Selasa, 19 Agustus 2008

Jangan Salahkan Regulasi...

Kecelakaan Adam Air

Tidak terkontrolnya maskapai penerbangan yang menyelenggarakan low cost carrier
dianggap satu penyebab seringnya musibah kecelakaan.

Indonesia membuka kelender baru 2007 dengan suasana berkabung. Mendung
menggelayut tatkala Pesawat Boeing 747-400 dengan nomor penerbangan DHI 574 Adam
Air jurusan Surabaya-Manado yang berpenumpang 102 orang dilaporkan hilang.
Sampai saat ini bangkai pesawat belum ditemukan. Hanya ada satu penjelasan yang
bisa dikemukakan. Pesawat hilang setelah dihantam angin kencang. Setidaknya itu
komunikasi terakhir pilot pesawat dengan petugas air traffic controller (pemandu
lalu-lintas udara) di Bandara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Tidak lama berselang, mendasarkan pada informasi Gubernur Sulawesi Barat Anwar
Adnan Saleh, keesokan harinya (2/1), Menteri Perhubungan Hatta Rajasa menyatakan
Pesawat jatuh di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat sekaligus melansir
data sementara tewasnya 90 korban dan 12 orang dinyatakan selamat. Di titik ini,
meski duka menyergap, setidaknya ada kejelasan soal status pesawat dan korban.

Namun, situasi menjadi tidak menentu saat Pemerintah meralat pernyataan
sebelumnya. Informasi lokasi dan jumlah korban yang terlanjur dilansir media
massa dinyatakan tidak benar. Kepada hukumonline, anggota Komisi V DPR Andi
Jalal menceritakan pengalamannya saat turun ke lokasi yang awalnya dinyatakan
sebagai lokasi kejatuhan pesawat.

Saat itu tanggal 2 Januari ketika Andi dan beberapa anggota Komisi V berangkat
ke Polewali Mandar. Lokasi yang kemudian diketahui salah itu ditempuh Andi dan
rombongan dengan menggunakan mobil selama dua jam. Karena kondisi alam yang
tidak memungkinkan untuk dilewati mobil, rombongan melanjutkan perjalanan dengan
jalan kaki. Tiga jam lamanya.

Ketika menemui Kepala Desa setempat, Andi terkejut bukan main. ?Dia menyatakan
tidak pernah menyampaikan informasi (pesawat jatuh, red) itu,? ungkap Andi.
Pernyataan ini diperkuat situasi ketiadaan sarana komunikasi di daerah itu,
sehingga sangat mustahil berita itu benar. ?Tapi kita baru bisa mengklarifikasi
pukul 19.30 waktu setempat dengan menggunakan telepon satelit di kecamatan
Matanga, itu satu-satunya. Dan itu juga dipakai media,? urai Andi.

Dilansir dari pemberitaan media, alur informasi yang salah itu berawal dari
Kepala Desa, Kapolres, Kapolda dan terakhir Gubernur yang langsung menyebarkan
informasi ini keseluruh pejabat terkait. Termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Hal ini yang dirasakan Andi aneh. Pasalnya, informasi sesat terkesan sengaja
dibikin untuk membuat bingung semua pihak.

Apalagi, informasinya dibuat sangat sistematis, Dia tahu berapa jumlah penumpang
dan penerbangannya segala,? pungkas Andi. Apalagi, sang Kepala Desa, Muhammada
Natsir menyatakan, Saya hanya melaporkan warga saya mendengar bunyi seperti ada
ledakan mesin, tapi yang dilaporkannya sama sekali bukan soal pesawat. Saya
tidak tahu ada pesawat hilang,? kata Natsir dilansir dari media.


Regulasi Vs Low Cost


Musibah AdamAir ini mengingatkan kita pada musibah sejenis. Masih segar dalam
ingatan saat Maskapai Penerbangan Mandala tertimpa musibah yang merenggut 111
nyawa. Muncul pertanyaan adakah yang salah dengan regulasi di bidang
transportasi udara kita. Di Indonesia masalah penerbangan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Pertanyaan ini ditepis
oleh Ketua Komisi V DPR Ahmad Muqowam.

Dalam jumpa pers Komisi V Selasa (9/1) di DPR, Muqowam justru menyinggung isu
Low Cost Carrier (LCC-penerbangan biaya murah). ?Akibat low cost, keselamatan
kadang menjadi isu yang kurang diperhatikan,? tutur Muqowam. Sementara, Andi
Jalal menyatakan perangkat regulasi yang dimiliki Indonesia sudah cukup baik.
Masalahnya hanya soal implementasi dari regulasi itu sendiri.

Selain itu, Muqowam menyinggung satu fakta adanya Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 35 Tahun 2005 yang membatasi penggunaan pesawat terbang dalam jangka waktu
35 tahun. Usia kelaikan pesawat yang diatur di Permenhub ini menurut Muqowam
berbeda dengan standard yang dikeluarkan produsen pesawat serta International
Civil Aviation Organization (ICAO) yang membatasi usia pesawat hanya 20 tahun.

Fakta Permenhub ini bisa dihubungkan dengan isu LCC. Maskapai Penerbangan
menekan harga jual jasa penerbangan dengan menggunakan pesawat tua demi menekan
biaya operasi. Pesawat AdamAir yang jatuh menurut keterangan Direktur Komersial
Adam Air Gugi Pringwa Saputra berusia 17 tahun.

Komentar senada dilontarkan Prof. Mieke Komar. Ahli hukum udara dan angkasa ini
menyatakan, ?Ini bukan urusan regulasi. Ini urusannya dengan tarif yang murah.
Murah seharusnya juga memperhatikan aspek keamanan dan kelaikan baik pesawat dan
sebagainya?. Untuk urusan LCC, Indonesia dikatakan Prof. Mieke menjiplak dari
Amerika. Jika dulu urusan penerbangan dari mulai ticketing diurusi pemerintah,
sekarang semuanya diserahkan ke pasar.

Sementara, Prof. Oetarjo Diran, penggagas sekaligus Ketua Komisi Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) yang pertama tidak sependapat jika isu LCC
dikaitkan dengan Permenhub yang mengatur soal usia pesawat. ?Kalau peraturan
untuk maintenance pesawat dipatuhi 100 persen sebenarnya tidak ada masalah meski
usianya diatas 30 tahun,? ujar Prof. Diran. Alasan mengapa banyak negara tidak
memakai pesawat yang tua bukan karena masalah keamanan tapi lebih pada aspek
ekonomi. Pesawat yang baru dianggap lebih ekonomis. ?Tidak ada masalah dengan
keselamatan,? tambah Prof. Diran

Ia menyesalkan penerapan LCC yang tidak pada tempatnya. Menurut Ketua KNKT
periode 1994-2004 ini, ?Saya tidak setuju dengan low cost. Yang benar harusnya
low fair aircraft. Low fair itu tiketnya murah. Jual murah tapi tidak boleh
mengurangi operating cost?. Jika biaya minimum operasi ini dilanggar, Prof.
Diran tidak bisa menjamin keselatan penumpang akan terjaga.

Lebih jauh dari itu, menyinggung soal regulasi, Prof. Diran menyatakan
masalahnya bukan hanya pengawasan tapi juga penegakan hukum. ?Pengawasannya
sudah ketat, lalu ditemukan kesalahan. Tapi menjadi sulit ketika tidak
ditegakkan,? pungkas Prof. Diran.

Ditambahkannya, Departemen Perhubungan saat ini hanya memiliki 50 tenaga
pemeriksa. Hal mana sangat jauh dibandingkan jumlah pesawat yang harus diperiksa
yang mencapai angka 250-300 pesawat. Apalagi, aturannya satu pesawat harus
diperiksa empat kali setahun, ?Coba hitung betapa sulitnya itu dilakukan,?
tandas Prof. Diran.

Pasca Kecelakaan

Senada dengan Prof. Mieke dan Komisi V, Prof. Diran memandang regulasi yang ada
saat ini sudah cukup bagus. Akar masalah di bidang transportasi Indonesia
menurutnya adalah tidak adanya budaya keselamatan. Selain itu, yang paling
penting untuk diperhatikan pemerintah adalah manajemen pasca kecelakaan.

Lebih baik kita memanage dampak kecelakaan, meminimalisir kerusakan dan
lainnya,? urai Prof, Diran. Misalnya, melengkapi peralatan penanggulangan
kecelakaan dan meningkatkan kemampuan mengevakuasi korban untuk Badan Search and
Rescue Nasional.

Fakta dalam kecelakaan AdamAir agaknya membenarkan pendapat Prof. Diran.
Misalnya fakta minimnya kemampuan radar Indonesia. Ternyata tidak semua wilayah
udara nusantara dapat dijangkau sistem radar kita. dicontohkan Muqowam, ?Kalau
penerbangan masuk wilayah Kalimantan, disana begitu berada di atas Laut Sulawesi
masuk kearah Kalimantan bagian Utara itu blankspot sampai masuk wilayah
Singapura. Belum di daerah lain?.

Cerita minimnya peralatan yang dimiliki negeri ini diperparah keterangan Andi
Jalal yang empat hari menyisir daerah yang diduga lokasi kecelakaan. Peralatan
yang dimiliki Tim SAR Indonesia minim. Tua dan tidak canggih. Selain itu, ia
berharap agar di tiap Kabupaten diberikan fasilitas komunikasi dan Global
Positioning System (GPS).

Diakhir jumpa persnya Komisi V menekankan bahwa semua kejadian yang ada
diharapkan menjadi sebuah evaluasi yang menyeluruh tidak hanya untuk bidang
transportasi udara. Melainkan juga untuk transportasi darat dan laut.

Jabat Erat
Airliners Indonesia

Groups Mail :
airliners_indonesia-subscribe@yahoogroups.com

Tidak ada komentar: