew. Contohnya kembali lagi ke Adam Air, saya pernah menyaksikan mereka menyewa dry lease (sewa pesawat saja, tanpa peralatan dan crew) tapi hanya simulatornya, tidak ada pihak Garuda karena biasa menyewa dari Pusat Penerbangan Garuda. Di sana ada lima pilot dan instrukturnya. Yang menerbangkan simulator hanya dua orang, sedangkan tiga orang lainnya di belakang hanya melihat bagaimana pesawat itu diterbangkan. Saat keluar simulator, semua tanda tangan sudah menerbangkan. Ada efisiensi di sana tapi kecakapan pilotnya tidak dapat. Dia seharusnya memegang simulator dengan tangannya sendiri. Contoh, saya pernah menerbangkan secara simulator pesawat terbesar di dunia, Super Jumbo-380, Airbus terbesar di dunia. Saya sudah terbang dua kali. Saya bukan menerbangkan pesawat sungguhan tapi simulator. Waktu itu saya minta autopilot-nya di matikan. Saya ingin memegang pesawat secara manual. Memang pesawat itu besar, tapi menerbangkannya seperti pesawat kecil saja. Sewaktu sistem autopilot dimatikan, saya bisa merasakan posisi pesawat. Karena itu saya kembali lagi mempertanyakan kasus pesawat Adam Air di Majene sewaktu dimatikan auto pilotnya. Mengapa pilotnya tidak bisa merasakannya?

Maksudnya, tidak merasa kalau pesawat mulai miring sekian derajat dan sebagainya.

Itu yang saya pertanyakan. Itu artinya mereka juga kurang pelatihan di dalam simulator.

Akhirnya Adam Air dicabut izinnya dan tidak beroperasi lagi. Jadi, orang tidak akan celaka naik Adam Air karena memang sudah tidak ada Adam Air. Apakah Masih ada perusahaan lain yang seharusnya dicabut juga?

Saya kira ada.

Pertanyaan saya tersebut untuk keamanan penumpang. Jadi, apakah sekarang kita harus takut atau sudah harus merasa aman karena Adam Air sudah dihentikan?

Kalau tidak salah, sekarang termasuk yang belum beroperasi ada 22 perusahaan. Itu terlalu banyak untuk Indonesia. Saya selalu mengingatkan kepada regulator bahwa kita hanya butuh lima maskapai besar. Ini karena saya melihat jumlah 22 perusahaan, tapi sekarang mungkin sudah berkurang menjadi 15 maskapai. Itu terlalu banyak. Dari 15 perusahaan kita buat saja menjadi lima. Saat ini tiga maskapai milik pemerintah yaitu Garuda, Merpati dan Pelita, bisa menjadi satu group. Jadi pemerintah hanya memiliki satu. Saya melihat juga Mandala bisa membuat group lain dengan perusahaan yang kecil-kecil melalui merger bersama-sama. Lalu ada Lion group. Tadinya saya pikir group lainnya adalah Adam Air tapi sekarang sudah out.

Apakah ada perbedaan kualitas atau tidak, baik cockpit crew maupun maintenance dari satu airlines dengan airlines lainnya? Kalau di internasional, pilot Garuda bisa menerbangkan pesawat Cathay, apakah di Indonesia bisa seperti itu juga?

Pilot Indonesia diakui di luar negeri. Kecakapannya bukan main. Nah, di sini juga ada persoalan pembajak Misalnya, seorang Co-Pilot mungkin seumur hidup akan menjadi Co-Pilot dan tidak bisa menjadi kepala kapten pilot karena saat diuji dia tidak cakap untuk posisi tersebut. Jadi, kurang mampu. Tapi di perusahaan lain mengatakan, "You datang ke tempat saya, maka akan saya jadikan kapten." Ini masalahnya.

Saya kembali pada pertanyaan dasar setiap konsumen, bagaimana cara kita memilih perusahaan penerbangan yang aman karena andaikata kita mempunyai budget yang cukup tentu memilih Garuda?

Ini juga sulit untuk kita karena ini promosi. Tadi Pak Wimar menyebut Garuda. Kalau dilihat, Garuda memang salah satu airlines di Indonesia yang mempunyai fasilitas segala macam. Untuk perawatan, dia memiliki Garuda Maintenance Facility (GMF). Di dalam GMF itu ada gudang yang di dalamnya ada spare part senilai US$ 20 juta lebih. Tidak ada airline lain di Indonesia sekarang yang seperti dia. Beberapa diantaranya sudah muncul juga dan sedang dipersiapkan. Dua airlines diantaranya saya lihat sudah punya fasilitas gudang walau tidak sebanyak Garuda, dan juga mempunyai simulator. Nah perusahaan-perusahaan inilah yang kita lihat bahwa dia serius. Yang lainnya agak sedikit berantakan.

Jadi kita harus langganan majalah Angkasa untuk mengetahui yang aman atau tidak.

