Selasa, 19 Agustus 2008

Perlu Rekonsiliasi Sistem Penerbangan

Dengan beroperasinya sejumlah airlines baru, jelas akan meningkatkan tingkat
persaingannya. Persaingan bidang penerbangan berjadwal akan berdampak pada dua
sisi. Yakni, sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif biasanya ditandai
dengan peningkatan sisi pelayanannya, operasi yang lebih efisien dan efektif,
serta yang segera dan langsung bisa dinikmati konsumennya adalah
potongan-potongan tarif yang cukup signifikan. Sedang sisi negatifnya adalah
bila manajemen maskapai penerbangan tidak mampu menahan munculnya dan
berkembangnya ekses-ekses dari persaingan itu sendiri. Dan atau bila birokrat
lembaga terkaitnya tidak mampu mengendalikan atau mengatur industri maskapai
penerbangannya. Atau adanya sikap atau kebijakan-kebijakan yang keliru yang
dilandasi oleh konsep-konsep dan interpretasi yang keliru pula.

Adanya sementara kalangan berpendapat bahwa penerbangan domestik disini tidak
perlu diatur atau mendapat pengaturan, karena itu merupakan manifestasi dari
suatu kebijakan deregulasi, dengan menyerahkan saja kepada mekanisme pasar.
Jelas bahwa sikap demikian merupakan sihap keliru. Bahkan memberi kesan
menyembunyikan kegagalan lembaga terkaitnya mengatur dan membina industri
penerbangannya.

Jelas pula bahwa sikap demikian sangat kontroversial dengan paradigma baru
tentang deregulasi seperti yang dinyatakan Jacque Naveau: "By no means should
deregulation be mistaken for anarchy, for what it really brings about is a new
type of order, an innovative order which brings satisfaction to those who rely
on it and apply the rules of the game". Dan innovative order ini ditandai dengan
munculnya dan berkembangnya pola rute Hub-and-Spoke (HaS).

Bila pola HaS di AS berkembang sebagai produk kebijakan deregulasi itu sendiri,
maka pola HaS di Uni Eropa sangat ditentukan oleh keadaan geografisnya. Dengan
kata lain, keadaan situasional telah menentukan identitasnya masing-masing.

Lalu, bagaimana dengan keadaan di Indonesia sekarang ini. Mungkin juga, sudah
menemukan identitasnya sendiri. Dengan beroperasinya empat bahkan mungkin sampai
enam airline bersama-sama di suatu sektor dan disejumlah sektor lainnya, maka
dengan sendirinya terbentuk pola rute ubyag-ubyug.

Tidak jelas mengapa, tapi mungkin juga memang sengaja direkayasa, karena mungkin
dianggap sesuai dengan filosofi budaya klasik suku etnik Jawa yang mengatakan,
"Mangan ora mangan asal kumpul". Yang perlu dipertanyakan, bagaimana maskapai
penerbangan bisa mendapat cukup revenue bila harus terbang kosong atau dengan
jumlah penumpang dibawah BEP-nya (titik impas).

Dalam keadaan semacam itu akan senantiasa dihadapkan kepada masalah mendasar
yakni, "How to fill the empty seats". Dan akan senantiasa rentan terhadap
tindakan-tindakan innovatif yang anarchis, yang umumnya ditandai dengan
berlangsungnya cut-throat competition. Yang pada tahap akhirnya, akan memotong
lehernya sendiri.

Suatu pertanyaan mendasar yang harus diajukan sekarang adalah, "Siapakah yang
harus bertanggung jawab bila entepreneurs itu akan berakhir sebagai debitur
bermasalah. Atau, bila pesawat udara mereka terpaksa harus berakhir dan
terparkir di Killing Fields seperti di Kemayoran (tempo dulu) ketika masih
berfungsi sebagai bandara. Bukankah sudah sangat mendesak dan tiba waktunya
untuk segera merekonsiliasi sistem penerbangan nasional untuk menyamakan visi
dan misi serta mencegah inovasi yang anarkis tersebut.

Jabat Erat
Airliners Indonesia

Tidak ada komentar: