Selasa, 19 Agustus 2008

Dampak Tingginya Harga Minyak Dunia.

Dunia penerbangan sudah menjadi ‘passion’ yang mendrive perjalanan karir saya walaupun sampai saat ini tidak banyak kontribusi pemikiran yang telah tersumbang. Sebagian besar kerja jauh dari Tanah air (beberapa kali pernah di Airlines lokal) tapi saya selalu mengikuti perkembangan dunia penerbangan dalam negeri yang kadang-kadang menggembirakan tapi gak jarang juga mencemaskan terutama yang menyangkut ‘safety issues’ dan ‘business ethics’.

Saat ini saya bekerja di Dubai, tepatnya di Airbus Middle East, Divisi Airline Strategy, bagian dari consulting depertment Airbus untuk area Middle East, Africa, Indian sub-continent dan Eastern Europe. Banyak pelajaran yang saya dapat disini yang saya hendak di share dengan rekan-rekan sekalian di Tanah air, terutama ‘what are the do’s and the don’ts dalam industri ini.

Saya ingin sharing dikit mengenai situasi dunia penerbangan global yang lagi ‘kurang asyik’ akibat tingginya harga minyak dunia.

Dua minggu belakangan ini saya bikin ‘riset kecil-kecilan’ mengenai dampak kenaikan harga minyak dunia yang sampai hari ini mendekati level US$150 per barel. Kenapa hal ini penting saya utarakan ? karena ‘Fuel is being the lifeblood of Aviation industry’.

Seminggu yang lalu, CEO IATA Giovanni Bisignani mengungkapkan ‘The Aviation industry is engulfed in a perfect storm’…ngeri juga mendengernya. Beliau
biasanyaselalu optimis tentang kondisi transportasi udara… namun kali ini terkesan skeptis dan berbau pesimis. Apa gerangan yang membuat
kekhawatiran Beliau ?

Kita semua tahu setiap industri pasti ada ‘Downturns’ sebagai siklus periodik, begitu juga penerbangan. Seingat saya ‘downturns’ terakhir industri ini terjadi pasca 9/11 diikuti oleh “SARS outbreak’ sekitar akhir 2002 dan perang Irak. Periode ini tercatat sebagai salah satu ‘masa kelam’ penerbangan dunia. Padahal waktu itu harga minyak masih US$25 per barel ! Menurut Bisignani lagi, krisis kali ini akan lebih parah dibandingkan 9/11, SARS dan perang Irak digabung sekaligus.

Saya bukannya mau nakut-nakutin, karena saya concern dengan perkembangan dunia penerbangan akhir-akhir ini. Menurut catatan saya, dalam 6 bulan terakhir tingginya harga minyak telah membantu mematikan 24 Airlines, yang berakibat sekitar 600 pesawat di Grounded termasuk 100 pesawat Boeing 737 NG Ryanair, perusahaan LCC yang paling agresif di dunia. Begitu juga United Airlines yang berencana merumahkan 950 pilot nya, menjadikan total hampir 4000 pilot kehilangan pekerjaannya.

Sebegitu parahnya kah krisis kali ini ? Probably this situation will be far more serious than we might ever think !

US$140+ per barrel corresponding to higher operating costs—higher ticket prices—drive lesser traveller to fly (Less demand) Less demand memaksa airlines reducing fleet sehingga reducing schedules/networks mengakibatkan reducing profitability akhirnya reducing salaries or reducing people who work for Airlines.

Bayangkan betapa luas dan dalamnya dampak yang bisa terjadi dari krisis ini. Stake holders suatu airlines terdiri dari : perusahaan itu sendiri dengan karyawannya, penumpang, suppliers, MROs, travel agents, cargo agents, ground handling, catering, fuel providers, hotel, taksi, perusahaan leasing pesawat, sampe calo dan porter di airport.

Siapa yang paling terasa dampaknya? Full-service carriers atau LCCs? Dua-duanya! IATA mencatat penurunan drastis penumpang selama 6 bulan terakhir. Business travellers yang biasanya duduk di first class sudah mulai down-graded ke business class. Begitu juga yang biasa di business class sekarang sudah mulai berpikir untuk duduk di ekonomi, dan yang di ekonomi?, turun ke LCC! Bagaimana
dengan penumpang LCC ? mereka sudah mulai beralih ke moda transportasi lainnya seperti darat dan laut.

Tidak ada yang bisa memprediksi kapan krisis ini berakhir, Analis dari perbankan, Aircraft manufacturer, airlines dll memperkirakan bahwa harga minyak akan terus ‘rally’ hingga mencapai US$200 per barrel pada akhir tahun ini dikarenakan timpangnya antara produksi 30 juta barel/hari versus konsumsi 35 juta barel/hari.

Padahal British Airways dan Ryanair menyatakan jika harga minyak bertahan di level US$120 per barel, they’ll be operating at a loss! Bagaimana dengan Airlines di Indonesia ? Padahal customer behaviour dari penumpang di Indonesia sangat ‘Price-sensitive’. Intinya susah untuk dibayangkan jika harga minyak menyentuh level US$200 per barel. What about fuel hedging ? Trust me there’s nothing much we can do about it.

Laporan terakhir sudah ada beberapa Airlines di Amerika yang sudah meminta perlindungan
kebangkrutan (chapter 11) atau berencana merger, begitu juga di
Eropa dan Asia.

Beberapa riset untuk mencari pengganti fossil energy sedang dilakukan termasuk oleh Sir Richard Branson pemilik Virgin Atlantic dengan bio fuel nya. So far sudah beberapa testing dilakukan, tapi hasilnya belum cukup menggembirakan karena bahan bakar yang dihasilkan oleh minyak kelapa ini hanya bisa mengkontribusi 20 persen dari total kebutuhan jet fuel konvensional.

Yang menarik, untuk
memenuhi 20 persen kebutuhan jet fuel dunia, diperlukan lahan sebesar 5 kali Negara Belgia untuk menanam pohon kelapa nya. Let’s share how do we cope with this turbulence skies… So ladies and gentlemen, fasten your seatbelt, bumpy ride ahead !

Donnie Armand Hamzah
Airbus Industry Dubai

Tidak ada komentar: