Kamis, 21 Agustus 2008

Semua Tergantung Regulasi

Dudi Sudibyo

Menurut Dudi Sudibyo, permasalahan dunia penerbangan di Indonesia timbul ketika pemerintah membuka kran dimana banyak orang bisa mendirikan perusahaan airline yaitu sekitar tahun 2000. Itu membuat industri penerbangan kita tumbuh begitu cepat dari tahun 2000 sampai 2008. Tapi itu tidak selaras dengan pertumbuhan sumber daya manusia (SDM) dan infrastrukturnya. Di sinilah permasalahannya.

Dudi Sudibyo mengatakan, kita tidak bisa mengimbangi pertumbuhan industri yang begitu cepat. Kita juga tidak mau ikut dalam perkembangan itu secepatnya. Dia mencontohkan jumlah inspektur bisa dihitung oleh jari. Sedangkan pesawat ada di Banda Aceh, Sorong, Makassar, Menado, dan lain-lain. Mereka juga seharusnya dibayar tinggi, tapi kenyataannya tidak. Guna memperbaiki dunia penerbangan nasional harus bermuara dari regulator. Kalau regulator kita baik, maka industrinya juga pasti baik. Dalam kaitan ini ada dua hal penting, yaitu pengawasannya dan juga penegakan aturannya harus kuat sekali.

Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Dudi Sudibyo.

Adam Air dihentikan, maka kami sebagai konsumen atau penumpang ingin mempunyai pegangan. Apa sebenarnya yang berbahaya, apakah pesawatnya, pilot, atau perusahaannya dan bagaimana faktor resikonya?

Permasalahan timbul ketika pemerintah membuka kran, dimana banyak orang bisa mendirikan perusahaan Airline yaitu kira-kira pada tahun 2000. Pertama datang dan salah satunya adalah Lion Air yang memperkenalkan suatu tarif yang luar biasa murah, sehingga semua orang bisa terbang. Tentunya ini suatu kebanggaan dan saya sampaikan pada pemiliknya yaitu Rusdi Kirana bahwa saya bangga sekali. Tetapi saya katakan juga siapa yang mendidik penumpang untuk budaya penerbangan, dan bisnis penerbangan itu seperti apa? Tentunya itu harus kita persiapkan. Kelihatannya semua tidak siap termasuk Lion Air pada saat itu. Tentu kita ingat saat crash di Solo dan itu salah. Jauh sebelum itu saya pernah mengatakan pada Rusdi, "Pak saya lihat ada deviasi. Dan kalau ada deviasi harus back to the track". Namun yang terjadi justru seperti di Solo. "Kalau sebelum kejadian Solo saya tulis ada sesuatu, tentu Bapak tidak senang."

Crash seperti Solo itu tentu mengalami investigasi melalui lembaga ini dan itu dan melihat black box dan sebagainya. Lalu, Apakah Anda melakukan ulasan setelah melihat hasil mereka atau secara intuitive bisa menebak kesalahan itu?

Saya salah satu diantaranya. Contoh lain adalah saat kejadian Garuda di Solo. Ketika saya mendengar ada pesawat jatuh mendarat di Bengawan Solo, satu hal yang saya lakukan adalah saya menelpon meteorology. Saya ingin mengetahui bagaimana kondisi udara di atas 31.000 kaki saat itu. Dengan informasi dari meteorology saya bisa menebak bahwa itu karena Icing atau ada gumpalan es dan bisa dipastikan menyebabkan mesin pesawat mati. Saya langsung menulis di Kompas walaupun tidak ada data yang kuat mendukung saya, tapi itu disebabkan icing. Kejadian itu sangat jarang terjadi. Begitu saya bertemu dengan pilot pesawat Garuda Kapten Rozak, dia mengatakan, "Pak Dudi kok bisa tahu itu?"

Apakah itu memang karena sudah menyelaminya?

Ya, kadang kita bisa melihat ini begini dan begitu.

Anda tadi mengatakan dapat memperkirakan apa yang terjadi sewaktu kasus Garuda mendarat di Bengawan Solo bedasarkan pengalaman. Apakah Anda juga sering salah daripada benar?

Saya kira salah juga ada karena saya cuma menganalisa. Analisa saya juga bisa meleset tapi melesetnya tidak begitu jauh, contoh hydroplanning di Solo dengan pesawat Garuda dan ada banyak yang meninggal tapi pilotnya tidak.

Apakah Anda bisa cerita detail yang terjadi dengan pesawat itu, apakah patah, pecah, atau terbentur-bentur saja, atau bagaimana?

Seperti kasus Marwoto di Yogjakarta, untung dia bisa selamat. Kembali lagi kita harus percaya Allah, God is so kind, untuk membuka tabir karena jika dia meninggal kita tidak akan tahu karena dia saksi hidup.

Kecelakaan di Solo terjadi karena pesawat terkena gumpalan es, sedangkan kecelakaan tempat lain karena macam-macam. Apakah ada atau tidak benang merah antara satu kecelakaan dengan kecelakaan lain?

Ada beberapa kasus yang bisa dikatakan memiliki kesamaan. Nah, ini adalah tugas dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) adalah mencari solusi jangan sampai terulang lagi. Inilah tugas dari KNKT, bukan untuk mencari siapa yang salah tetapi mencari penyebab kecelakaan itu.

Dalam kenyataannya setelah sekian kecelakaan diselidiki, apakah masih terjadi pengulangan atau memang bisa kita belajar dari kesalahan?

Kita bisa belajar. Saya lihat tidak ada persamaan yang sama.

Jadi kalau ada yang jatuh berarti alasannya baru lagi?

Iya, baru lagi.

Bagi penumpang ini penting. Apakah masih banyak atau tidak alasan baru, jangan-jangan tidak ada habis-habisnya alasan baru?

Pesawat itu benda terbang. Bayangkan saja, dari Jakarta ke Eropa terbang selama 14 jam dengan mesin tidak berhenti. Saat sampai di Amsterdam, pesawat hanya 45 menit istirahat lalu terbang lagi ke London. Dari London terus ke Jakarta lagi.

Anda kelihatannya bersimpati pada pesawat terbang. Jadi kalau pesawat jatuh sih maklum saja karena kasihan dia capek. Apakah seperti itu?

Oh bukan, pesawat memang telah dibuat sedemikian rupa. Namun itu tentu tidak terlepas dari perawatan.

Oh, jadi yang penting perawatannya. Lalu, bagaimana dengan perawatan pesawat di Indonesia?

Nah, inilah yang saya katakan kita prihatin. Banyak sekali kekurangannya dengan pertumbuhan industri penerbangan kita yang begitu cepat dari tahun 2000 sampai tahun 2008. Bayangkan, pada tahun 2000 penumpang hanya tujuh juta orang. Tahun lalu (2007) sudah ada 36 juta penumpang, dan tahun ini (2008) diperkirakan 40 juta orang. Nah, ini tidak selaras dengan pertumbuhan SDM-nya dan juga infrastruktur-infrastrukturnya. Di sinilah masalahnya.

Apakah itu ada hubungan kuat dengan usia pesawat terbang? Bagaimana usia pesawat terbang di Indonesia dibandingkan dengan negara lain?

Saya melihat di Amerika, usia pesawat terbangnya sudah 35 tahun. Bayangkan, pesawat jenis McDonell Douglass (MD-80) masih terbang di sana. Unsurnya lagi-lagi adalah perawatan, pengawasan yang ketat dari regulator dan kecakapan keseluruhan dari crew dan manajemen. Dari segi lain, pesawat berusia 35 tahun tidak dapat bersaing dengan pesawat sekarang yang lebih efisien dari segi ekonomis.

Apakah bisa dikatakan Indonesia mempunyai terlalu banyak pesawat dibandingkan dengan kapasitas perawatannya (maintenance)?

Ya, itu karena pertumbuhannya terlalu cepat dan juga SDM-nya kurang, baik maintenance crew maupun flight crew. Contohnya kembali lagi ke Adam Air, saya pernah menyaksikan mereka menyewa dry lease (sewa pesawat saja, tanpa peralatan dan crew) tapi hanya simulatornya, tidak ada pihak Garuda karena biasa menyewa dari Pusat Penerbangan Garuda. Di sana ada lima pilot dan instrukturnya. Yang menerbangkan simulator hanya dua orang, sedangkan tiga orang lainnya di belakang hanya melihat bagaimana pesawat itu diterbangkan. Saat keluar simulator, semua tanda tangan sudah menerbangkan. Ada efisiensi di sana tapi kecakapan pilotnya tidak dapat. Dia seharusnya memegang simulator dengan tangannya sendiri. Contoh, saya pernah menerbangkan secara simulator pesawat terbesar di dunia, Super Jumbo-380, Airbus terbesar di dunia. Saya sudah terbang dua kali. Saya bukan menerbangkan pesawat sungguhan tapi simulator. Waktu itu saya minta autopilot-nya di matikan. Saya ingin memegang pesawat secara manual. Memang pesawat itu besar, tapi menerbangkannya seperti pesawat kecil saja. Sewaktu sistem autopilot dimatikan, saya bisa merasakan posisi pesawat. Karena itu saya kembali lagi mempertanyakan kasus pesawat Adam Air di Majene sewaktu dimatikan auto pilotnya. Mengapa pilotnya tidak bisa merasakannya?

Maksudnya, tidak merasa kalau pesawat mulai miring sekian derajat dan sebagainya.

