Selasa, 26 Agustus 2008

Garuda Hidupkan Lagi Citilink

INILAH.COM, Surabaya - Setelah sempat terhenti, maskapai nasional Garuda Indonesia kembali mengoperasikan armada Citilink mulai 1 September mendatang dengan investasi awal Rp 100 miliar.

"Kedepan rute penerbangan akan terus ditambah seiring rencana penambahan jumlah pesawat", kata Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, dalam peresmian pengoperasian kembali Citilink, Jumat (8/8), di Surabaya.

Untuk mendukung pengoperasian kembali, Citilink yang semula berpusat di Jakarta dipindahkan ke Surabaya.

Pada tahap awal, armada Citilink dijadwalkan menerbangi 16 jalur penerbangan yang melayani tujuh kota tujuan. Citilink diperkuat lima pesawat Boeing 737 seri 300 yang berkapasitas 148 penumpang.

Rute yang bakal dilayani Citilink antara lain Surabaya - Jakarta, Surabaya - Batam, Surabaya - Banjarmasin, dan Surabaya - Balikpapan.

Hingga akhir tahun Citilink ditargetkan mampu mengkontribusi 10% dari total penumpang yang diangkut Garuda Indonesia. Pada 2007 lalu, maskapai pelat merah ini melayani 9,5 juta penumpang.

Sedangkan target tahun ini adalah 10 juta penumpang. "Tahun depan diharapkan pangsa pasar Citilink bisa tumbuh hingga 20%," pungkasnya.[L5]

Kepercayaan atas GMF makin tinggi

oleh : Erwin Nurdin

JAKARTA (bisnis.com): Pusat perawatan pesawat PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia menargetkan kenaikan pendapatan setelah dinyatakan lulus audit oleh Federal Aviation Administration (FAA).

Dirut GMF Aero Asia Richard Budihadianto mengatakan optimistis pendapatan perusahaan meningkat menyusul semakin meningkatnya kepercayaan internasional atas pusat perawatan pesawat itu.

"Pendapatan kami dari merawat pesawat perusahaan penerbangan internasional porsinya mencapai 80%, sedangkan pendapatan dari domestik lebih kecil yakni sebesar 20%," ujar Richard kepada Bisnis hari ini.

Otoritas penerbangan sipil Amerika Serikat menyatakan PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia lulus dalam audit tahunan yang dilakukan oleh auditor lembaga itu. Audit dilakukan FAA pada 19-21 Agustus.

FAA menugaskan dua auditornya yakni Kenneth W Ziemer dan Antonio C Blas. Audit tahunan ini memastikan GMF memenuhi standar dan prosedur perawatan pesawat yang telah ditetapkan FAA. Audit terhadap GMF ini meliputi sistem kualitas dan prosedur, personnel qualification, training program dan fasilitas perawatan terbang.

Lulus Standar, GMF AeroAsia Makin Mantap Masuk Eropa

Alih Istik Wahyuni - detikFinance


Jakarta - Perusahaan perawatan pesawat PT GMF AeroAsia (Garuda Indonesia Group) dinyatakan lulus standar Otoritas enerbangan sipil Eropa, European Aviation Safety Agency (EASA).

Berbekal hasil audit ini, GMF AeroAsia makin memantapkan bisnisnya di Eropa bahkan berniat memperluas pangsa pasar globalnya.

Dari audit yang dilakukan sejak 29 Januari sampai 5 Februari 2008, GMF AeroAsia, yang merupakan perusahaan MRO (maintenance, repair, overhaul) terbesar di Indonesia, dinilai telah memenuhi prosedur kerja yang ditetapkan EASA.

"GMF AeroAsia sudah memenuhi prosedur & regulasi, dan berhasil meningkatkan standar quality and safety dalam perawatan pesawat terbang," kata Auditor dari GSAC (Groupement pour la Securite Aviation Civile) yang merupakan otoritas penerbangan sipil Perancis Bruno Allus dalam siaran pers yang diterima detikFinance, Rabu (6/2/2008).

Menurut VP Quality Assurance & Safety PT GMF AeroAsia Fuad Abdullah, audit tersebut merupakan siklus dua tahunan yang meliputi prosedur kerja perawatan pesawat, quality system, personal qualification, fasilitas perawatan, dan kelengkapan peralatan.

Saat ini GMF AeroAsia memiliki kemampuan melakukan perawatan pada semua jenis pesawat yang beroperasi di Indonesia seperti B737 Series, B747 Series, B737 NG, A330, A319, MD-80, dan lain-lain.

Adapun jenis perawatan yang dikerjakan meliputi perawatan rutin dari A-Check, B-Check, C-Check, sampai perawatan berat yakni D-Check (overhaul). "Kemampuan melakukan perawatan pesawat terbang ini terus kami kembangkan sesuai dengan perkembangan industri penerbangan," kata Fuad.

Sementara Direktur Utama PT GMF AeroAsia Richard Budihadianto berharap hail audit bisa membuat industri penerbangan mempercayakan perawatan maskapainya pada GMF AeroAsia. Tidak hanya maskapai lokal, tapi juga penerbangan asing.

Saat ini GMF sudah memiliki beberapa pelanggan maskapai dari Eropa. Dengan hasil audit ini, diharapkan posisinya akan makin mantap.

"Hasil audit bisa menumbuhkan kepercayaan industri penerbangan internasional kepada GMF sebagai MRO terbesar di Indonesia," kata Richard.

Beberapa maskapai di Eropa yang sudah menjalin kerjasama dengan GMF AeroAsia antara lain Air Atlanta (Islandia), Hellenic Imperial Airways (Yunani), MK Airlines (Inggris) dan Pron Air (Spanyol). Di luar airlines ini, masih ada sejumlah airlines asing di bawah registrasi FAA yang juga menjadi customer GMF. "Ini bukti bahwa produk yang kita asilkan diakui oleh masyarakat penerbangan di Eropa," kata Richard Budihadianto.

FAA Nyatakan GMF Lulus Audit




Foto: Nograhany/detikcom
Jakarta - Otoritas penerbangan sipil Amerika Serikat, Federal Aviation Administrion (FAA) menyatakan PT GMF AeroAsia lulus dalam audit tahunan yang dilakukan oleh auditor FAA. Hasil audit ini bisa jadi modal utama bisnis GMF kedepannya.

Kelulusan tersebut merupakan hasil audit FAA terhadap GMF AeroAsia yang berlangsung pada 19-21 Agustus 2008. Dalam audit kali ini, FAA menugaskan dua auditornya yakni Kenneth W Ziemer dan Antonio C Blas. Keduanya meninjau fasilitas perawatan pesawat GMF seperti Hangar, Electrical, Hydraulic, Pneumatic, Wheel & Brake dan Avionics Shop, serta Engine Shop.

Audit tahunan ini untuk memastikan PT GMF AeroAsia memenuhi standar dan prosedur perawatan pesawat yang telah ditetapkan oleh FAA. Adapun lingkup audit meliputi quality system & procedures, personnel qualification, training program, dan fasilitas perawatan pesawat terbang GMF AeroAsia.

Pada saat de-briefing di Gedung Manajemen GMF AeroAsia di kawasan Bandara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng Ken Ziemer menyatakan GMF AeroAsia "well controlled & well organized" serta memenuhi standar USA Repair Station-FAR 145.

"Secara umum hasil audit memuaskan," kata Ken Ziemer dan Tony Blas di Cengkareng pada 22 Agustus 2008 seperti dirilis dalam siaran pers GMF, Sabtu (23/8/2008). Namun demikian tentu saja ada beberapa saran atau rekomendasi kepada GMF untuk ditindaklanjuti.

Ketika mengaudit GMF, auditor FAA juga melihat langsung proses perawatan pesawat salah satu maskapai penerbangan dari Amerika Serikat, Southern Air. Pesawat Boeing B747 yang berada di bawah registrasi FAA itu sedang menjalani perawatan C-check di Hangar 1 GMF. Setelah melihat kondisi hangar 1, auditor mengapresiasi proses maintenance yang dilakukan GMF serta kerapihan dan kebersihan tempat kerja.

"Mereka mengapresiasi itu semua," kata Fuad Abdullah, VP Quality Assurance and Safety GMF.

Menurut Fuad Abdullah, secara umum hasil audit FAA ini cukup baik. "FAA yakin kalau GMF secara konsisten mengimplementasikan regulasi yang mereka tentukan, namun kita harus tetap meningkatkan safety & quality secara terus menerus," katanya.

Persetujuan FAA yang diraih GMF ini berlaku sampai tahun 2010. Dan selama periode dua tahun tersebut akan ada tiga kali surveillance audit.

Menurut Fuad Abdullah, hasil audit ini bisa menjadi credit point bagi Indonesia dalam rangka meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan di Indonesia.

"Hasil audit ini merupakan kontribusi penting GMF kepada bangsa Indonesia yang baru saja memperingati kemerdekaan," katanya.

Hasil audit ini juga makin menguatkan tekad GMF AeroAsia menjadi pemain utama dalam bisnis perawatan pesawat di pasar internasional. Pengakuan dari FAA ini merupakan salah satu pengakuan dunia penerbangan internasional kepada GMF. Selain itu GMF juga memiliki sertifikat approval dari otoritas penerbangan sipil Eropa, EASA serta beberapa otoritas penerbangan negara lain.

"Kita semua berharap hasil audit ini makin memacu semangat kita untuk menjadi lebih baik," pungkas Fuad.

Minggu, 24 Agustus 2008

Mimpi Buruk Dunia Penerbangan

Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail

Kita berharap di tengah masa sulit ini , Dinas Kelayakan Udara tidak bosan bosannya agar selalu mengadakan audit safety on the spot langsung ke lapangan , karena banyak disinyalir , salah satu instrumen yang dikalahkan untuk menutup biaya operasi adalah memberikan toleransi yang berlebihan dalam hal safety

Prediksi Presiden IATA Mr.Silvio Basignani yang menyatakan bahwa tahun 2008 trafik penumpang angkutan udara dunia tahun 2008 tumbuh 15 persen memasuki bulan April 2008 ini bisa menjadi sebuah tanda tanya besar .

Memasuki bulan April ini saja beberapa airline LCC (low cost carrier) di Amerika pun sudah bangkrut , catatan data maskapai LCC , Aloha Airlines , Sky Bus , ATA airlines sudah melakukan operasi terbang lagi (noops) , begitu juga di Hong Kong , Oasis Airlines juga bangkrut sedangkan di Indonesia , Adam Air , suspended untuk melayani masyarakat Indonesia , dan jika dalam waktu tiga bulan ke depan , AOC - ijin terbangnya akan dicabut pemerintah.

Begitu pada awal tahun 2008 , harga minyak dunia menyetuh .100 dolar AS per barel maka asumsi cost budget untuk fuel consumption yang dihitung maskapai menjadi meleset semua , maskapai rata-rata untuk cost budget fuel nya tahun 2008 di asumsikan pada angka.95 dolar AS/barel. Bayangkan sementara data terakhir ini , harga fuel bahkan pernah menyentuh level 135 dolar AS/barel .

Jelas angka tersebut di luar kontrol dari maskapai dan sudah cenderung un managedable lagi , sebuah mimpi yang sangat buruk memasuki kuarter pertama tahun 2008 , di mana empat bulan awal tahun justru traffic penumpang masih dalam tahapan low period dihantam kenaikan fuel yang menggila. Lebih parahnya lagi , maskapai rata-rata hanya mempunyai satu instrumen yang dimainkan untuk mengimbangi kenaikan harga fuel , yakni hanya gemar menaikkan fuel surcharge , sehingga beban penumpang juga akan semakin berat , karena ujung-ujungnya harga tiket akan semakin mahal akan tetapi penumpang tidak akan memperoleh tambahan kualitas servis karena maskapai juga tentunya memotong cost auxiliary service yang diberikan dengan alasan penghematan anggaran .

Ilustrasinya di lapangan , bayangkan untuk satu botol kecil air mineral isi 30ml saja penumpang di dalam pesawat harus membeli Rp 5.000 padahal kalau d iluar hanya dijual Rp1.500/per botol , kenyataan pahit , kualitas pelayanan versus profit oriented sepihak dari maskapai ?

Kondisi maskapai domestik.
Pertumbuhan maskapai Indonesia saat memang unik dan penuh dinamika , semua maskapai di tanah air meng klaim semuanya sebagai maskapai ekonomis / LCC. Akan tetapi dalam kenyataannya di lapangan , klaim sebagai maskapai LCC nampaknya masih jauh dari kenyataan .

Contoh kecil saja , semua maskapai LCC di Indonesia , menawarkan program layanan ekslusif berupa membership yang di iming-imingi member bisa akses menunggu di executive lounge, padahal kita semua paham bahwa layanan di executive lounge ini adalah fully cost dan merupakan trade mark layanan untuk full service airline bukanlah bentuk layanan yang disarankan untuk LCC .

Nampaknya konsep LCC di tanah air masih rancu , satu kaki kepengin berhemat akan tetapi di tempat lain , masih jor-joaran fasilitas - yang sebenarnya sarat dengan biaya yang tinggi. Belum lagi semua maskapai LCC juga membangun call centre , padahal contoh sudah diberikan Citilink dahulu , hanya membuat reservasi dari internet base saja cukup , hemat biaya dan bisa diakses kapan dan di mana saja .

Dampak kenaikan harga minyak dunia memang luar biasa, semua kena imbasnya , tidak terkecuali dunia penerbangan kelas dunia pun , santer terdengar maskapai kelas wahid Singapore Airlines pun juga akan mengurangi frekuensi nya ke salah satu tujuan ke kota Amerika Serikat karena biaya operasi yang sangat tinggi , utamanya fuel consumption yang bisa menyedot 43 persen dari total biaya yang dikeluarkan .

Sebagai perbandingan saja , survei menunjukkan bahwa sebelum kenaikan bahan bakar menyentuh level 130 dolar AS/ barel , dengan asumsi harga minyak.90 dolar AS saja untuk maskapai LCC , percentage cost -nya saja untuk bahan bakar sudah menyedot 60 persen dari total biaya operasi , apalagi dengan harga 130 dolar AS pasti cost untuk fuel menyedot kisaran 60-80 persen sendiri .

Pertanyaannya , dengan masih terjadinya perang tarif antar LCC , apakah profit margin yang didapat oleh LCC akan menutup biaya fuel dan lain lainnya . Yang menjadi kekhawatiran kita semua jangan sampai keterbatasan fleksibilitas anggaran ini mempengaruhi tingkat jaminan keselamatan pesawat , perawatan pesawat , pembelian suku cadang yang semestinya harus diganti .

Kita berharap di tengah masa sulit ini , Dinas Kelayakan Udara tidak bosan bosannya agar selalu mengadakan audit safety on the spot langsung ke lapangan , karena banyak disinyalir , salah satu instrumen yang dikalahkan untuk menutup biaya operasi adalah memberikan toleransi yang berlebihan dalam hal safety .

Biasanya penumpang memang sangat sulit untuk merasakan langsung dampaknya , contoh yang paling nyata adalah kasus pada Adam Air , temuan dari Dep Hub membuktikan hal tersebut.

Penghematan
Di luar biaya bahan bakar , dan maintenance /perawatan pesawat , ada beberapa overhead cost yang tampaknya masih bisa ditekan . Saya pernah membaca dalam internal news magazine salah satu maskapai tanah air , untuk crew ron (menginap) mereka mulai menyewa mess yang dimodifikasi sehingga cukup layak dan nyaman untuk ditinggali sebagai base crew ron, bayangkan kalau ada beberapa kota di Indonesia mereka kapten pilot dan cabin crew-nya mempunyai awareness mau tinggal di mess yang memang layak pakai tentu ini merupakan salah satu jurus penghematan yang patut diacungi jempol , daripada hanya memaksakan gengsi ron di hotel berbintang tiga ke atas asal semuanya tidak berpengaruh pada aspek safety , semua masih sah sah saja. Sebenarnya beberapa langkah penghematan dalam hal aspek tiketing , dahulunya memakai paper tiket ,hampir semua maskapai sudah beralih ke elektronik tiket (paperless) sudah dilakukan .

Bayangkan jika satu tiket dulunya memakan biaya tiga dolar AS per tiket sekarang dengan memakai teknologi e-ticket biaya per tiket hanya satu dolar AS per lembar , bila setahun, dari penghematan biaya tiket sudah mencapai puluhan miliar rupiah, sungguh penghematan yang rasional di tengah badai harga miyak dunia yang mencekik.

Market traffic penumpang domestik sungguh luar biasa, tahun 2008 ini diprediksi ada 40 juta orang yang akan memakai moda transportasi udara , dan perputaran uang di bisnis penerbangan ini ada 60 triliun rupiah per tahun , suatu angka bisnis yang masih sangat menjanjikan .

Tinggal bagaimana pihak operator penerbangan bisa menyikapi secara prudent dan bersikap profesional dalam mengelola bisnis penerbangan sarat dengan regulasi serta kompetisi yang sangat tajam . Selamat berkompetisi secara fair dan sehat.

Arista Atmadjati SE MM
Manager Sales Marketing Garuda Indonesia Banjarmasin


Indonesia grounds five airlines on safety fears: ministry

Jakarta (ANTARA News) - Indonesia has grounded five airlines and given them three months to improve safety standards or face a ban, a transport ministry spokesman said Tuesday.

A safety audit found airlines Helizona, SMAC, Asco Nusa Air, Tri-MG Intra Asia Airlines and Dirgantara Air Service failed to meet minimum standards in all safety categories, spokesman Bambang Ervan told AFP.

The airlines have been moved into the transport ministry's bottom safety ranking and have had their Air Operator's Certificates (AOC) suspended, Ervan said.

"They can't fly because their certificates have been frozen. If after three months they don't take any action, their AOCs will be revoked," he said.