Ha...ha....ha..., iya salah satunya. Pak Wimar bisa bayangkan mereka ada yang merawat komponennya di shophouse atau rumah toko (Ruko). Tidak bisa begitu untuk airlines. Untuk penerbangan tidak bisa secara open air karena tidak boleh kotor. Saya geleng-geleng kepala.

Mengapa mereka berani begitu?

Yang salah di sini adalah regulator dan manajemennya, karena semestinya ini ditutup. Semestinya mereka yang menerbangkan pesawat juga protes. "Hei, kita tidak mau spare part dibetulkan di tempat begitu saja." Ini yang mereka kurang sadari.

Mengenai penerbangan Internasional. Orang heboh karena masyarakat Uni Eropa melarang perusahaan Indonesia terbang ke airport di Eropa. Lalu, para patriot keberatan. Tapi para penumpang ketakutan juga kalau terbang dengan pesawat yang tidak aman. Jadi, katanya, boleh-boleh saja dilarang. Apakah kita harus memperjuangkan izin terbang ke Uni Eropa, atau kita menerima dan membiarkan orang memakai penerbangan maskapai luar negeri?

Soal itu, saya kira kembali lagi ke diri kita sendiri. Semuanya bermuara dari regulator kita. Kalau regulator kita baik, maka industrinya juga pasti baik. Contoh lagi, komponen pada inertial reference system (IRS), pada pesawat Adam Air sudah rusak 154 kali, tapi regulator kok diam saja. Padahal regulator mempunyai power bisa menegur. "Hei, you ganti IRS ini karena sudah tidak bisa dipertanggungjawabkan." Itu karena ada penumpang jadi tidak safety. Itu juga dilihat oleh Uni Eropa. Uni Eropa tidak hanya mempertanyakan airlines kita, tetapi juga bagaimana regulator kita.

Untuk bisa lolos persyaratan Uni Eropa, apakah masih bisa dengan pesawat yang ada?

Pesawat yang ada masih bisa.

Apakah pilot yang ada juga masih bisa untuk lolos persyaratan? Apakah pilot kita memiliki internationally certified?

Masih bisa. Semua pilot memiliki Internationally certified. Ini terbukti banyak sekali pilot kita di seluruh dunia.

Pada beberapa kecelakaan (crash) terakhir menunjukkan ada kesalahan pilot. Apakah itu bukan menunjukkan pilot kita di bawah standar?

Tidak, karena mereka juga melihat itu bukan 100% kesalahan pilot. Memang ada unsur sumbangan dari pilot, tapi bukan 100% atau 80% penyebabnya oleh pilot. Seperti tadi saya katakah bahwa dalam hal ini kembali terlibat regulator dan juga manajemen. Regulator dalam hal ini pemerintah.

Kalau di Amerika itu regulator bukan pemerintah yaitu Federal Aviation Authority. Bukankah itu publik?

Itu publik tapi pemerintah juga. Kalau yang baru adalah National Transportation Safety Board (NTSB). Dalam kaitan ini ada dua hal penting, yaitu pengawasannya dan juga juga re-enforcement harus kuat sekali.

Apakah kelemahan regulator kita karena kurang mampu, atau memang ada itikad yang kurang baik?

Kita semua mengetahui kondisi di Indonesia. Berapa gaji seorang inspektur? Itu permasalahannya juga.

Anda mengamati dunia penerbangan sudah puluhan tahun, apakah kualitas regulasi sekarang memang kurang daripada 20 tahun lalu?

Sebelum bisnis penerbangan dibuka (deregulasi), kita masih baik. Deregulasi dunia penerbangan kita terlalu cepat sekali, dan kita tidak bisa mengimbanginya. Kita juga tidak mau ikut dalam perkembangan itu secepatnya. Bayangkan saja, jumlah inspektur bisa dihitung oleh jari. Sedangkan pesawat ada di Banda Aceh, Sorong, Makassar, Manado, dan lain-lain. Jumlah inspekturnya kurang. Mereka juga seharusnya dibayar tinggi, tapi kenyataannya tidak.

Seberapa sering sesuatu harus dirawat? Kalau ada maskapai penerbangan internasional ke Indonesia, apakah dia di sini bisa mendapat cukup perawatan?

Kembali lagi, Garuda memang paling banyak memegang perawatan pesawat asing yang datang. Itu adalah satu jaminan sebetulnya. GMF itu Ok karena ada sertifikasi dari Amerika dan Eropa. GMF mempunyai semuanya. Dalam hal ini, pesawat saat datang ke satu tempat, misalnya dari Jakarta ke Medan, maka harus di cek lagi di Medan.

Menurut Anda, apakah kecelakaan yang akhir-akhir ini terjadi dan publisitas yang diundang olehnya termasuk wawancara kita itu membantu peningkatan keselamatan atau itu memang akan lewat begitu saja?

Ini bukan saya mau promosi lagi di sini. Saat kecelakaan di Solo, kejadian tersebut disimulasikan kembali baik oleh Lion Air ataupun Garuda. Pilotnya belajar lagi. Yang terakhir di Majene, saya mengetahui beberapa airlines terutama yang mempunyai simulator langsung melakukan simulasi kembali.