Itu yang saya pertanyakan. Itu artinya mereka juga kurang pelatihan di dalam simulator.

Akhirnya Adam Air dicabut izinnya dan tidak beroperasi lagi. Jadi, orang tidak akan celaka naik Adam Air karena memang sudah tidak ada Adam Air. Apakah Masih ada perusahaan lain yang seharusnya dicabut juga?

Saya kira ada.

Pertanyaan saya tersebut untuk keamanan penumpang. Jadi, apakah sekarang kita harus takut atau sudah harus merasa aman karena Adam Air sudah dihentikan?

Kalau tidak salah, sekarang termasuk yang belum beroperasi ada 22 perusahaan. Itu terlalu banyak untuk Indonesia. Saya selalu mengingatkan kepada regulator bahwa kita hanya butuh lima maskapai besar. Ini karena saya melihat jumlah 22 perusahaan, tapi sekarang mungkin sudah berkurang menjadi 15 maskapai. Itu terlalu banyak. Dari 15 perusahaan kita buat saja menjadi lima. Saat ini tiga maskapai milik pemerintah yaitu Garuda, Merpati dan Pelita, bisa menjadi satu group. Jadi pemerintah hanya memiliki satu. Saya melihat juga Mandala bisa membuat group lain dengan perusahaan yang kecil-kecil melalui merger bersama-sama. Lalu ada Lion group. Tadinya saya pikir group lainnya adalah Adam Air tapi sekarang sudah out.

Apakah ada perbedaan kualitas atau tidak, baik cockpit crew maupun maintenance dari satu airlines dengan airlines lainnya? Kalau di internasional, pilot Garuda bisa menerbangkan pesawat Cathay, apakah di Indonesia bisa seperti itu juga?

Pilot Indonesia diakui di luar negeri. Kecakapannya bukan main. Nah, di sini juga ada persoalan pembajak Misalnya, seorang Co-Pilot mungkin seumur hidup akan menjadi Co-Pilot dan tidak bisa menjadi kepala kapten pilot karena saat diuji dia tidak cakap untuk posisi tersebut. Jadi, kurang mampu. Tapi di perusahaan lain mengatakan, "You datang ke tempat saya, maka akan saya jadikan kapten." Ini masalahnya.

Saya kembali pada pertanyaan dasar setiap konsumen, bagaimana cara kita memilih perusahaan penerbangan yang aman karena andaikata kita mempunyai budget yang cukup tentu memilih Garuda?

Ini juga sulit untuk kita karena ini promosi. Tadi Pak Wimar menyebut Garuda. Kalau dilihat, Garuda memang salah satu airlines di Indonesia yang mempunyai fasilitas segala macam. Untuk perawatan, dia memiliki Garuda Maintenance Facility (GMF). Di dalam GMF itu ada gudang yang di dalamnya ada spare part senilai US$ 20 juta lebih. Tidak ada airline lain di Indonesia sekarang yang seperti dia. Beberapa diantaranya sudah muncul juga dan sedang dipersiapkan. Dua airlines diantaranya saya lihat sudah punya fasilitas gudang walau tidak sebanyak Garuda, dan juga mempunyai simulator. Nah perusahaan-perusahaan inilah yang kita lihat bahwa dia serius. Yang lainnya agak sedikit berantakan.

Jadi kita harus langganan majalah Angkasa untuk mengetahui yang aman atau tidak.

Ha...ha....ha..., iya salah satunya. Pak Wimar bisa bayangkan mereka ada yang merawat komponennya di shophouse atau rumah toko (Ruko). Tidak bisa begitu untuk airlines. Untuk penerbangan tidak bisa secara open air karena tidak boleh kotor. Saya geleng-geleng kepala.

Mengapa mereka berani begitu?

Yang salah di sini adalah regulator dan manajemennya, karena semestinya ini ditutup. Semestinya mereka yang menerbangkan pesawat juga protes. "Hei, kita tidak mau spare part dibetulkan di tempat begitu saja." Ini yang mereka kurang sadari.

Mengenai penerbangan Internasional. Orang heboh karena masyarakat Uni Eropa melarang perusahaan Indonesia terbang ke airport di Eropa. Lalu, para patriot keberatan. Tapi para penumpang ketakutan juga kalau terbang dengan pesawat yang tidak aman. Jadi, katanya, boleh-boleh saja dilarang. Apakah kita harus memperjuangkan izin terbang ke Uni Eropa, atau kita menerima dan membiarkan orang memakai penerbangan maskapai luar negeri?

Soal itu, saya kira kembali lagi ke diri kita sendiri. Semuanya bermuara dari regulator kita. Kalau regulator kita baik, maka industrinya juga pasti baik. Contoh lagi, komponen pada inertial reference system (IRS), pada pesawat Adam Air sudah rusak 154 kali, tapi regulator kok diam saja. Padahal regulator mempunyai power bisa menegur. "Hei, you ganti IRS ini karena sudah tidak bisa dipertanggungjawabkan." Itu karena ada penumpang jadi tidak safety. Itu juga dilihat oleh Uni Eropa. Uni Eropa tidak hanya mempertanyakan airlines kita, tetapi juga bagaimana regulator kita.

Untuk bisa lolos persyaratan Uni Eropa, apakah masih bisa dengan pesawat yang ada?

Pesawat yang ada masih bisa.

Apakah pilot yang ada juga masih bisa untuk lolos persyaratan? Apakah pilot kita memiliki internationally certified?

Masih bisa. Semua pilot memiliki Internationally certified. Ini terbukti banyak sekali pilot kita di seluruh dunia.

Pada beberapa kecelakaan (crash) terakhir menunjukkan ada kesalahan pilot. Apakah itu bukan menunjukkan pilot kita di bawah standar?

Tidak, karena mereka juga melihat itu bukan 100% kesalahan pilot. Memang ada unsur sumbangan dari pilot, tapi bukan 100% atau 80% penyebabnya oleh pilot. Seperti tadi saya katakah bahwa dalam hal ini kembali terlibat regulator dan juga manajemen. Regulator dalam hal ini pemerintah.

Kalau di Amerika itu regulator bukan pemerintah yaitu Federal Aviation Authority. Bukankah itu publik?

Itu publik tapi pemerintah juga. Kalau yang baru adalah National Transportation Safety Board (NTSB). Dalam kaitan ini ada dua hal penting, yaitu pengawasannya dan juga juga re-enforcement harus kuat sekali.

Apakah kelemahan regulator kita karena kurang mampu, atau memang ada itikad yang kurang baik?

Kita semua mengetahui kondisi di Indonesia. Berapa gaji seorang inspektur? Itu permasalahannya juga.

Anda mengamati dunia penerbangan sudah puluhan tahun, apakah kualitas regulasi sekarang memang kurang daripada 20 tahun lalu?

Sebelum bisnis penerbangan dibuka (deregulasi), kita masih baik. Deregulasi dunia penerbangan kita terlalu cepat sekali, dan kita tidak bisa mengimbanginya. Kita juga tidak mau ikut dalam perkembangan itu secepatnya. Bayangkan saja, jumlah inspektur bisa dihitung oleh jari. Sedangkan pesawat ada di Banda Aceh, Sorong, Makassar, Manado, dan lain-lain. Jumlah inspekturnya kurang. Mereka juga seharusnya dibayar tinggi, tapi kenyataannya tidak.

Seberapa sering sesuatu harus dirawat? Kalau ada maskapai penerbangan internasional ke Indonesia, apakah dia di sini bisa mendapat cukup perawatan?

Kembali lagi, Garuda memang paling banyak memegang perawatan pesawat asing yang datang. Itu adalah satu jaminan sebetulnya. GMF itu Ok karena ada sertifikasi dari Amerika dan Eropa. GMF mempunyai semuanya. Dalam hal ini, pesawat saat datang ke satu tempat, misalnya dari Jakarta ke Medan, maka harus di cek lagi di Medan.

Menurut Anda, apakah kecelakaan yang akhir-akhir ini terjadi dan publisitas yang diundang olehnya termasuk wawancara kita itu membantu peningkatan keselamatan atau itu memang akan lewat begitu saja?

Ini bukan saya mau promosi lagi di sini. Saat kecelakaan di Solo, kejadian tersebut disimulasikan kembali baik oleh Lion Air ataupun Garuda. Pilotnya belajar lagi. Yang terakhir di Majene, saya mengetahui beberapa airlines terutama yang mempunyai simulator langsung melakukan simulasi kembali.

Rabu, 20 Agustus 2008

Safety Rating, Kebohongan Publik



Oleh: Agus Pambagio


Menyusul banyaknya pesawat udara yang mengalami incident (bermasalah saat tinggal landas atau mendarat karena adanya kesulitan teknis, tetapi tidak menimbulkan korban dan kerusakan) dan accident (kecelakaan yang menimbulkan kerusakan dan korban jiwa), pemerintah Indonesia dalam hal ini

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU), Departemen Perhubungan (Dephub) telah mengeluarkan hasil penilaian keselamatan (safety rating) terhadap beberapa maskapai penerbangan nasional termasuk angkutan kargo. Penilaian ini menurut Dephub didasarkan pada standar Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 4121 yang harus menjadi acuan semua maskapai berjadwal dengan kapasitas penumpang lebih dari 30 orang dan berjadwal kargo. Melalui rating tersebut, Dephub berharap selain untuk memberikan efek jera kepada maskapai penerbangan yang tidak taat pada peraturan, juga untuk memperbaiki citra DJU atau Dephub sendiri,khususnya Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara (DSKU).