Indonesia, which relies on air routes to link its thousands of islands, has one of the world's worst air safety records. (*)

Garuda Indonesia Achieves “IOSA Registration”


Garuda has successfully completed the IATA Operational Safety Audit (IOSA) and has been added to the IOSA Registry.


The IOSA programme is an internationally recognized and accepted evaluation system designed to assess airlines’ operational management and control systems. IOSA uses internationally recognized quality audit principles, where audits are conducted in a standardized and consistent manner. The programme is designed to maximize quality, integrity and safety, so that mutually interested airlines and regulators can all benefit from using IOSA audit reports. As a result, the industry is in a position to achieve the benefits of cost-efficiency and improved safety through a significant reduction of redundant audits.


IOSA is the first global standard to include 8 major aspects of an airline’s ability to deliver a safe operation : organization & management, flight operations, operational control and flight dispatch, aircraft engineering and maintenance, cabin operations, aircraft ground handling, cargo operations, and operational security. These 8 sections comprise more than 900 standards that an airline is audited to, and in order to achieve IOSA Registration, the airline must satisfy them all.


The IOSA programme has been recognized by IATA member airlines and continues to gain industry – wide acceptance as a standard and recommended practice for airline safety and quality.


The President & CEO Garuda , Emirsyah Satar explained that receiving the IOSA Registration is testimony of Garuda ’s commitment towards safety. He added that he hoped the achievement would gain some recognition from the European Commission, which has put in place a blanket ban on Indonesian airline operations to Europe .


At present, 202 airlines worldwide have been registered as an IOSA operator considering that from June 2006, IOSA became a condition for IATA membership; over 90% of all international scheduled passenger traffic is conducted on IOSA Registered airlines. IATA members must maintain their IOSA Registered in order to achieve or retain IATA Membership. This demonstrates the commitment of IATA Members to safety and makes IATA membership a mark of quality.


Garuda is proud to be a part of this group of airlines. We hope that our customers will appreciate Garuda ’s commitment to safety and quality.

Jakarta, May 29, 2008

PT GARUDA INDONESIA

VP. CORPORATE SECRETARY


PUJOBROTO

pujobroto@garuda-indonesia.com

6221-5591 5643

62811-158016

Airbus 320 Laris Manis

TEMPO Interaktif, Jakarta:

Pesawat produksi Airbus dari Perancis yang paling banyak dipesan sejauh ini adalah jenis Airbus 320. Pada kurun waktu Januari-Juni 2008, pemesanan pesawat famili A320 mencapai 335 unit.


Dalam siaran persnya via surat elektronik, Airbus menyebutkan jumlah pesanan itu setara dengan 64 persen dari seluruh pemesanan Airbus tipe baru. Dengan demikian, sampai sekarang total pemesanan A320 mencapai lebih dari 2.600 unit.

Dalam catatan Tempo, sejumlah maskapai penerbangan Indonesia juga melakukan pemesanan A320. Maskapai Mandala Airlines misalnya, telah memesan 30 unit yang akan datang semuanya tahun 2012 mendatang. Maskapai Indonesia AirAsia juga berencana mengganti 12 unit pesawat Boeing 737-300-nya dengan A320.

Selain jenis A320, pada semester pertama tahun ini tercatat juga pemesanan pesawat Airbus jenis lain yakni 105 unit A330, 82 unit A350, dan 3 unit A380. Setelah pembatalan untuk seri terbaru A350, total bersih pemesanan sebesar 487 unit selama semester pertama tahun ini. Dari sejumlah itu, 222 pesanan datang dari kawasan Asia Pasifik.

Terkait pemesanan pesawat tersebut, pesaing Airbus yakni Boeing dari Amerika Serikat tak mau kalah. Menurut keterangan pihak Boeing via surat elektronik, pemesanan pesawat Boeing berbagai jenis selama Januari-Juli 2008 mencapai 543 unit. Adapun pengiriman hingga Juni 2008 sebanyak 241 unit pesawat.

Kamis, 21 Agustus 2008

Semua Tergantung Regulasi

Dudi Sudibyo

Menurut Dudi Sudibyo, permasalahan dunia penerbangan di Indonesia timbul ketika pemerintah membuka kran dimana banyak orang bisa mendirikan perusahaan airline yaitu sekitar tahun 2000. Itu membuat industri penerbangan kita tumbuh begitu cepat dari tahun 2000 sampai 2008. Tapi itu tidak selaras dengan pertumbuhan sumber daya manusia (SDM) dan infrastrukturnya. Di sinilah permasalahannya.

Dudi Sudibyo mengatakan, kita tidak bisa mengimbangi pertumbuhan industri yang begitu cepat. Kita juga tidak mau ikut dalam perkembangan itu secepatnya. Dia mencontohkan jumlah inspektur bisa dihitung oleh jari. Sedangkan pesawat ada di Banda Aceh, Sorong, Makassar, Menado, dan lain-lain. Mereka juga seharusnya dibayar tinggi, tapi kenyataannya tidak. Guna memperbaiki dunia penerbangan nasional harus bermuara dari regulator. Kalau regulator kita baik, maka industrinya juga pasti baik. Dalam kaitan ini ada dua hal penting, yaitu pengawasannya dan juga penegakan aturannya harus kuat sekali.

Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Dudi Sudibyo.

Adam Air dihentikan, maka kami sebagai konsumen atau penumpang ingin mempunyai pegangan. Apa sebenarnya yang berbahaya, apakah pesawatnya, pilot, atau perusahaannya dan bagaimana faktor resikonya?

Permasalahan timbul ketika pemerintah membuka kran, dimana banyak orang bisa mendirikan perusahaan Airline yaitu kira-kira pada tahun 2000. Pertama datang dan salah satunya adalah Lion Air yang memperkenalkan suatu tarif yang luar biasa murah, sehingga semua orang bisa terbang. Tentunya ini suatu kebanggaan dan saya sampaikan pada pemiliknya yaitu Rusdi Kirana bahwa saya bangga sekali. Tetapi saya katakan juga siapa yang mendidik penumpang untuk budaya penerbangan, dan bisnis penerbangan itu seperti apa? Tentunya itu harus kita persiapkan. Kelihatannya semua tidak siap termasuk Lion Air pada saat itu. Tentu kita ingat saat crash di Solo dan itu salah. Jauh sebelum itu saya pernah mengatakan pada Rusdi, "Pak saya lihat ada deviasi. Dan kalau ada deviasi harus back to the track". Namun yang terjadi justru seperti di Solo. "Kalau sebelum kejadian Solo saya tulis ada sesuatu, tentu Bapak tidak senang."

Crash seperti Solo itu tentu mengalami investigasi melalui lembaga ini dan itu dan melihat black box dan sebagainya. Lalu, Apakah Anda melakukan ulasan setelah melihat hasil mereka atau secara intuitive bisa menebak kesalahan itu?

Saya salah satu diantaranya. Contoh lain adalah saat kejadian Garuda di Solo. Ketika saya mendengar ada pesawat jatuh mendarat di Bengawan Solo, satu hal yang saya lakukan adalah saya menelpon meteorology. Saya ingin mengetahui bagaimana kondisi udara di atas 31.000 kaki saat itu. Dengan informasi dari meteorology saya bisa menebak bahwa itu karena Icing atau ada gumpalan es dan bisa dipastikan menyebabkan mesin pesawat mati. Saya langsung menulis di Kompas walaupun tidak ada data yang kuat mendukung saya, tapi itu disebabkan icing. Kejadian itu sangat jarang terjadi. Begitu saya bertemu dengan pilot pesawat Garuda Kapten Rozak, dia mengatakan, "Pak Dudi kok bisa tahu itu?"

Apakah itu memang karena sudah menyelaminya?

Ya, kadang kita bisa melihat ini begini dan begitu.

Anda tadi mengatakan dapat memperkirakan apa yang terjadi sewaktu kasus Garuda mendarat di Bengawan Solo bedasarkan pengalaman. Apakah Anda juga sering salah daripada benar?

Saya kira salah juga ada karena saya cuma menganalisa. Analisa saya juga bisa meleset tapi melesetnya tidak begitu jauh, contoh hydroplanning di Solo dengan pesawat Garuda dan ada banyak yang meninggal tapi pilotnya tidak.

Apakah Anda bisa cerita detail yang terjadi dengan pesawat itu, apakah patah, pecah, atau terbentur-bentur saja, atau bagaimana?

Seperti kasus Marwoto di Yogjakarta, untung dia bisa selamat. Kembali lagi kita harus percaya Allah, God is so kind, untuk membuka tabir karena jika dia meninggal kita tidak akan tahu karena dia saksi hidup.

Kecelakaan di Solo terjadi karena pesawat terkena gumpalan es, sedangkan kecelakaan tempat lain karena macam-macam. Apakah ada atau tidak benang merah antara satu kecelakaan dengan kecelakaan lain?

Ada beberapa kasus yang bisa dikatakan memiliki kesamaan. Nah, ini adalah tugas dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) adalah mencari solusi jangan sampai terulang lagi. Inilah tugas dari KNKT, bukan untuk mencari siapa yang salah tetapi mencari penyebab kecelakaan itu.