Namun, langkah yang diambil Dephub dengan menerapkan safety rating ternyata telah menyesatkan dan membohongi publik. Mengapa? Karena: (1) dalam dunia penerbangan terkait CASR 4121 tidak dikenal istilah Safety Rating, yang ada Performance Airline Rating, (2) yang melakukan audit bukan auditor independen, tetapi jajaran Dephub sendiri yang selama ini telah berperan dalam pembunuhan secara perlahan namun pasti industri penerbangan. Safety atau keselamatan dalam industri penerbangan bukan merupakan faktor yang dapat diberikan pemeringkatan atau rating. Safety itu suatu hal yang mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Tidak ada satu pun regulator di negara lain yang memberikan pemeringkatan hanya pada aspek keselamatan seperti yang dilakukan DJU. Adanya Safety Rating ini semakin memperkuat perkiraan publik bahwa DJU memang tidak mampu bertindak sebagai regulator yang melindungi konsumen. Jadi jangan heran jika semakin lama angka accident maupun incident penerbangan di Indonesia semakin tinggi.

Dilema Hasil Pemeringkatan

Pemeringkatan performa penyedia jasa penerbangan merupakan alat komunikasi yang baik antara operator, regulator, dan konsumen. Informasi yang harus disampaikan kepada konsumen terkait performa ini harus akurat dan sesuai dengan standar (termasuk kriteria yang digunakan) dan dilakukan pihak-pihak yang berwenang melakukan pemeringkatan. Idealnya dilakukan sebuah lembaga independen yang terlepas dari struktur regulator dan operator.

Terkait dengan pemeringkatan atau rating ini bisa menjadi sebuah kebohongan publik jika dilakukan dengan tidak benar,meskipun maksudnya benar. Dampaknya akan membingungkan konsumen dan tentu saja industri penerbangan. Banyak pihak termasuk Komisi V DPR meragukan kriteria atau parameter yang digunakan DJU Dephub. Akibatnya,muncul banyak pertanyaan baik dari maskapai, publik maupun Komisi V DPR sendiri, seperti: ”Lah Garuda Indonesia ternyata berada di kelompok II? Padahal ke mana pun Presiden SBY melakukan kunjungan, hampir selalu menggunakan pesawat Garuda Indonesia”.

Artinya, DJU telah mengikutkan Presiden SBY dalam arisan nyawa di udara seperti layaknya penulis yang hanya rakyat biasa ini. Sementara itu di negara mana pun, keselamatan seorang presiden harus di atas keselamatan rakyatnya alias tidak bisa ditawar-tawar lagi.Alat transportasi yang digunakan juga harus super aman, tidak boleh sekadar aman atau aman ala kadarnya dan masuk kategori II. Jadi jangan heran jika Komisi V DPR saat rapat dengar pendapat dengan Menteri Perhubungan,juga meminta agar pemerintah tidak mengumumkan terlebih dahulu hasil rating tersebut (meskipun selang beberapa jam kemudian diumumkan), karena DPR ingin tahu lebih mendalam tentang kriteria yang digunakan.

Jika kita bicara tentang kriteria penilaian, menjadi kabur karena ada maskapai penerbangan lain yang sering sekali mengalami incident dan accident dalam lima tahun terakhir ini (seperti sering mendarat darurat, terperosok ke luar landasan, menyasar ke landasan nontujuan, pelampung tidak lengkap) juga masuk pada kategori II, bersanding dengan beberapa maskapai yang sering diaudit FAA maupun auditor independen dengan hasil baik serta sering digunakan presiden dan pejabat tinggi negara lainnya. Apakah ini adil? Dan adakah dampak negatifnya? Tentu ada. Dampak dari keluarnya Safety Ratingini sudah mulai bermunculan.

Pemerintah Australia sudah memperingatkan warganya yang akan bepergian ke Indonesia menggunakan penerbangan domestik. Ini tentu akan berdampak pada sektor pariwisata. Belum lagi kemungkinan para vendor maskapai Indonesia akan memberlakukan pembayaran tunai jika membeli suku cadang atau melakukan perawatan pesawat alias tidak bisa mencicil. Belum lagi akan naiknya biaya premi asuransi bagi maskapai yang masuk pada kategori II dan III yang tentunya akan berdampak pada naiknya harga tiket.Yang lebih mengerikan lagi,jika sampai ada pesawat maskapai penerbangan Indonesia yang dilarang masuk wilayah regional Asia karena membahayakan penerbangan mereka. Seperti yang pernah terjadi di beberapa negara Eropa tahun lalu terhadap beberapa maskapai LCC dari Afrika dan Asia.

Apa yang Harus Dilakukan Konsumen dan Maskapai Penerbangan?

Sesuai UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf (a): ”Hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa”, pemerintah memang harus melindungi konsumen penerbangan yang tahun ini mencapai 30 juta penumpang lebih. Jika pemerintah ingkar, termasuk melakukan pembohongan publik dengan memberikan informasi yang tidak tepat (meskipun secara niat sudah baik),sesuai dengan UU No 8/1999 Pasal 46, konsumen dapat melakukan gugatan kelompok atau class action.

Dan bagi maskapai penerbangan yang merasa dirugikan atas informasi pemeringkatan tersebut dapat mem-PTUNkan Departemen Perhubungan. Terlepas dari beberapa kritikan yang saya tulis ini, saya cukup apresiatif pada DJU Dephub atas usaha membuat shock therapy ini. Namun, alangkah elegannya jika DJU Dephub dapat segera melakukan pemeringkatan ulang yang benar dan sesuai dengan aturan yang berlaku agar hasil pemeringkatan tersebut dapat menjadi alat komunikasi yang baik dan menyejukkan publik,tetapi ”menjewer”maskapai penerbangan nakal yang tetap beroperasi dan tidak peduli dengan keselamatan penerbangan.(*)

URL Source:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/safety-rating-kebohongan-

AGUS PAMBAGIO Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen

Otoritas Penerbangan Sipil Harus Dipisahkan

Jakarta, Kompas - Indonesia harus membentuk otoritas penerbangan sipil yang lebih independen dan terpisah dari Departemen Perhubungan. Kebijakan ini untuk mengoptimalkan upaya meningkatkan keselamatan penerbangan.

Demikian dikatakan pengamat penerbangan Chappy Hakim, Sabtu (26/7) di Jakarta. "Indonesia dapat meniru Federal Aviation Administration di AS. Bila otoritas penerbangan sipil tidak dipisahkan, sulit bekerja optimal," ujar Chappy.

Saat ini penanggung jawab kelaikan udara adalah Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.

Selain itu, Chappy mengimbau agar Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) bertanggung jawab langsung kepada presiden, tidak di bawah Departemen Perhubungan. "Bila ingin serius menurunkan kecelakaan penerbangan, seharusnya KNKT lebih independen," ujarnya.

Juru Bicara KNKT JA Barata menegaskan, meski di bawah Dephub, dalam menginvestigasi kecelakaan tim KNKT dijamin independensinya. "Karena anggaran KNKT dari Dephub, secara struktural KNKT di bawah Dephub," ujarnya.

Meski diakui masih ada kekurangan dalam keselamatan penerbangan, Chappy menilai larangan terbang oleh Komisi Eropa terhadap maskapai Indonesia adalah arogansi semata. "Sejak awal saya mencurigai alasan teknis yang dikemukakan. Komisi Eropa tidak pernah langsung mengecek kelaikan terbang pesawat kita," ujar Chappy.

Chappy meminta agar peningkatan keselamatan penerbangan dilakukan atas kemauan regulator dan operator nasional, bukan karena institusi tertentu.

Menurut Abdul Hakim, anggota Komisi V DPR, pelarangan terbang oleh Komisi Eropa sangat politis. Hal itu adalah upaya mendelegitimasi keamanan maskapai penerbangan nasional sehingga maskapai asing dapat masuk ke Indonesia.

Ekspor terganggu

Perpanjangan larangan terbang ke Eropa bagi maskapai penerbangan Indonesia dikhawatirkan akan semakin menurunkan ekspor ikan hias Indonesia. Pada tahun 2007, nilai ekspor ikan hias 9,3 juta dollar AS, turun 33,3 persen dibandingkan dengan tahun 2006.

Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung menyatakan, larangan terbang ke Uni Eropa yang diberlakukan sejak tahun 2007 menghambat ekspor ikan hias yang mengandalkan transportasi udara. Akibatnya, 70 persen ekspor produk ikan hias Indonesia ke Uni Eropa dilakukan lewat Singapura.

Ketergantungan terhadap Singapura menyebabkan Indonesia kehilangan nilai tambah produk hingga 50 persen. (lkt/ryo)

LCC (Low Cost Carrier)

Istilah Penerbangan "low cost" atau sering disebut LCC (low cost carrier). LCC sering juga disebut sebagai Budget Airlines atau no frills flight atau juga Discounter Carrier. LCC merupakan model penerbangan yang unik dengan strategi penurunan operating cost.

Dengan melakukan efisiensi cost di semua lini,
maskapai melakukan hal-hal diluar kebiasaan maskapai pada umumnya, Kalau airlines pada umumnya melakukan penambahan layanan yang memiliki value added dengan penambahan catering, penyediaan newspaper atau magazine, in flight entertainment, in flight shop, lounge, free taxy after landing, exclusive frequent flier services, dan lain sebagainya. Berlawanan dengan hal itu, Low cost carrier melakukan eleminasi layanan maskapai tradisional yaitu dengan pengurangan catering, minimize reservasi dgn bantuan teknologi IT sehingga layanan nampak sederhana dan bisa cepat.

Pelayanan yang minimize ini berakibat
dalam hal penurunan cost, namun factor safety tetap dijaga untuk menjamin keselamatan penumpang sampai ke tujuan. LCC adalah redifinisi bisnis penerbangan
yang menyediakan harga tiket yang terjangkau serta layanan terbang yang minimalis. Intinya produk yang ditawarkan senantiasa berprinsip low cost untuk menekan dan mereduksi operasional cost sehingga bisa menjaring segmen pasar bawah yang lebih luas.

Awal mula low cost carrier ini dirintis oleh Maskapai Southwest yang didirikan Rollin King, Lamar Muse dan Herber Kelleher pada 1967. Fenomena Southwest menjadi fenomena kajian bisnis penerbangan yang sangat menarik dibahas di Universitas Harvard dan diberbagai sekolah bisnis diseluruh belahan dunia. Efisiensi yang dilakukan mencakup mulai dari harga (murah), teknologi, struktur biaya, rute hingga berbagai peralatan operasional yang digunakan.

Keberhasilan Southwest kemudian banyak ditiru oleh maskapai lainnya seperti Vanguard, America West, Kiwi Air, Ryanair yang berdiri tahun 1990, Easyjet yang berdiri tahun 1995, Shuttle (anak Perusahaan United Airlines), MetroJet (anak perusahaan USAir) dan Delta Express (anak perusahaan Delta), Continental Lite (anak perusahaan Continental Airlines). Langkah Low cost carrier kemudian juga ditiru di Asia dengan munculnya Air Asia di tahun 2000 yang bermarkas di Malaysia, Virgin Blue di Australia, sedangkan di Indonesia kemudian berdiri Lion Air, dan Wings Air yang merupakan anak perusahaan Lion Air.

Umumnya, ciri-ciri maskapai tersebut menerapkan LCC antara lain ;

1.. Semua penumpangnya adalah kelas ekonomi, tidak ada penerbangan kelas premium atau bisnis.

2.. Kapasitas penumpangnya lebih banyak daripada kapasitas pesawat dengan layanan tradisional
sehingga terlihat penumpang berdesak-desakkan. Hal ini untuk
menaikkan revenue pesawat
mengingat tarif yang sangat murah.

3.. Maskapai tersebut memiliki satu tipe pesawat untuk memudahkan training dan meminimize biaya
maintenance dan penyediaan spare part cadangan. Biasanya
pesawatnya baru/ umurnya masih
muda sehingga hemat dalam konsumsi fuel (avtur).

4.. Maskapai menerapkan pola tarif yang sangat sederhana pada satu tarif atau tarif sub classis
dengan harga mulai dari tarif diskon hingga mencapai 90%.

5.. Tidak memberikan layanan catering, di pesawat umumnya hanya disuguhkan air mineral.

6.. Kursi yang disediakan tidak melalui pemesanan, siapa penumpang yang masuk lebih dahulu dalam
pesawat, dia yang pertama memilih kursi yang dia tempati.

7.. Penerbangan dilakukan di pagi buta atau malam hari untuk menghindari biaya yang mahal pada
layanan bandara pada saat jam-jam sibuk.

8.. Rute yang diterbangi sangat sederhana biasanya point ke point untuk menghindari miss conection
di tempat transit dan dampak delay dari akibat delay
flight sebelumnya.

9.. Memberlakukan penanganan gound handling yang cepat dan pesawatnya
mempunyai utilisasi jam
terbang yang tinggi.


10.. Maskapai melakukan penjualan langsung (direct sales), biasanya via call
center dan
internet untuk meminize cost channel distribusi. LCC tidak dijual
melalui travel agent, dan tidak
menggunakan Channel Distribusi GDS (Global
Distribution System) seperti Abacus,Galileo, dll.

11.. Penjualan tidak menggunakan tiket konvensional, cukup secarik kertas
berupa kupon untuk
mereduksi ongkos cetak tiket.

12.. Seringkali maskapai melakukan ekspansi promosi besar-besar untuk memperkuat positioning dan
komunikasi karena menerapkan strategi direct sales.

13.. Karyawannya melakukan multi role dalam pekerjaannya, seringkali pilot dan pramugari juga
sebagai cleaning services saat ground handling.

Disamping itu LCC
menerapkan outsourching dan karyawan kontrak terhadap SDM non vital, termasuk
pekerjaan ground handling pesawat di bandara. Di Indonesia belum ada yang menerapkan pola bisnis LCC yang sejati, karena operasional cost maskapai yang dianggap LCC di Indonesia masih diatas rata-rata maskapai LCC pada umumnya.

Banyak analis keuangan masih menyatakan bahwa cost
per available seat miles masih berada di atas ambang standard operating cost dari suatu Low Cost Carrier yang sejati, namun meskipun price structure-nya sendiri sudah sesuai dengan konsep LCC sehingga mungkin akan lebih tepat disebut
dengan Low Far Carrier (LFC) karena hanya menawarkan harga murah tetapi belum sepenuhnya mendukung prinsip-prinsip LCC dimana struktur cost dan produktifitas maskapai masih tergolong mahal.

Adanya konsep LFC tentu sangat menguntungkan bagi calon konsumen, karena konsumen dihadapkan pada pilihan menggunakan transportasi udara yang berbiaya murah dan cepat. Seringkali harganya jauh lebih murah dari perjalanan darat dengan bus atau kereta api yang membutuhkan waktu lebih lama. Contoh saja perjalanan Bus dari Jakarta ke Denpasar selama 24 jam membutuhkan biaya sebesar
Rp 350.000 sedangkan dengan pesawat, harga tiketnya ada yang menawarkan harga mulai dari Rp 269.000 dengan waktu tempuh 1,5 jam.

Bahkan pada saat-saat
tertentu operator menawarkan kursi gratis ke Bali dengan membayar administrasi saja yang nilainya hanya Rp 199.000. Fenomena yang menyadarkan kita bahwa
sekarang ini semua orang bisa terbang dengan harga yang terjangkau dan tidak lagi seperti jaman dahulu di mana penggunaan transportasi udara hanya monopoli orang-orang dari kalangan menengah keatas.

Perkembangan bisnis penerbangan kedepannya masih menghadapi tantangan yang berat, mengingat harga fuel (avtur) yang terus meningkat yang merupakan komponen biaya yang paling besar dalam total operating cost di bisnis penerbangan disamping maintenance pesawat. Otomatis dengan biaya operasi yang makin meningkat, maskapai terpaksa harus menaikkan tarif.

Oleh karena itu, strategi
bisnis LCC yang sejati yang secara aggresif mampu melakukan penghematan terhadap konsumsi fuel akan sangat sesuai diterapkan di Indonesia mengingat calon-calon
penumpang di Indonesia adalah sangat sensitive terhadap price, maka kecenderungannya penumpang akan memilih maskapai yang menawarkan harga murah, namun maskapai LCC tetap mendapatkan profit dari bisnisnya.

Maka kedepannya,
besar kemungkinannya hanya maskapai dengan pola LCC yang akan lebih mampu
bertahan dibandingkan dengan maskapai dengan pola layanan tradisional yang lain.

Menerbangkan Pesawat Lama ?

Apa ada aturan yang melarang untuk menerbangkan pesawat lama? Ada yg tahu, Tipe brp saja yg dikategorikan tidak boleh lagi untuk diterbangakan ?

Apabila perusahaan melanggar peraturan tersebut, apakah sanksi yg akan dikenai perusahaan tersebut ?

Mohon bantuannya. Saya dapat laporan dari kasus suatu perusahaan penerbangan Korea yang memaksakan pilot2 Indonesia untuk menerbangkan pesawat lama ini dan pilot2 tersebut menolaknya, sayangnya lagi pilot2 tersebut dipecat tanpa gaji! Semoga ada solusi untuk memecahkan masalah tersebut...

Tks
-Verga-


Maaf kalau input saya salah, tetapi menurut pendapat saya selama pesawat tersebut mengikuti aturan perawatan dari pabrikan pesawat pesawat masih tetap dapat diterbangkan, hanya saja beberapa hal yangmempengaruhi pesawat tersebut adalah :

1. Nilai ekonomis pengoperasian pesawat tersebut untuk kebutuhan komersil sudah tidak ekonomis, khususnya penerbangan komersial penumpang.

2. Nilai jual dan daya saing sudah tidak dapat diandalkan.

3. Tingkat kebisingan yang tinggi dan untuk melakukan modifikasi memerlukan biaya yang tidak sedikit dibandingkan dengan nilai jual pesawat tersebut.

Demikian masukkan dari saya, mohon koreksi jika ada kesalahan.

Wassallam
Harry Priono


Apa pengertian pesawat lama yang dimaksud ? Input ini harus jelas dulu. Jika pesawat tersebut sdh habis umurnya tentu sdh tidak boleh terbang lagi (Pesawat aging), kecuali mengajukan perpanjangan lagi kepada pihak Authority dan biasanya melalui Type design Holder.

Jadi, jika diijinkan diperpanjang, tentu harus melalui proses sertifikasi perpanjangan umurnya seperti dilakukan overhaul wing nya dll. semua tergantung dari history pesawat dan persyaratan yang ditentukan oleh Authority dan Type Design Holdernya.

Kalau kasusnya pesawat aging, seperti ini maka harus ditanya, apa sebab Pilot tidak mau menerbangkannya ? Apakah perpanjangan umur tersebut hanya disetujui oleh Authority setempat ? dan tidak termasuk evaluasi Type design holdernya?

Kalau kasusnya adalah pesawat tua katakanlah sdh berumur 20 tahun, tapi masih belum habis umur operasinya, dan pesawat tersebut di pelihara sesuai dengan Maintenance manualnya ya tetap masih Airworthy, dan tidak ada alasan utk tidak mau menerbangkan.

Bagi pilot, sebernarnya mudah saja, lakukan Flight Line Inspection, dan Ground run, kalau banyak yang out of tolerance, tulis semua di flight squawk dan nyatakan pesawat tidak laik terbang. Jadi alasannya jelas.

Pilot dapat berkordinasi dengan Flight Engineer utk membuka Aircraft Manual. Biasanya, utk tempat2 tertentu yg dicurigai akan retak setelah sekian ribu jam terbang, Authority mengeluarkan Airworthiness Directives dan didalam Aircraft status (Aircraft log) tertulis dan Flight Engineer atau Certified Engineer akan menjelaskan kepada Pilot.

Pesawat terbang yang sdh lama terbang pasti ada keretakan, dan keretakan tersebut ada batasannya mana yang masih boleh terbang mana yang tidak boleh terbang. Kalau Certified engineer menjelaskan berdasarkan data2 dokumen yg sahih dan masih acceptable retaknya, harusnya tidak ada alasan utk tidak terbang. Jadi masih Airworthy.

Tetapi jika sdh keluar toleransi, Pilot wajib menolak. Dan Pilot bisa menuntut dan melaporkan kepada Pihak Authority setempat atau International. Jadi, input datanya masih kurang jelas utk
diputuskan benar salahnya.

Salam
Agus Hartono


Menarik juga kasusnya, sharing saja, struktur badan/fuselage dan sayap/wing pesawat adalah bagian yang sangat menentukan apakah pesawat tersebut bisa terbang atau tidak. Jika salah satu bagian dari pesawat tersebut mengalami crack maka seberapa besar limitasi cracknya dapat dilihat
dalam structure repair manual, jika tidak tercover dalam structure repair manual maka pihak operator dapat mengajukan advise ke pihak pabrik pembuat pesawat tersebut.

Disana akan disebutkan apakan dengan crack yang ada
pesawat tersebut masih diperbolehkan untuk melakukan penerbangan atau tidak. Untuk crack yang terjadi didaerah yang mengalami pressurisation ( fuselage ) pada umumnya tidak diperbolehkan untuk diterbangkan dan harus dilaksanakan perbaikan terlebih dahulu. Untuk area wing, jika crack yang terjadi pada area main tank dimana diarea tersebut adalah tempat penyimpanan bahan bakar pesawat maka sudah barang tentu tidak diperbolehkan adanya crack karena hal ini dapat mengakibatkan kebocoran fuel dan bencana yang lebih fatal lagi.

salam
Agoes Purwa Irawan

An Open letter to All Airline Customers:

An Open letter to All Airline Customers:

Our country is facing a possible sharp economic downturn because of
skyrocketing oil and fuel prices, but by pulling together, we can all do
something to help now.

For airlines, ultra-expensive fuel means thousands of lost jobs and
severe reductions in air service to both large and small communities. To
the broader economy, oil prices mean slower activity and widespread
economic pain. This pain can be alleviated, and that is why we are
taking the extraordinary step of writing this joint letter to our
customers.

Since high oil prices are partly a response to normal market forces, the
nation needs to focus on increased energy supplies and conservation.
However, there is another side to this story because normal market
forces are being dangerously amplified by poorly regulated market
speculation.

Twenty years ago, 21 percent of oil contracts were purchased by
speculators who trade oil on paper with no intention of ever taking
delivery. Today, oil speculators purchase 66 percent of all oil futures
contracts, and that reflects just the transactions that are known.
Speculators buy up large amounts of oil and then sell it to each other
again and again. A barrel of oil may trade 20-plus times before it is
delivered and used; the price goes up with each trade and consumers pick
up the final tab. Some market experts estimate that current prices
reflect as much as $30 to $60 per barrel in unnecessary speculative
costs.

Over seventy years ago, Congress established regulations to control
excessive, largely unchecked market speculation and manipulation.
However, over the past two decades, these regulatory limits have been
weakened or removed. We believe that restoring and enforcing these
limits, along with several other modest measures, will provide more
disclosure, transparency and sound market oversight. Together, these
reforms will help cool the over-heated oil market and permit the economy
to prosper.

The nation needs to pull together to reform the oil markets and solve
this growing problem.

We need your help. Get more information and contact Congress by visiting
www.StopOilSpeculationNow.com.

Robert Fornaro
President and CEO AirTran Airways

Bill Ayer
Chairman, President and CEO Alaska Airlines, Inc.

Gerard J. Arpey
Chairman, President and CEO American Airlines, Inc.

Lawrence W. Kellner
Chairman and CEO Continental Airlines, Inc.

Richard Anderson
CEO Delta Air Lines, Inc.

Mark B. Dunkerley
President and CEO Hawaiian Airlines, Inc.

Dave Barger
CEO Jet Blue Airways Corporation

Timothy E. Hoeksema
Chairman, President and CEO Midwest Airlines

Douglas M. Steenland
President and CEO Northwest Airlines, Inc.

Gary Kelly
Chairman and CEO Southwest Airlines.

Glenn F. Tilton
Chairman, President and CEO United Airlines, Inc.

Douglas Parker
Chairman and CEO US Airways Group, Inc.

A Warm Welcme from Friend, Beny of Atlas Logistics

Pak satiri
Welcome a board

Benny ahmad
Atlas logistics indonesia

From: satiri@stefanycargo.com <satiri@stefanycargo.com>
Subject: RE: Yahoo! Groups: Welcome to airliners_indonesia. Visit today!
To: "airliners_indonesia Moderator" <airliners_indonesia-owner@yahoogroups.com>
Date: Saturday, July 12, 2008, 4:36 AM

Dear Moderator/Founder

Senang sekali dapat bergabung di dalam 'Airliners Indonesia'.

Semoga 'Airliners Indonesia' ini terus
berkembang menjadi sarana untuk menambah wawasan dalam Industri Transportasi Udara baik Local maupun International yang dapat menjadi tolok ukur dalam
peningkatan standardisasi pelayan, keselamatan serta kenyamanan, dan lain-lain, baik dalam kaitannya dengan mobilisasi Penumpang maupun Barang (Cargo).

Salam
SATIRI

Problematika Riau Airlines ( 7 )

Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, jika isu utama yg diboyong adalah "crew fatigue" yg berpengaruh pada "flight safety", saya yakin hal ini bisa diselesaikan bersama DGCA sebagai mediasi, karena "isu flightsafety" penerbangan di Indonesia saat ini sdg menajdi sorotan dunia international.

Sejauh yg saya pahami, hampir semua airlines di Indonesia di banned oleh Uni Eropa karena regulatory body di Indonesia belum memenuhi standard international, dalam hal ini DGCA, jadi faktor penyebab banned tersebut bukan hanya mutlak pada pihak airlines.

Kasus ini justru akan menjadi "homework" DGCA agar dapat sesuai dgn standard international. Setahu saya, di dunia international, maksimal "duty hours" dan "duty time" dibatasi juga oleh "number of landing", jadi jika kita hanya memeperhitungkan 1 jam x 8 kali landing masih dibawah batas maksimal 9 jam terbang, saya rasa cara perhitungkan tersebut harus perlu dipertimbangkan lagi. Kongkritnya, misalkan, batasan 9 jam terbang hanya untuk maksimal 3 x landing, jika 4-6 kali landing, maksimal menjadi 8 jam terbang, jika 7-8 kali landing, maksimal menjadi 7 jam terbang, itu yg saya maksud.

Mungkin belum ada aturannya di CASR, makanya OM masing company belum memasukkannya, justru itulah saya katakan ini akan menjadi "homework" DGCA untuk menjadi lebih go international.

Tetapi saya menjadi bingung dgn istilah yg Pak Basuki gunakan "utilisasi crew", di sini terjadi bias dari pemahaman saya dalam kasus ini. Saya tdk mengerti, "utilisasi crew" ini dgn motifasi apa, maaf
(ekonomi misalnya), nah perlu dilihat juga motifasi ekonomi ini dari pihak mana, Manajemen kah, atau Crew kah? jika memang masuk ke ranah ini (motifasi ekonomi), sekali lagi saya katakan, DGCA sebagai
regulator harus masuk. Tetapi perlu kita uji juga DGCA ini, apakah mampu mengamandemen CSAR demi menegakkan "flight safety" atau luluh dgn motifasi ekonomi ini, terlepas dari pihak yg mana yg lebih kuat, Manajemen atau Crew.

Demikian dulu tulisan saya. Semoga tidak ada yg keliru.

Yusuf E.
Senior FOO

Problematika Riau Airlines ( 6 ) A kind clarification from a Friend

Seperti yang tertera pada awal tulisan saya bahwa saya tidak mengerti dengan
berita/ kalimat yang tertulis di Detiknews.com tersebut, kalimat : “Kita
memprotes kebijakan manajemen PT RAL yang memaksa pilot untuk menambah jam
penerbangan dari 6 kali sehari menjadi 8 sampai 9 kali sehari” adalah salah
satu kalimat yang saya kutip dari Detiknews.com tersebut. Jadi, jelas bahwa
yang mengartikan hours dengan times adalah sumber berita tersebut. Itu
sebabnya kalimat : Tulisan diberita tersebut menyatakan keberatan para Pilot
menambah "jam penerbangan" dari 6 kali sehari menjadi 8 sampai 9 kali
sehari: Saya bubuhkan tanda petik “” pada kalimat Jam Penerbangan.

Banyak terjadi pihak media baik cetak maupun elektronik menyampaikan berita
yang salah tentang kasus penerbangan, satu contoh kecil, satu saat pesawat
milik club kami mengalami accident di Kalijati, pesawat tersebut adalah
light aircraft Super Reble single engine dengan experimental category, yang
muncul di berita ialah telah jatuh satu pesawat Jenis Cessna dengan no
penerbangan PK-XXX. Jelas disini sipembuat berita tidak atau kurang
mengetahui istilah yang digunakan dalam dunia penerbangan, pokoknya kalau
pesawat single engine semuanya adalah jenis Cessna aja.

Di Tahun 90an saat itu SEKJEN Departemen Perhubungan di jabat oleh
Bapak.Mukhtarudin Siregar beliau secara rutin mengajak para wartawan yang
meliput Dept.Perhubungan mengikuti kegiatan penerbangan di FASI, bahkan
beliau mensponsori beberapa wartawan untuk belajar terbang. Maksud dari
kegiatan tersebut adalah agar terjadi proses pembelajaran bagi para wartawan
dalam mengenal duni kedirgantaraan sehingga diharapka para wartawan tersebut
dapat mengurangi kesalahan dalam menulis berita tentang kedirgantaraan.
Sangat kita ketahui salahnya satu berita dapat membuat salahnya keputusan
yang harus di buat oleh pihak yang concern.

Jadi, kelihatannya akibat kesalahan penulisan berita tentang RAL ini
mengakibatkan terjadinya salah tafsir bagi kita semua, dan akhirnya menjadi
tanggung jawab kita semua yang berkecimpung di dunia Dirgantara untuk
memberikan pembelajaran pada pihak media. Tapi gimana ya….?

Wasallam,
Chepy R.Nasution


Mohon maaf, memang tulisan saya tidak ditujukan langsung untuk pak Chepy namun yang jelas kita sebagai insan penerbangan mempunyai tanggung jawab untuk meluruskan atau sekaligus memberi pencerahan kepada pembuat berita agar berita yang disiarkan tidak menjadi bias.

Mungkin tidak disadari oleh pembuat berita
bahwa mereka juga harus memberikan pencerahan kepada awam sehingga dalam hal ini awam sedikit demi sedikit akan mendapatkan pengetahuan yang akurat dan sangat berguna dalam dunia penerbangan. Sehingga pada suatu saat masyarakat kita
yang awam dalam penerbangan akan menjadi terbiasa dengan berita berita penerbangan yang sangat bisa dipercaya, tentunya mereka akan melakukan check and recheck kepada sumber yang benar sebelum berita itu diturunkan.

Saya mengerti sekali pak Chepy yang sudah sangat senior di dunia penerbangan akan banyak sekali sumbanganya untuk memanjukan dunia/profesi kita dan tentu saya khususnya akan banyak menimba ilmunya.

Salam hormat, maju terus penerbangan Indonesia.

Bambang Heru P

Problematika Riau Airlines ( 5 )

Perlu kami jelaskan bahwa setiap perusahaan mempunyai aturan tersendiri yang tertuang dalam COM maupun Training Manual yang sudah di approved oleh DGCA.

Didalam COM memuat aturan Company yang tidak boleh bertentangan dan mempunyai minimum standard yaitu CASR. Isi COM tidak boleh kurang dari aturan yang tertuang dalam CASR. memang didalam CASR yang ada saat ini tidak memberlakukan batasan take off landing. tetapi masing-masing copany mempunyai typical penerbangan yang berbeda.

Misalnya : aruda mempunyai tipical penerbangan jarak
jauh dimana satu sector penerbanganya rata-rata 4 jam, kalau penerbangan tersebut memerlukan 3 sektor, maka batasan jam tebang yang 9 jam sehari tidak akan terpenuhi, untuk itu pada Garuda memerapkan maksimal 4-6 kali landing dalam
satu hari. Pada penerbangan Helicopter yang jam terbangnya tiap sektor rata-rata 15 menit, maka dengan jumlah sektor 15 kali saja sehari yang harus dijalani hal tersebut juga masih memenuhi persyaratan penerbangan maksimal yaitu 6 jam sehari untuk single pilot.Padahal jumlah landingnya adalah 15 kali.

Dalam PT. Riau Airlines mempunyai tipikal penerbangan dimana rata-rata jam terbang persektornya adalah 1 jam. jadi bila Crew dipaksakan untuk terbang 8 landing atau 8 sektor maka terdapat hitungan sbb:

Jumlah flight hours 8 jam ( masih memenuhi requirement CASR dan COM)
kalau tiap sektor memiliki Transit time 30 menit maka jumlah working hours untuk
transit saja adalah 8 x 30 menit = 240 menit = 4 jam

Duty hours adalah 1.30 jam sebelum ETD + 1 jam setelah ATD = 2 jam 30 menit + 8
jam + 4 jam = 14 jam 30 menit ( melebihi aturan dalam CASR untuk Duty Period)

Bila crew setiap hari terbang 8 jam, maka dalam tiap minggu crew tersebut hanya bisa terbang masimal 4 hari (karena maximum jam terbang per minggu adalah 30jam) berarti crew dalam seminggu memiliki 3 hari day Off.

kalau perminggu dipaksakan 30 jam maka dalam sebulan pun tidak boleh melebihi 100 jam dan setahun tidak boleh melebihi 1050 jam.

Hal ini jelas bila dipaksakan 8 kali landing dalam sehari pada PT. Riau Airlines, maka terdapat pengurangan utilisasi dari crew tersebut, yang seharusnya dalam seminggu bisa dioptimalkan setiap hari terbang dengan rata rata jam terbang 5 jam perhari dengan take off landing 6 kali sehari.

Jadi banyak factor yang menyebabkan crew menolak melebihi maksimal 6 kali landing perhari. semua tergantung dari tipical operasional perusahaan penerbangan bersangkutan. Disamping utilissi crew serta sangat sulitnya mencari penerbang, sehingga perusahaan mempunyai kebijaksanaan dalam batasan take off landing yang tertuang dalam COM yang sudah di approved oleh DGCA dan tidak
menyimpang dari batasan yang ada dalam CASR.

Terima kasih
Basuki Eko

Problematika Riau Airlines ( 4 )

Kalau boleh saya meluruskan apa yang tertulis dalam CASR 121.481 Flight Time
Limitations and Rest Requirements: Two Pilot Crews

Disitu tertulis "Nine hours or less during any 24 consecutive hours without a
rest period during these Nine hours." kalau tidak salah nine hours berarti 9
jam dan bukan 9 kali, jadi memang beda antara 9 jam dengan 9 kali. 9 kali
dalam pengertian bahasa inggris adalah 9 times.

Memang sejak SASR itu diberlakukan untuk seluruh dunia penerbangan, apabila
ketentuan itu dilalui maka seorang penerbang mendapatkan hak untuk mendapat rest
hour for the next 24 hours atau istirahat 24 jam pada hari berikutnya dalam arti
tidak boleh terbang dalam kurun waktu tersebut.

Jadi selama aturan itu diterapkan kenapa harus membuat protes bahkan sampai
mengancam mogok, cuma kalau sampai terjadi 6 sampai 9 kali landing itu malah
harus juga dipertanyakan karena itu kebanyakan dan pasti melelahkan.

Seperti juga yang diberitakan belakangan ini dalam beberapa media Indonesia
tentang kecelakaan pesawat TNI AU ditulis dengan pesawat CASSA. Padahal pabrik
pesawat aslinya yang dibangun oleh Mr. Jose Ortiz de Echague pada tanggal 3
tahun 1923 belum pernah merubah namanya dan sampai sekarang masih tetap CASA
dengan satu S kepanjangan dari Construcciones Aeronáuticas, S.A. (CASA) S.A ini
kalau di kita disebut PT Perseroan Terbatas.

Yang perlu diperhatikan malah gaji Engineer atau release man di Indonesia masih
terlalu jauh bedanya dengan penerbang sampai beberapa kali bahkan puluhan. Tidak
seperti di Timteng atau Eropa atau bahkan Amrik yang perbedaanya paling tidak
lebih dari setengahnya. Maka beruntunglah perusahaan penerbangan di Indonesia
tidak mendapat tuntutan dari para engineer nya.

Jadi marilah kita meluruskan berita berita penerbangan dengan baik apalagi kita
orang yang memang berkecimpung dalam dunia penerbangan sehingga dapat memberikan
pencerahan kepada pihak pihak terkait.

Demikian mohon maaf kalau ada pihak yang kurang berkenan.

Salam hormat.