Dalam kenyataannya setelah sekian kecelakaan diselidiki, apakah masih terjadi pengulangan atau memang bisa kita belajar dari kesalahan?

Kita bisa belajar. Saya lihat tidak ada persamaan yang sama.

Jadi kalau ada yang jatuh berarti alasannya baru lagi?

Iya, baru lagi.

Bagi penumpang ini penting. Apakah masih banyak atau tidak alasan baru, jangan-jangan tidak ada habis-habisnya alasan baru?

Pesawat itu benda terbang. Bayangkan saja, dari Jakarta ke Eropa terbang selama 14 jam dengan mesin tidak berhenti. Saat sampai di Amsterdam, pesawat hanya 45 menit istirahat lalu terbang lagi ke London. Dari London terus ke Jakarta lagi.

Anda kelihatannya bersimpati pada pesawat terbang. Jadi kalau pesawat jatuh sih maklum saja karena kasihan dia capek. Apakah seperti itu?

Oh bukan, pesawat memang telah dibuat sedemikian rupa. Namun itu tentu tidak terlepas dari perawatan.

Oh, jadi yang penting perawatannya. Lalu, bagaimana dengan perawatan pesawat di Indonesia?

Nah, inilah yang saya katakan kita prihatin. Banyak sekali kekurangannya dengan pertumbuhan industri penerbangan kita yang begitu cepat dari tahun 2000 sampai tahun 2008. Bayangkan, pada tahun 2000 penumpang hanya tujuh juta orang. Tahun lalu (2007) sudah ada 36 juta penumpang, dan tahun ini (2008) diperkirakan 40 juta orang. Nah, ini tidak selaras dengan pertumbuhan SDM-nya dan juga infrastruktur-infrastrukturnya. Di sinilah masalahnya.

Apakah itu ada hubungan kuat dengan usia pesawat terbang? Bagaimana usia pesawat terbang di Indonesia dibandingkan dengan negara lain?

Saya melihat di Amerika, usia pesawat terbangnya sudah 35 tahun. Bayangkan, pesawat jenis McDonell Douglass (MD-80) masih terbang di sana. Unsurnya lagi-lagi adalah perawatan, pengawasan yang ketat dari regulator dan kecakapan keseluruhan dari crew dan manajemen. Dari segi lain, pesawat berusia 35 tahun tidak dapat bersaing dengan pesawat sekarang yang lebih efisien dari segi ekonomis.

Apakah bisa dikatakan Indonesia mempunyai terlalu banyak pesawat dibandingkan dengan kapasitas perawatannya (maintenance)?

Ya, itu karena pertumbuhannya terlalu cepat dan juga SDM-nya kurang, baik maintenance crew maupun flight crew. Contohnya kembali lagi ke Adam Air, saya pernah menyaksikan mereka menyewa dry lease (sewa pesawat saja, tanpa peralatan dan crew) tapi hanya simulatornya, tidak ada pihak Garuda karena biasa menyewa dari Pusat Penerbangan Garuda. Di sana ada lima pilot dan instrukturnya. Yang menerbangkan simulator hanya dua orang, sedangkan tiga orang lainnya di belakang hanya melihat bagaimana pesawat itu diterbangkan. Saat keluar simulator, semua tanda tangan sudah menerbangkan. Ada efisiensi di sana tapi kecakapan pilotnya tidak dapat. Dia seharusnya memegang simulator dengan tangannya sendiri. Contoh, saya pernah menerbangkan secara simulator pesawat terbesar di dunia, Super Jumbo-380, Airbus terbesar di dunia. Saya sudah terbang dua kali. Saya bukan menerbangkan pesawat sungguhan tapi simulator. Waktu itu saya minta autopilot-nya di matikan. Saya ingin memegang pesawat secara manual. Memang pesawat itu besar, tapi menerbangkannya seperti pesawat kecil saja. Sewaktu sistem autopilot dimatikan, saya bisa merasakan posisi pesawat. Karena itu saya kembali lagi mempertanyakan kasus pesawat Adam Air di Majene sewaktu dimatikan auto pilotnya. Mengapa pilotnya tidak bisa merasakannya?

Maksudnya, tidak merasa kalau pesawat mulai miring sekian derajat dan sebagainya.

Itu yang saya pertanyakan. Itu artinya mereka juga kurang pelatihan di dalam simulator.

Akhirnya Adam Air dicabut izinnya dan tidak beroperasi lagi. Jadi, orang tidak akan celaka naik Adam Air karena memang sudah tidak ada Adam Air. Apakah Masih ada perusahaan lain yang seharusnya dicabut juga?

Saya kira ada.

Pertanyaan saya tersebut untuk keamanan penumpang. Jadi, apakah sekarang kita harus takut atau sudah harus merasa aman karena Adam Air sudah dihentikan?

Kalau tidak salah, sekarang termasuk yang belum beroperasi ada 22 perusahaan. Itu terlalu banyak untuk Indonesia. Saya selalu mengingatkan kepada regulator bahwa kita hanya butuh lima maskapai besar. Ini karena saya melihat jumlah 22 perusahaan, tapi sekarang mungkin sudah berkurang menjadi 15 maskapai. Itu terlalu banyak. Dari 15 perusahaan kita buat saja menjadi lima. Saat ini tiga maskapai milik pemerintah yaitu Garuda, Merpati dan Pelita, bisa menjadi satu group. Jadi pemerintah hanya memiliki satu. Saya melihat juga Mandala bisa membuat group lain dengan perusahaan yang kecil-kecil melalui merger bersama-sama. Lalu ada Lion group. Tadinya saya pikir group lainnya adalah Adam Air tapi sekarang sudah out.

Apakah ada perbedaan kualitas atau tidak, baik cockpit crew maupun maintenance dari satu airlines dengan airlines lainnya? Kalau di internasional, pilot Garuda bisa menerbangkan pesawat Cathay, apakah di Indonesia bisa seperti itu juga?

Pilot Indonesia diakui di luar negeri. Kecakapannya bukan main. Nah, di sini juga ada persoalan pembajak Misalnya, seorang Co-Pilot mungkin seumur hidup akan menjadi Co-Pilot dan tidak bisa menjadi kepala kapten pilot karena saat diuji dia tidak cakap untuk posisi tersebut. Jadi, kurang mampu. Tapi di perusahaan lain mengatakan, "You datang ke tempat saya, maka akan saya jadikan kapten." Ini masalahnya.

Saya kembali pada pertanyaan dasar setiap konsumen, bagaimana cara kita memilih perusahaan penerbangan yang aman karena andaikata kita mempunyai budget yang cukup tentu memilih Garuda?

Ini juga sulit untuk kita karena ini promosi. Tadi Pak Wimar menyebut Garuda. Kalau dilihat, Garuda memang salah satu airlines di Indonesia yang mempunyai fasilitas segala macam. Untuk perawatan, dia memiliki Garuda Maintenance Facility (GMF). Di dalam GMF itu ada gudang yang di dalamnya ada spare part senilai US$ 20 juta lebih. Tidak ada airline lain di Indonesia sekarang yang seperti dia. Beberapa diantaranya sudah muncul juga dan sedang dipersiapkan. Dua airlines diantaranya saya lihat sudah punya fasilitas gudang walau tidak sebanyak Garuda, dan juga mempunyai simulator. Nah perusahaan-perusahaan inilah yang kita lihat bahwa dia serius. Yang lainnya agak sedikit berantakan.

Jadi kita harus langganan majalah Angkasa untuk mengetahui yang aman atau tidak.

Ha...ha....ha..., iya salah satunya. Pak Wimar bisa bayangkan mereka ada yang merawat komponennya di shophouse atau rumah toko (Ruko). Tidak bisa begitu untuk airlines. Untuk penerbangan tidak bisa secara open air karena tidak boleh kotor. Saya geleng-geleng kepala.

Mengapa mereka berani begitu?

Yang salah di sini adalah regulator dan manajemennya, karena semestinya ini ditutup. Semestinya mereka yang menerbangkan pesawat juga protes. "Hei, kita tidak mau spare part dibetulkan di tempat begitu saja." Ini yang mereka kurang sadari.

Mengenai penerbangan Internasional. Orang heboh karena masyarakat Uni Eropa melarang perusahaan Indonesia terbang ke airport di Eropa. Lalu, para patriot keberatan. Tapi para penumpang ketakutan juga kalau terbang dengan pesawat yang tidak aman. Jadi, katanya, boleh-boleh saja dilarang. Apakah kita harus memperjuangkan izin terbang ke Uni Eropa, atau kita menerima dan membiarkan orang memakai penerbangan maskapai luar negeri?

Soal itu, saya kira kembali lagi ke diri kita sendiri. Semuanya bermuara dari regulator kita. Kalau regulator kita baik, maka industrinya juga pasti baik. Contoh lagi, komponen pada inertial reference system (IRS), pada pesawat Adam Air sudah rusak 154 kali, tapi regulator kok diam saja. Padahal regulator mempunyai power bisa menegur. "Hei, you ganti IRS ini karena sudah tidak bisa dipertanggungjawabkan." Itu karena ada penumpang jadi tidak safety. Itu juga dilihat oleh Uni Eropa. Uni Eropa tidak hanya mempertanyakan airlines kita, tetapi juga bagaimana regulator kita.

Untuk bisa lolos persyaratan Uni Eropa, apakah masih bisa dengan pesawat yang ada?

Pesawat yang ada masih bisa.

Apakah pilot yang ada juga masih bisa untuk lolos persyaratan? Apakah pilot kita memiliki internationally certified?

Masih bisa. Semua pilot memiliki Internationally certified. Ini terbukti banyak sekali pilot kita di seluruh dunia.

Pada beberapa kecelakaan (crash) terakhir menunjukkan ada kesalahan pilot. Apakah itu bukan menunjukkan pilot kita di bawah standar?

Tidak, karena mereka juga melihat itu bukan 100% kesalahan pilot. Memang ada unsur sumbangan dari pilot, tapi bukan 100% atau 80% penyebabnya oleh pilot. Seperti tadi saya katakah bahwa dalam hal ini kembali terlibat regulator dan juga manajemen. Regulator dalam hal ini pemerintah.

Kalau di Amerika itu regulator bukan pemerintah yaitu Federal Aviation Authority. Bukankah itu publik?

Itu publik tapi pemerintah juga. Kalau yang baru adalah National Transportation Safety Board (NTSB). Dalam kaitan ini ada dua hal penting, yaitu pengawasannya dan juga juga re-enforcement harus kuat sekali.

Apakah kelemahan regulator kita karena kurang mampu, atau memang ada itikad yang kurang baik?

Kita semua mengetahui kondisi di Indonesia. Berapa gaji seorang inspektur? Itu permasalahannya juga.

Anda mengamati dunia penerbangan sudah puluhan tahun, apakah kualitas regulasi sekarang memang kurang daripada 20 tahun lalu?

Sebelum bisnis penerbangan dibuka (deregulasi), kita masih baik. Deregulasi dunia penerbangan kita terlalu cepat sekali, dan kita tidak bisa mengimbanginya. Kita juga tidak mau ikut dalam perkembangan itu secepatnya. Bayangkan saja, jumlah inspektur bisa dihitung oleh jari. Sedangkan pesawat ada di Banda Aceh, Sorong, Makassar, Manado, dan lain-lain. Jumlah inspekturnya kurang. Mereka juga seharusnya dibayar tinggi, tapi kenyataannya tidak.

Seberapa sering sesuatu harus dirawat? Kalau ada maskapai penerbangan internasional ke Indonesia, apakah dia di sini bisa mendapat cukup perawatan?

Kembali lagi, Garuda memang paling banyak memegang perawatan pesawat asing yang datang. Itu adalah satu jaminan sebetulnya. GMF itu Ok karena ada sertifikasi dari Amerika dan Eropa. GMF mempunyai semuanya. Dalam hal ini, pesawat saat datang ke satu tempat, misalnya dari Jakarta ke Medan, maka harus di cek lagi di Medan.

Menurut Anda, apakah kecelakaan yang akhir-akhir ini terjadi dan publisitas yang diundang olehnya termasuk wawancara kita itu membantu peningkatan keselamatan atau itu memang akan lewat begitu saja?

Ini bukan saya mau promosi lagi di sini. Saat kecelakaan di Solo, kejadian tersebut disimulasikan kembali baik oleh Lion Air ataupun Garuda. Pilotnya belajar lagi. Yang terakhir di Majene, saya mengetahui beberapa airlines terutama yang mempunyai simulator langsung melakukan simulasi kembali.

Rabu, 20 Agustus 2008

Safety Rating, Kebohongan Publik



Oleh: Agus Pambagio


Menyusul banyaknya pesawat udara yang mengalami incident (bermasalah saat tinggal landas atau mendarat karena adanya kesulitan teknis, tetapi tidak menimbulkan korban dan kerusakan) dan accident (kecelakaan yang menimbulkan kerusakan dan korban jiwa), pemerintah Indonesia dalam hal ini

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU), Departemen Perhubungan (Dephub) telah mengeluarkan hasil penilaian keselamatan (safety rating) terhadap beberapa maskapai penerbangan nasional termasuk angkutan kargo. Penilaian ini menurut Dephub didasarkan pada standar Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 4121 yang harus menjadi acuan semua maskapai berjadwal dengan kapasitas penumpang lebih dari 30 orang dan berjadwal kargo. Melalui rating tersebut, Dephub berharap selain untuk memberikan efek jera kepada maskapai penerbangan yang tidak taat pada peraturan, juga untuk memperbaiki citra DJU atau Dephub sendiri,khususnya Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara (DSKU).

Namun, langkah yang diambil Dephub dengan menerapkan safety rating ternyata telah menyesatkan dan membohongi publik. Mengapa? Karena: (1) dalam dunia penerbangan terkait CASR 4121 tidak dikenal istilah Safety Rating, yang ada Performance Airline Rating, (2) yang melakukan audit bukan auditor independen, tetapi jajaran Dephub sendiri yang selama ini telah berperan dalam pembunuhan secara perlahan namun pasti industri penerbangan. Safety atau keselamatan dalam industri penerbangan bukan merupakan faktor yang dapat diberikan pemeringkatan atau rating. Safety itu suatu hal yang mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Tidak ada satu pun regulator di negara lain yang memberikan pemeringkatan hanya pada aspek keselamatan seperti yang dilakukan DJU. Adanya Safety Rating ini semakin memperkuat perkiraan publik bahwa DJU memang tidak mampu bertindak sebagai regulator yang melindungi konsumen. Jadi jangan heran jika semakin lama angka accident maupun incident penerbangan di Indonesia semakin tinggi.

Dilema Hasil Pemeringkatan

Pemeringkatan performa penyedia jasa penerbangan merupakan alat komunikasi yang baik antara operator, regulator, dan konsumen. Informasi yang harus disampaikan kepada konsumen terkait performa ini harus akurat dan sesuai dengan standar (termasuk kriteria yang digunakan) dan dilakukan pihak-pihak yang berwenang melakukan pemeringkatan. Idealnya dilakukan sebuah lembaga independen yang terlepas dari struktur regulator dan operator.

Terkait dengan pemeringkatan atau rating ini bisa menjadi sebuah kebohongan publik jika dilakukan dengan tidak benar,meskipun maksudnya benar. Dampaknya akan membingungkan konsumen dan tentu saja industri penerbangan. Banyak pihak termasuk Komisi V DPR meragukan kriteria atau parameter yang digunakan DJU Dephub. Akibatnya,muncul banyak pertanyaan baik dari maskapai, publik maupun Komisi V DPR sendiri, seperti: ”Lah Garuda Indonesia ternyata berada di kelompok II? Padahal ke mana pun Presiden SBY melakukan kunjungan, hampir selalu menggunakan pesawat Garuda Indonesia”.

Artinya, DJU telah mengikutkan Presiden SBY dalam arisan nyawa di udara seperti layaknya penulis yang hanya rakyat biasa ini. Sementara itu di negara mana pun, keselamatan seorang presiden harus di atas keselamatan rakyatnya alias tidak bisa ditawar-tawar lagi.Alat transportasi yang digunakan juga harus super aman, tidak boleh sekadar aman atau aman ala kadarnya dan masuk kategori II. Jadi jangan heran jika Komisi V DPR saat rapat dengar pendapat dengan Menteri Perhubungan,juga meminta agar pemerintah tidak mengumumkan terlebih dahulu hasil rating tersebut (meskipun selang beberapa jam kemudian diumumkan), karena DPR ingin tahu lebih mendalam tentang kriteria yang digunakan.

Jika kita bicara tentang kriteria penilaian, menjadi kabur karena ada maskapai penerbangan lain yang sering sekali mengalami incident dan accident dalam lima tahun terakhir ini (seperti sering mendarat darurat, terperosok ke luar landasan, menyasar ke landasan nontujuan, pelampung tidak lengkap) juga masuk pada kategori II, bersanding dengan beberapa maskapai yang sering diaudit FAA maupun auditor independen dengan hasil baik serta sering digunakan presiden dan pejabat tinggi negara lainnya. Apakah ini adil? Dan adakah dampak negatifnya? Tentu ada. Dampak dari keluarnya Safety Ratingini sudah mulai bermunculan.

Pemerintah Australia sudah memperingatkan warganya yang akan bepergian ke Indonesia menggunakan penerbangan domestik. Ini tentu akan berdampak pada sektor pariwisata. Belum lagi kemungkinan para vendor maskapai Indonesia akan memberlakukan pembayaran tunai jika membeli suku cadang atau melakukan perawatan pesawat alias tidak bisa mencicil. Belum lagi akan naiknya biaya premi asuransi bagi maskapai yang masuk pada kategori II dan III yang tentunya akan berdampak pada naiknya harga tiket.Yang lebih mengerikan lagi,jika sampai ada pesawat maskapai penerbangan Indonesia yang dilarang masuk wilayah regional Asia karena membahayakan penerbangan mereka. Seperti yang pernah terjadi di beberapa negara Eropa tahun lalu terhadap beberapa maskapai LCC dari Afrika dan Asia.

Apa yang Harus Dilakukan Konsumen dan Maskapai Penerbangan?

Sesuai UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf (a): ”Hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa”, pemerintah memang harus melindungi konsumen penerbangan yang tahun ini mencapai 30 juta penumpang lebih. Jika pemerintah ingkar, termasuk melakukan pembohongan publik dengan memberikan informasi yang tidak tepat (meskipun secara niat sudah baik),sesuai dengan UU No 8/1999 Pasal 46, konsumen dapat melakukan gugatan kelompok atau class action.

Dan bagi maskapai penerbangan yang merasa dirugikan atas informasi pemeringkatan tersebut dapat mem-PTUNkan Departemen Perhubungan. Terlepas dari beberapa kritikan yang saya tulis ini, saya cukup apresiatif pada DJU Dephub atas usaha membuat shock therapy ini. Namun, alangkah elegannya jika DJU Dephub dapat segera melakukan pemeringkatan ulang yang benar dan sesuai dengan aturan yang berlaku agar hasil pemeringkatan tersebut dapat menjadi alat komunikasi yang baik dan menyejukkan publik,tetapi ”menjewer”maskapai penerbangan nakal yang tetap beroperasi dan tidak peduli dengan keselamatan penerbangan.(*)

URL Source:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/safety-rating-kebohongan-

AGUS PAMBAGIO Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen

Otoritas Penerbangan Sipil Harus Dipisahkan

Jakarta, Kompas - Indonesia harus membentuk otoritas penerbangan sipil yang lebih independen dan terpisah dari Departemen Perhubungan. Kebijakan ini untuk mengoptimalkan upaya meningkatkan keselamatan penerbangan.

Demikian dikatakan pengamat penerbangan Chappy Hakim, Sabtu (26/7) di Jakarta. "Indonesia dapat meniru Federal Aviation Administration di AS. Bila otoritas penerbangan sipil tidak dipisahkan, sulit bekerja optimal," ujar Chappy.

Saat ini penanggung jawab kelaikan udara adalah Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.

Selain itu, Chappy mengimbau agar Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) bertanggung jawab langsung kepada presiden, tidak di bawah Departemen Perhubungan. "Bila ingin serius menurunkan kecelakaan penerbangan, seharusnya KNKT lebih independen," ujarnya.

Juru Bicara KNKT JA Barata menegaskan, meski di bawah Dephub, dalam menginvestigasi kecelakaan tim KNKT dijamin independensinya. "Karena anggaran KNKT dari Dephub, secara struktural KNKT di bawah Dephub," ujarnya.

Meski diakui masih ada kekurangan dalam keselamatan penerbangan, Chappy menilai larangan terbang oleh Komisi Eropa terhadap maskapai Indonesia adalah arogansi semata. "Sejak awal saya mencurigai alasan teknis yang dikemukakan. Komisi Eropa tidak pernah langsung mengecek kelaikan terbang pesawat kita," ujar Chappy.

Chappy meminta agar peningkatan keselamatan penerbangan dilakukan atas kemauan regulator dan operator nasional, bukan karena institusi tertentu.

Menurut Abdul Hakim, anggota Komisi V DPR, pelarangan terbang oleh Komisi Eropa sangat politis. Hal itu adalah upaya mendelegitimasi keamanan maskapai penerbangan nasional sehingga maskapai asing dapat masuk ke Indonesia.

Ekspor terganggu

Perpanjangan larangan terbang ke Eropa bagi maskapai penerbangan Indonesia dikhawatirkan akan semakin menurunkan ekspor ikan hias Indonesia. Pada tahun 2007, nilai ekspor ikan hias 9,3 juta dollar AS, turun 33,3 persen dibandingkan dengan tahun 2006.

Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung menyatakan, larangan terbang ke Uni Eropa yang diberlakukan sejak tahun 2007 menghambat ekspor ikan hias yang mengandalkan transportasi udara. Akibatnya, 70 persen ekspor produk ikan hias Indonesia ke Uni Eropa dilakukan lewat Singapura.

Ketergantungan terhadap Singapura menyebabkan Indonesia kehilangan nilai tambah produk hingga 50 persen. (lkt/ryo)

LCC (Low Cost Carrier)

Istilah Penerbangan "low cost" atau sering disebut LCC (low cost carrier). LCC sering juga disebut sebagai Budget Airlines atau no frills flight atau juga Discounter Carrier. LCC merupakan model penerbangan yang unik dengan strategi penurunan operating cost.

Dengan melakukan efisiensi cost di semua lini,
maskapai melakukan hal-hal diluar kebiasaan maskapai pada umumnya, Kalau airlines pada umumnya melakukan penambahan layanan yang memiliki value added dengan penambahan catering, penyediaan newspaper atau magazine, in flight entertainment, in flight shop, lounge, free taxy after landing, exclusive frequent flier services, dan lain sebagainya. Berlawanan dengan hal itu, Low cost carrier melakukan eleminasi layanan maskapai tradisional yaitu dengan pengurangan catering, minimize reservasi dgn bantuan teknologi IT sehingga layanan nampak sederhana dan bisa cepat.

Pelayanan yang minimize ini berakibat
dalam hal penurunan cost, namun factor safety tetap dijaga untuk menjamin keselamatan penumpang sampai ke tujuan. LCC adalah redifinisi bisnis penerbangan
yang menyediakan harga tiket yang terjangkau serta layanan terbang yang minimalis. Intinya produk yang ditawarkan senantiasa berprinsip low cost untuk menekan dan mereduksi operasional cost sehingga bisa menjaring segmen pasar bawah yang lebih luas.

Awal mula low cost carrier ini dirintis oleh Maskapai Southwest yang didirikan Rollin King, Lamar Muse dan Herber Kelleher pada 1967. Fenomena Southwest menjadi fenomena kajian bisnis penerbangan yang sangat menarik dibahas di Universitas Harvard dan diberbagai sekolah bisnis diseluruh belahan dunia. Efisiensi yang dilakukan mencakup mulai dari harga (murah), teknologi, struktur biaya, rute hingga berbagai peralatan operasional yang digunakan.

Keberhasilan Southwest kemudian banyak ditiru oleh maskapai lainnya seperti Vanguard, America West, Kiwi Air, Ryanair yang berdiri tahun 1990, Easyjet yang berdiri tahun 1995, Shuttle (anak Perusahaan United Airlines), MetroJet (anak perusahaan USAir) dan Delta Express (anak perusahaan Delta), Continental Lite (anak perusahaan Continental Airlines). Langkah Low cost carrier kemudian juga ditiru di Asia dengan munculnya Air Asia di tahun 2000 yang bermarkas di Malaysia, Virgin Blue di Australia, sedangkan di Indonesia kemudian berdiri Lion Air, dan Wings Air yang merupakan anak perusahaan Lion Air.

Umumnya, ciri-ciri maskapai tersebut menerapkan LCC antara lain ;

1.. Semua penumpangnya adalah kelas ekonomi, tidak ada penerbangan kelas premium atau bisnis.

2.. Kapasitas penumpangnya lebih banyak daripada kapasitas pesawat dengan layanan tradisional
sehingga terlihat penumpang berdesak-desakkan. Hal ini untuk
menaikkan revenue pesawat
mengingat tarif yang sangat murah.

3.. Maskapai tersebut memiliki satu tipe pesawat untuk memudahkan training dan meminimize biaya
maintenance dan penyediaan spare part cadangan. Biasanya
pesawatnya baru/ umurnya masih
muda sehingga hemat dalam konsumsi fuel (avtur).

4.. Maskapai menerapkan pola tarif yang sangat sederhana pada satu tarif atau tarif sub classis
dengan harga mulai dari tarif diskon hingga mencapai 90%.

5.. Tidak memberikan layanan catering, di pesawat umumnya hanya disuguhkan air mineral.

6.. Kursi yang disediakan tidak melalui pemesanan, siapa penumpang yang masuk lebih dahulu dalam
pesawat, dia yang pertama memilih kursi yang dia tempati.

7.. Penerbangan dilakukan di pagi buta atau malam hari untuk menghindari biaya yang mahal pada
layanan bandara pada saat jam-jam sibuk.

8.. Rute yang diterbangi sangat sederhana biasanya point ke point untuk menghindari miss conection
di tempat transit dan dampak delay dari akibat delay
flight sebelumnya.

9.. Memberlakukan penanganan gound handling yang cepat dan pesawatnya
mempunyai utilisasi jam
terbang yang tinggi.


10.. Maskapai melakukan penjualan langsung (direct sales), biasanya via call
center dan
internet untuk meminize cost channel distribusi. LCC tidak dijual
melalui travel agent, dan tidak
menggunakan Channel Distribusi GDS (Global
Distribution System) seperti Abacus,Galileo, dll.

11.. Penjualan tidak menggunakan tiket konvensional, cukup secarik kertas
berupa kupon untuk
mereduksi ongkos cetak tiket.