Bambang Heru P
Technical Advisor A320 and A340
Kuwait Airways Corporation
Flight Operations Department
Mob: 965-9568644
mailto: oz26165@kuwaitairways.com

Problematika Riau Airlines ( 3 )

Saya yakin, isu utama yg mendasari mogok para pilot Riau Air adalah
"crew fatique" yang tentunya akan sangat berpengaruh pada "fligt
safety", jika ini yg menjadi dasarnya, saya rasa sikap para pilot
tersebut patut kita dukung.

Sebagaimana ulasan dan kutipan dari Pak Chepy, saya menggaris bawahi
term "jam terbang" atau "flight hours" di mana batasan-batasan
maksimal flight hours memang dibuat oleh ICAO sebagai batasan minimal
yg tidak boleh dilanggar.

Namun di sini kita perlu juga untuk melihat Operations Manual
(O.M.)dari Riau Air itu sendiri, apakah batasan flight hours dalam O.M
. tersebut sudah memenuhi ketentuan-ketentuan ICAO beserta
Annex-annexnya dan Recommended Practice nya.

Sedikit saya sharing pengalaman, di airline tempat saya bekerja, dalam
O.M. nya terdapat batasan "maksimal daily flight hours" yang
tergantung dari "number of landing" dan "time of duty", selain itu ada
juga yang namanya "maksimal daily duty time"

Maksudnya, "maksimal daily flight hours dan maksimal daily duty time"
akan sangat bergantung pada "number of landing" dan jam berapa pilot
tersebut duty. Jika hanya 1 kali landing, misalkan maksimal flight
hours 7 jam, maka dgn 2 atau 3 kali landing, berarti maksimal flight
hours lebih sedikit, begitu juga maksimal duty time. Duty time juga
perlu dibatasi, karena selama transit, pilot tersebut dianggap
bekerja. Maksimal flight hours dan duty time juga berbeda antara
terbang siang dan terbang malam.

Apakah ada dalam O.M. Riau Air ketentuan seperti ini, jika ada, apakah
ketentuan tersebut sudah sesuai standard ICAO (tidak melanggar), jika
tidak ada, rasanya DGCA dalam hal ini Directorate Air Safety perlu
menjadi pihak yang dapat menengahi perselisihan tersebut. Di sini isu
yg dibawakan oleh crew Riau Air saya yakin adalah "crew fatique" yg
akan sangat berpengaruh pada "flight safety".

DGCA sangat berkewajiban menengahi hal ini. Menurut hemat saya, ini
bukan perselisihan hubungan industrial (bidang Depnakertrans), akan
tetapi pemahaman tentang "crew fatique" yang mungkin berbeda antara
Pilot dan Manajemen Riau Air, oleh karena itu DGCA (Directorate
General Civil Aviation) lah yang harus menjadi perantaranya. Jika
diserahkan ke Depnakertrans, saya yakin tidak akan mendapatkan titik temu.

Demikian dulu analisa saya, semoga bermanfaat.

M. Yusuf E.
Senior Officer
Flight Operations

A Welcome to Senior, Bp. Chepy R Nasution

Dear Airliners..

Selamat malam

Hari ini merupakan suatu kehormatan yang luar biasa bagi kita semua bahwa saat
ini 'Airliners Indonesia' di usianya yang masih sangat belia telah hadir salah seorang Pemerhati dan
Pengamat dunia Penerbangan Republik ini Bp. Chepy R Nasution, Terima kasih atas penjelasannya Pak... Lugas dan Akomodatif.

Kami ucapkan selamat datang di 'Airliners Indnesia' Pak di tunggu opini-opini segarnya juga Ide serta
Gagasan demi terciptanya kesinambungan dan kedinamisan Industri ini yang dapat
mengedukasi kita semua sehingga objektif dari 'Airliners Indonesia' selain sebagai wadah
silaturahmi antar profesi juga sebagai media pembelajaran dan transfer knowledge dari para Profesional dapat terwujud. Insya Allah..

Kembali kami ucapkan selamat datang Pak Chepy dan Terimakasih setulus-tulusnya
atas kesediaan Bapak untuk menjadi sahabat 'Airliners Indonesia'... Bravo !!!

Terima Kasih & Jabat Erat

'Airliners Indonesia' Where Professional Airliners Meet
Satu untuk semua untuk Indonesia dan untuk dunia Penerbangan yang kita cintai

*****************************************************************************
'Airliners Indonesia' komitmen untuk Meningkatkan citra dan Profesionalisme profesi serta menciptakan
kader profesional bidang Industri Jasa Transportasi Udara.
*****************************************************************************

Problematika Riau Airlines ( 2 )

Saya baca berita yang di detiknews.com dan tidak mengerti akan isi pemberitaan tersebut. Memang berdasarkan pengalaman dalam hal pemberitaan tentang penerbangan suka terjadi salah pengertian antara yang ditulis dengan yang diberitakan, hal ini terjadi biasanya teman teman dari media tidak atau kurang mengerti tentang term yang ada didunia penerbangan.

Mari kita lihat apa yang dituntut oleh Pilot RAL :

Kita memprotes kebijakan manajemen PT RAL yang memaksa pilot untuk menambah jam penerbangan dari 6 kali sehari menjadi 8 sampai 9 kali sehari. Padahal waktu 6 kali sehari ini merupakan batas maksimal untuk penerbangan kami. Kalau sampai 9 kali itu jelas melelahkan," kata Ketua Forum Komunikasi Penerbangan PT RAL, Capt. Rendra Darmakusuma dalam kepada wartawan, Selasa
(8/7/2008) di Hotel Aston, Jl Sudirman, Pekanbaru.

Tulisan diberita tersebut menyatakan keberatan para Pilot menambah "jam penerbangan" dari 6 kali sehari menjadi 8 sampai 9 kali sehari, dan dinyatakan bahwa 6 kali sehari merupakan batas maksimal untuk penerbangan para Pilot RAL. Tidak dijelaskan dalam berita tersebut berapa jam terbang
kah akibat penambahan jadwal terbang yang ditentukan Direksi tersebut karena biasanya ukuran dalam satu penerbangan ialah dengan jam terbang.

Disisi lain, berita tersebut juga menyatakan bahwa keputusan Direksi tersebut adalah berdasarkan rekomendasi dari Departemen Safety PT RAL dimana Departemen Safety ini biasanya diduduki oleh orang yang sangat mengetahui tentang safety penerbangan dan bertanggung jawab terhadap safety
diperusahaan tempat dia bekerja, kalau saya tidak salah Dept Safety ini dinamai CASO (Civil Aviation Safety Officer) (CMIIW) dan berada langsung dibawah DIRUT/President.

Saya kira RAL dalam melakukan operasi penerbangannya memiliki AOC (Air Operator Certficate) dengan mngikuti ketentuan safety seperti yang ada di CASR (Civil Aviation Safety Regulation) Part.121, pada Sub Part 481 sampai dengan 485 CASR 121 terdapat adanya ketentuan batas maksimum seorang pilot
melakukan tugasnya, agar lebih jelasnya maka saya paste ketentuan tersebut sebagai berikut :


121.481 Flight Time Limitations and Rest Requirements: Two Pilot Crews

(a) An air carrier may schedule a pilot to fly in an airplane that has a crew of two pilots for nine hours or less during any 24 consecutive hours without a rest period during these nine hours.

(b) An air carrier may not schedule a flight crewmember and a flight crewmember may not accept an assignment for flight time in air transportation or in other commercial flying if that crewmember's total flight time in all commercial flying will exceed:
(1) 1,050 hours in any calendar year;
(2) 110 hours in any calendar month;
(3) 30 hours in any 7 consecutive days;
(c) An air carrier may not schedule a flight crewmember and a flight crewmember may not accept an assignment for flight time during the 24 consecutive hours preceding the scheduled completion of any flight segment without a scheduled rest period during that 24 hours of at least 9 consecutive hours of rest for 9 hours or less of scheduled flight time.

121.483 Flight Time Limitations: Two Pilots and One Additional Flight Crewmember

(a) No flag or supplemental air carrier may schedule a pilot to fly, in an airplane that has a crew of two pilots and at least one additional flight crewmember, for a total of more than 12 hours during any 24 consecutive hours.

(b) If a pilot has flown 20 or more hours during any 48 consecutive hours or 24 or more hours during any 72 consecutive hours, he must be given at least 18 hours of rest before being assigned to any duty with the air carrier. In any case, he must be given at least 24 consecutive hours of rest
during any seven consecutive days.

(c) No pilot may fly as a flight crewmember more than:
(1) 120 hours during any 30 consecutive days;
(2) 300 hours during any 90 consecutive days; or
(3) 1
050 hours during any 12 calendar month period.


121.485 Flight Time limitations: Three or more Pilots and an Additional Flight Crew member

(a) Each air carrier shall schedule its flight hours to provide adequate rest periods on the ground for each pilot who is away from his base and who is a pilot on an airplane that has a crew of three or more pilots and an additional flight crewmember. It shall also provide adequate sleeping quarters on the airplane whenever a pilot is scheduled to fly more than 12 hours during any 24 consecutive hours.

(b) Each air carrier shall give each pilot, upon return to his base from any flight or series of flights, a rest period that is at least twice the total number of hours he flew since the last rest period at his base. During the rest period required by this paragraph, the air carrier may not require him to perform any duty for it. If the required rest period is more than seven days, that part of the rest period in excess of seven days may be given at any time before the pilot is again scheduled for flight duty on any route.