12.. Seringkali maskapai melakukan ekspansi promosi besar-besar untuk memperkuat positioning dan
komunikasi karena menerapkan strategi direct sales.

13.. Karyawannya melakukan multi role dalam pekerjaannya, seringkali pilot dan pramugari juga
sebagai cleaning services saat ground handling.

Disamping itu LCC
menerapkan outsourching dan karyawan kontrak terhadap SDM non vital, termasuk
pekerjaan ground handling pesawat di bandara. Di Indonesia belum ada yang menerapkan pola bisnis LCC yang sejati, karena operasional cost maskapai yang dianggap LCC di Indonesia masih diatas rata-rata maskapai LCC pada umumnya.

Banyak analis keuangan masih menyatakan bahwa cost
per available seat miles masih berada di atas ambang standard operating cost dari suatu Low Cost Carrier yang sejati, namun meskipun price structure-nya sendiri sudah sesuai dengan konsep LCC sehingga mungkin akan lebih tepat disebut
dengan Low Far Carrier (LFC) karena hanya menawarkan harga murah tetapi belum sepenuhnya mendukung prinsip-prinsip LCC dimana struktur cost dan produktifitas maskapai masih tergolong mahal.

Adanya konsep LFC tentu sangat menguntungkan bagi calon konsumen, karena konsumen dihadapkan pada pilihan menggunakan transportasi udara yang berbiaya murah dan cepat. Seringkali harganya jauh lebih murah dari perjalanan darat dengan bus atau kereta api yang membutuhkan waktu lebih lama. Contoh saja perjalanan Bus dari Jakarta ke Denpasar selama 24 jam membutuhkan biaya sebesar
Rp 350.000 sedangkan dengan pesawat, harga tiketnya ada yang menawarkan harga mulai dari Rp 269.000 dengan waktu tempuh 1,5 jam.

Bahkan pada saat-saat
tertentu operator menawarkan kursi gratis ke Bali dengan membayar administrasi saja yang nilainya hanya Rp 199.000. Fenomena yang menyadarkan kita bahwa
sekarang ini semua orang bisa terbang dengan harga yang terjangkau dan tidak lagi seperti jaman dahulu di mana penggunaan transportasi udara hanya monopoli orang-orang dari kalangan menengah keatas.

Perkembangan bisnis penerbangan kedepannya masih menghadapi tantangan yang berat, mengingat harga fuel (avtur) yang terus meningkat yang merupakan komponen biaya yang paling besar dalam total operating cost di bisnis penerbangan disamping maintenance pesawat. Otomatis dengan biaya operasi yang makin meningkat, maskapai terpaksa harus menaikkan tarif.

Oleh karena itu, strategi
bisnis LCC yang sejati yang secara aggresif mampu melakukan penghematan terhadap konsumsi fuel akan sangat sesuai diterapkan di Indonesia mengingat calon-calon
penumpang di Indonesia adalah sangat sensitive terhadap price, maka kecenderungannya penumpang akan memilih maskapai yang menawarkan harga murah, namun maskapai LCC tetap mendapatkan profit dari bisnisnya.

Maka kedepannya,
besar kemungkinannya hanya maskapai dengan pola LCC yang akan lebih mampu
bertahan dibandingkan dengan maskapai dengan pola layanan tradisional yang lain.

Menerbangkan Pesawat Lama ?

Apa ada aturan yang melarang untuk menerbangkan pesawat lama? Ada yg tahu, Tipe brp saja yg dikategorikan tidak boleh lagi untuk diterbangakan ?

Apabila perusahaan melanggar peraturan tersebut, apakah sanksi yg akan dikenai perusahaan tersebut ?

Mohon bantuannya. Saya dapat laporan dari kasus suatu perusahaan penerbangan Korea yang memaksakan pilot2 Indonesia untuk menerbangkan pesawat lama ini dan pilot2 tersebut menolaknya, sayangnya lagi pilot2 tersebut dipecat tanpa gaji! Semoga ada solusi untuk memecahkan masalah tersebut...

Tks
-Verga-


Maaf kalau input saya salah, tetapi menurut pendapat saya selama pesawat tersebut mengikuti aturan perawatan dari pabrikan pesawat pesawat masih tetap dapat diterbangkan, hanya saja beberapa hal yangmempengaruhi pesawat tersebut adalah :

1. Nilai ekonomis pengoperasian pesawat tersebut untuk kebutuhan komersil sudah tidak ekonomis, khususnya penerbangan komersial penumpang.

2. Nilai jual dan daya saing sudah tidak dapat diandalkan.

3. Tingkat kebisingan yang tinggi dan untuk melakukan modifikasi memerlukan biaya yang tidak sedikit dibandingkan dengan nilai jual pesawat tersebut.

Demikian masukkan dari saya, mohon koreksi jika ada kesalahan.

Wassallam
Harry Priono


Apa pengertian pesawat lama yang dimaksud ? Input ini harus jelas dulu. Jika pesawat tersebut sdh habis umurnya tentu sdh tidak boleh terbang lagi (Pesawat aging), kecuali mengajukan perpanjangan lagi kepada pihak Authority dan biasanya melalui Type design Holder.

Jadi, jika diijinkan diperpanjang, tentu harus melalui proses sertifikasi perpanjangan umurnya seperti dilakukan overhaul wing nya dll. semua tergantung dari history pesawat dan persyaratan yang ditentukan oleh Authority dan Type Design Holdernya.

Kalau kasusnya pesawat aging, seperti ini maka harus ditanya, apa sebab Pilot tidak mau menerbangkannya ? Apakah perpanjangan umur tersebut hanya disetujui oleh Authority setempat ? dan tidak termasuk evaluasi Type design holdernya?

Kalau kasusnya adalah pesawat tua katakanlah sdh berumur 20 tahun, tapi masih belum habis umur operasinya, dan pesawat tersebut di pelihara sesuai dengan Maintenance manualnya ya tetap masih Airworthy, dan tidak ada alasan utk tidak mau menerbangkan.

Bagi pilot, sebernarnya mudah saja, lakukan Flight Line Inspection, dan Ground run, kalau banyak yang out of tolerance, tulis semua di flight squawk dan nyatakan pesawat tidak laik terbang. Jadi alasannya jelas.

Pilot dapat berkordinasi dengan Flight Engineer utk membuka Aircraft Manual. Biasanya, utk tempat2 tertentu yg dicurigai akan retak setelah sekian ribu jam terbang, Authority mengeluarkan Airworthiness Directives dan didalam Aircraft status (Aircraft log) tertulis dan Flight Engineer atau Certified Engineer akan menjelaskan kepada Pilot.

Pesawat terbang yang sdh lama terbang pasti ada keretakan, dan keretakan tersebut ada batasannya mana yang masih boleh terbang mana yang tidak boleh terbang. Kalau Certified engineer menjelaskan berdasarkan data2 dokumen yg sahih dan masih acceptable retaknya, harusnya tidak ada alasan utk tidak terbang. Jadi masih Airworthy.

Tetapi jika sdh keluar toleransi, Pilot wajib menolak. Dan Pilot bisa menuntut dan melaporkan kepada Pihak Authority setempat atau International. Jadi, input datanya masih kurang jelas utk
diputuskan benar salahnya.

Salam
Agus Hartono


Menarik juga kasusnya, sharing saja, struktur badan/fuselage dan sayap/wing pesawat adalah bagian yang sangat menentukan apakah pesawat tersebut bisa terbang atau tidak. Jika salah satu bagian dari pesawat tersebut mengalami crack maka seberapa besar limitasi cracknya dapat dilihat
dalam structure repair manual, jika tidak tercover dalam structure repair manual maka pihak operator dapat mengajukan advise ke pihak pabrik pembuat pesawat tersebut.

Disana akan disebutkan apakan dengan crack yang ada
pesawat tersebut masih diperbolehkan untuk melakukan penerbangan atau tidak. Untuk crack yang terjadi didaerah yang mengalami pressurisation ( fuselage ) pada umumnya tidak diperbolehkan untuk diterbangkan dan harus dilaksanakan perbaikan terlebih dahulu. Untuk area wing, jika crack yang terjadi pada area main tank dimana diarea tersebut adalah tempat penyimpanan bahan bakar pesawat maka sudah barang tentu tidak diperbolehkan adanya crack karena hal ini dapat mengakibatkan kebocoran fuel dan bencana yang lebih fatal lagi.

salam
Agoes Purwa Irawan

An Open letter to All Airline Customers:

An Open letter to All Airline Customers:

Our country is facing a possible sharp economic downturn because of
skyrocketing oil and fuel prices, but by pulling together, we can all do
something to help now.

For airlines, ultra-expensive fuel means thousands of lost jobs and
severe reductions in air service to both large and small communities. To
the broader economy, oil prices mean slower activity and widespread
economic pain. This pain can be alleviated, and that is why we are
taking the extraordinary step of writing this joint letter to our
customers.

Since high oil prices are partly a response to normal market forces, the
nation needs to focus on increased energy supplies and conservation.
However, there is another side to this story because normal market
forces are being dangerously amplified by poorly regulated market
speculation.

Twenty years ago, 21 percent of oil contracts were purchased by
speculators who trade oil on paper with no intention of ever taking
delivery. Today, oil speculators purchase 66 percent of all oil futures
contracts, and that reflects just the transactions that are known.
Speculators buy up large amounts of oil and then sell it to each other
again and again. A barrel of oil may trade 20-plus times before it is
delivered and used; the price goes up with each trade and consumers pick
up the final tab. Some market experts estimate that current prices
reflect as much as $30 to $60 per barrel in unnecessary speculative
costs.

Over seventy years ago, Congress established regulations to control
excessive, largely unchecked market speculation and manipulation.
However, over the past two decades, these regulatory limits have been
weakened or removed. We believe that restoring and enforcing these
limits, along with several other modest measures, will provide more
disclosure, transparency and sound market oversight. Together, these
reforms will help cool the over-heated oil market and permit the economy
to prosper.

The nation needs to pull together to reform the oil markets and solve
this growing problem.

We need your help. Get more information and contact Congress by visiting
www.StopOilSpeculationNow.com.

Robert Fornaro
President and CEO AirTran Airways

Bill Ayer
Chairman, President and CEO Alaska Airlines, Inc.

Gerard J. Arpey
Chairman, President and CEO American Airlines, Inc.

Lawrence W. Kellner
Chairman and CEO Continental Airlines, Inc.

Richard Anderson
CEO Delta Air Lines, Inc.

Mark B. Dunkerley
President and CEO Hawaiian Airlines, Inc.

Dave Barger
CEO Jet Blue Airways Corporation

Timothy E. Hoeksema
Chairman, President and CEO Midwest Airlines

Douglas M. Steenland
President and CEO Northwest Airlines, Inc.

Gary Kelly
Chairman and CEO Southwest Airlines.

Glenn F. Tilton
Chairman, President and CEO United Airlines, Inc.

Douglas Parker
Chairman and CEO US Airways Group, Inc.

A Warm Welcme from Friend, Beny of Atlas Logistics

Pak satiri
Welcome a board

Benny ahmad
Atlas logistics indonesia

From: satiri@stefanycargo.com <satiri@stefanycargo.com>
Subject: RE: Yahoo! Groups: Welcome to airliners_indonesia. Visit today!
To: "airliners_indonesia Moderator" <airliners_indonesia-owner@yahoogroups.com>
Date: Saturday, July 12, 2008, 4:36 AM

Dear Moderator/Founder

Senang sekali dapat bergabung di dalam 'Airliners Indonesia'.

Semoga 'Airliners Indonesia' ini terus
berkembang menjadi sarana untuk menambah wawasan dalam Industri Transportasi Udara baik Local maupun International yang dapat menjadi tolok ukur dalam
peningkatan standardisasi pelayan, keselamatan serta kenyamanan, dan lain-lain, baik dalam kaitannya dengan mobilisasi Penumpang maupun Barang (Cargo).

Salam
SATIRI

Problematika Riau Airlines ( 7 )

Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, jika isu utama yg diboyong adalah "crew fatigue" yg berpengaruh pada "flight safety", saya yakin hal ini bisa diselesaikan bersama DGCA sebagai mediasi, karena "isu flightsafety" penerbangan di Indonesia saat ini sdg menajdi sorotan dunia international.

Sejauh yg saya pahami, hampir semua airlines di Indonesia di banned oleh Uni Eropa karena regulatory body di Indonesia belum memenuhi standard international, dalam hal ini DGCA, jadi faktor penyebab banned tersebut bukan hanya mutlak pada pihak airlines.

Kasus ini justru akan menjadi "homework" DGCA agar dapat sesuai dgn standard international. Setahu saya, di dunia international, maksimal "duty hours" dan "duty time" dibatasi juga oleh "number of landing", jadi jika kita hanya memeperhitungkan 1 jam x 8 kali landing masih dibawah batas maksimal 9 jam terbang, saya rasa cara perhitungkan tersebut harus perlu dipertimbangkan lagi. Kongkritnya, misalkan, batasan 9 jam terbang hanya untuk maksimal 3 x landing, jika 4-6 kali landing, maksimal menjadi 8 jam terbang, jika 7-8 kali landing, maksimal menjadi 7 jam terbang, itu yg saya maksud.

Mungkin belum ada aturannya di CASR, makanya OM masing company belum memasukkannya, justru itulah saya katakan ini akan menjadi "homework" DGCA untuk menjadi lebih go international.

Tetapi saya menjadi bingung dgn istilah yg Pak Basuki gunakan "utilisasi crew", di sini terjadi bias dari pemahaman saya dalam kasus ini. Saya tdk mengerti, "utilisasi crew" ini dgn motifasi apa, maaf
(ekonomi misalnya), nah perlu dilihat juga motifasi ekonomi ini dari pihak mana, Manajemen kah, atau Crew kah? jika memang masuk ke ranah ini (motifasi ekonomi), sekali lagi saya katakan, DGCA sebagai
regulator harus masuk. Tetapi perlu kita uji juga DGCA ini, apakah mampu mengamandemen CSAR demi menegakkan "flight safety" atau luluh dgn motifasi ekonomi ini, terlepas dari pihak yg mana yg lebih kuat, Manajemen atau Crew.

Demikian dulu tulisan saya. Semoga tidak ada yg keliru.

Yusuf E.
Senior FOO

Problematika Riau Airlines ( 6 ) A kind clarification from a Friend

Seperti yang tertera pada awal tulisan saya bahwa saya tidak mengerti dengan
berita/ kalimat yang tertulis di Detiknews.com tersebut, kalimat : “Kita
memprotes kebijakan manajemen PT RAL yang memaksa pilot untuk menambah jam
penerbangan dari 6 kali sehari menjadi 8 sampai 9 kali sehari” adalah salah
satu kalimat yang saya kutip dari Detiknews.com tersebut. Jadi, jelas bahwa
yang mengartikan hours dengan times adalah sumber berita tersebut. Itu
sebabnya kalimat : Tulisan diberita tersebut menyatakan keberatan para Pilot
menambah "jam penerbangan" dari 6 kali sehari menjadi 8 sampai 9 kali
sehari: Saya bubuhkan tanda petik “” pada kalimat Jam Penerbangan.

Banyak terjadi pihak media baik cetak maupun elektronik menyampaikan berita
yang salah tentang kasus penerbangan, satu contoh kecil, satu saat pesawat
milik club kami mengalami accident di Kalijati, pesawat tersebut adalah
light aircraft Super Reble single engine dengan experimental category, yang
muncul di berita ialah telah jatuh satu pesawat Jenis Cessna dengan no
penerbangan PK-XXX. Jelas disini sipembuat berita tidak atau kurang
mengetahui istilah yang digunakan dalam dunia penerbangan, pokoknya kalau
pesawat single engine semuanya adalah jenis Cessna aja.

Di Tahun 90an saat itu SEKJEN Departemen Perhubungan di jabat oleh
Bapak.Mukhtarudin Siregar beliau secara rutin mengajak para wartawan yang
meliput Dept.Perhubungan mengikuti kegiatan penerbangan di FASI, bahkan
beliau mensponsori beberapa wartawan untuk belajar terbang. Maksud dari
kegiatan tersebut adalah agar terjadi proses pembelajaran bagi para wartawan
dalam mengenal duni kedirgantaraan sehingga diharapka para wartawan tersebut
dapat mengurangi kesalahan dalam menulis berita tentang kedirgantaraan.
Sangat kita ketahui salahnya satu berita dapat membuat salahnya keputusan
yang harus di buat oleh pihak yang concern.

Jadi, kelihatannya akibat kesalahan penulisan berita tentang RAL ini
mengakibatkan terjadinya salah tafsir bagi kita semua, dan akhirnya menjadi
tanggung jawab kita semua yang berkecimpung di dunia Dirgantara untuk
memberikan pembelajaran pada pihak media. Tapi gimana ya….?

Wasallam,
Chepy R.Nasution


Mohon maaf, memang tulisan saya tidak ditujukan langsung untuk pak Chepy namun yang jelas kita sebagai insan penerbangan mempunyai tanggung jawab untuk meluruskan atau sekaligus memberi pencerahan kepada pembuat berita agar berita yang disiarkan tidak menjadi bias.

Mungkin tidak disadari oleh pembuat berita
bahwa mereka juga harus memberikan pencerahan kepada awam sehingga dalam hal ini awam sedikit demi sedikit akan mendapatkan pengetahuan yang akurat dan sangat berguna dalam dunia penerbangan. Sehingga pada suatu saat masyarakat kita
yang awam dalam penerbangan akan menjadi terbiasa dengan berita berita penerbangan yang sangat bisa dipercaya, tentunya mereka akan melakukan check and recheck kepada sumber yang benar sebelum berita itu diturunkan.

Saya mengerti sekali pak Chepy yang sudah sangat senior di dunia penerbangan akan banyak sekali sumbanganya untuk memanjukan dunia/profesi kita dan tentu saya khususnya akan banyak menimba ilmunya.

Salam hormat, maju terus penerbangan Indonesia.

Bambang Heru P