(c) No pilot may fly as a flight crew member more than:
(1) 120 hours during any 30 consecutive days;
(2) 350 hours during any 90 consecutive days; or
(3) 1,050 hours during any 12 calendar month period.

(d) If half the crewmembers flight time during any 90 consecutive days is as part of a crew composed of two pilots and one additional crewmember then that crewmember is limited to 300 hours in any 90 consecutive days.

Dari ketentuan aturan seperti yang saya sampaikan diatas, saya berharap kita dapat menilai sendiri benar atau tidaknya Direksi RAL meminta ditambahnya jadwal penerbangan RAL dan benar atau tidaknya para Pilot mengajukan keberatannya.

Semoga ini bermanfaat untuk teman teman.

Wasallam
Chepy R.Nasution

Problematika Riau Airlines ( 1 )

Di dunia penerbangan ada batas maksimal untuk seorang pilot terbang dalam sehari bukan dari berapa kali T/O or Landing. Nah aturan itu udah berlaku International. Jadi kalau para pilot RAL memakai alasan berdasarkan frekwensi penerbangan pendapat saya sangat tidak relevan.

Kalaupun mereka hengkang kalau gak salah masih banyak pilot yang mau menggantikan mereka. Tapi, kalau mereka terbang di rute perintis itu yang sedikit beda. Karena biasanya rute perintis butuh familiariasasi dikarenakan terbangnya harus visual selalu.

Salam
Dian

From: IDJKT - Garuda Nusantara
To: airliners_indonesia@yahoogroups.com
Sent: Thursday, July 10, 2008 1:30 AM
Subject: [Airliners Indonesia] Riau Air Mogok

Seluruh pilot Riau Airlines mengancam akan mogok karena manajemen karena dipaksa menambah jumlah terbang dari 6 kali menjadi 9 kali dalam sehari. Berhubung saya tidak paham aturan yang berlaku dalam dunia penerbangan mengenai batas maksimal TO/Landing bagi pilot dalam sehari mohon
sekalian temen2 bisa menjelaskan.

link berita

http://www.detiknews.com/read/2008/07/08/193827/969008/10/demi-keselamatan-penum\
pang-pilot-riau-air-lines-ancam-mogok


salam

Larangan Terbang ke UE, 'No Space for Political Negotiation'


Print E-mail
Friday, 01 August 2008

Oleh:Agus Pambagio - detikNews

garudaJakarta - Pemberitaan di beberapa media Indonesian paska Air Safety Meeting di Brussels Belgia yang terkait dengan upaya pencabutan larangan terbang Indonesia oleh Uni Eropa (UE) selalu hiruk pikuk dengan pernyataan Direktur Jenderal Perhubungan Udara (DJU) dan Menteri Perhubungan yang seolah-olah Indonesia sudah benar dan langkah-langkah yang diambil Uni Eropa (UE) kurang benar.

Saya sebagai seorang aktivis kebijakan publik dan perlindungan konsumen yang oleh DJU dianggap sebagai orang awam yang tidak paham ilmu penerbangan dan "konconya" UE menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh DJU. Memang sejak Nopember 2007 saya yang secara pribadi mengikuti permasalahan ini dan sempat datang ke kantor UE di Brussels merasa ada sesuatu yang coba disembunyikan oleh DJU, tetapi entah apa.

Pertanyaan saya, mengapa harus sampai mengorbankan nama baik bangsa ini?

Pemerintah melalui DJU selalu mengatakan bahwa UE melakukan tindakan pelarangan terbang itu tidak sesuai dengan standar yang dibuat oleh International Civil Aviation Organization (ICAO), karena ICAO tidak pernah sekalipun melakukan pelarangan terbang. Tidak ada otoritas penerbangan yang pernah melarang terbang selain UE. Padahal dengan diturunkannya rating penerbangan sipil Indonesia oleh Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat menunjukkan bahwa penerbangan Indonesia dilarang terbang ke wilayah Amerika Serikat.

Dilakukannya persyaratan yang ekstra ketat oleh Civil Aviation Safety Authority Australia pada pesawat Garuda Indonesia yang terbang ke wilayah Australia sebenarnya juga merupakan bentuk pelarangan terbang, hanya saja lebih halus berhubung Australia tidak enak hati dengan sahabat dekatnya, Indonesia. Lalu apa maunya DJU ini ?

Yang lebih aneh lagi, sejak awal DJU mengatakan bahwa langkah pelarangan terbang ini berbau politik. Maka dikaitkanlah masalah pembelian pesawat Airbus, kasus kematian sahabat saya Alm. Munir, dan sebagainya. Sehingga Presiden SBY sampai harus bicara dengan rekannya Presiden UE (Barosso) saat berkunjung ke Jakarta agar dapat membantu Indonesia segera dibebaskan dari larangan memasuki wilayah UE. Kasihan Presiden SBY yang sangat saya hormati mendapatkan bisikan yang salah dan menyesatkan dari orang-orang terdekatnya.

Persoalan mencuatnya isu politis atas pelarangan terbang oleh UE diperparah dengan langkah Menteri Luar Negeri RI, Hassan Wirajuda memanggil beberapa Duta Besar Negara UE pada tanggal 2 Juli 2008 di Jakarta untuk mendengarkan "wejangan" Pemerintah RI terkait larangan terbang yang tak kunjung dibebaskan oleh UE. Wejangan ini telah membuat para duta besar bingung dan tidak mengerti apa maksudnya. Belum lagi pernyataan Menlu pada ASEAN Regional Forum di Singapore minggu lalu yang menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia kecewa dan Menlu menyatakan bahwa masalah ini bukan masalah teknis semata tetapi sudah menjadi masalah politis.

Politis lagi politis lagi. Pernyataan ini menurut saya sangat menyesatkan dan membohongi publik, tetapi pasti sekali lagi para petinggi otoritas penerbangan akan mengatakan : "tahu apa si Agus Pambagio yang hanya seorang pengamat terkait isu politik ?". Menurut saya jika semua temuan pada USOAP 2000, 2004 dan 2007 (ada 121 temuan dan 69 diantaranya soal keamanan penerbangan yang menjadi dasar UE melakukan larangan terbang) sudah diselesaikan oleh DJU dan ICAO menyetujui perbaikan tersebut, maka jika Directorat General Transport dan Energi (DG TREN) tidak kunjung mencabut larangan terbang, barulah kita bisa bilang pelarangan terbang tersebut mengandung unsur politis. Saat itulah Menlu harus mulai berkoar dan bekerja. Tidak sekarang !

Yang membuat saya sebagai bagian dari bangsa ini bingung terhadap ulah DJU yang selalu berteriak bahwa UE tidak kooperatif dan mengada-ada sehingga larangan terbang tidak kunjung dicabut. Lha tugasnya belum tuntas kok minta dicabut. Kalau memang tidak mau mengikuti persyaratan pemilik wilayah (UE), ya tidak usah dibuat corrective action plan (CAP). Artinya tidak usah terbang ke UE. Kan sederhana ! Saya yakin UE juga tidak masalah.

Ibaratnya kalau tetangga sebelah rumah minta kita mengetuk pintu dan memberi salam ketika kita ingin mampir kerumahnya, ya harus dilakukan. Kalau tidak mau ya jangan berkunjung dan jangan bilang ke tetangga lain bahwa tetangga sebelah itu aneh, sok tahu dan sebagainya. UE tetangga Indonesia, tetapi kalau Indonesia tidak mau mengikuti persyaratan yang diminta, ya selain tidak usah mampir juga jangan "ngomel" lah. Gitu aja kok repot.

Kronologis Pelarangan Terbang oleh UE

Berdasarkan pemantauan saya sejak Nopember 2007 baik di Brussels maupun di Jakarta serta membaca beberapa dokumen yang saya peroleh, kasus pelarangan terbang oleh UE merupakan kasus teknis murni sehingga tidak ada ruang untuk lobi politik atau No Space for Political Negotiation, seperti yang pernah disampaikan Mr. Jose Manuel Barroso kepada Presiden SBY dan juga Wakil Tetap European Commission Mr. Pierre Philippe pada Press Conference di Kantor Perwakilan UE di Jakarta minggu lalu. Untuk memastikan bahwa kasus pelarangan terbang oleh UE adalah masalah teknis, berikut saya sampaikan kronologis mengapa Indonesia dimasukkan dalam Community List UE sesuai dengan aturan European Commission No. 2111/2005 :

1. 6 – 15 February 2007
ICAO melakukan safety oversight audit terakhir yang dikenal sebagai Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) dan muncul banyak temuan-temuan yang harus ditindak lanjuti oleh regulator (DJU), maskapai penerbangan sipil dan bandara.

2. Maret 2007
DJU mengeluarkan safety rating yang menghebohkan dimana tidak ada satupun maskapai penerbangan sipil Indonesia yang masuk kategori I

3. 22 – 23 Maret 2007
Pada sebuah pertemuan dengan beberapa pejabat DJU di Yogyakarta, UE telah menyampaikan keinginan mereka untuk berdialog terkait dengan keselamatan penerbangan sipil Indonesia, terutama dengan hasil USOAP ICAO terakhir Februari 2007, Safety Rating yang dikeluarkan oleh DJU dan penurunan rating oleh FAA Amerika Serikat.

4. 12 April 2007
DG TREN di European Commission mengirimkan surat resmi pertama kali kepada Menhub Hatta Rajasa untuk bertemu dan mendiskusikan permasalahan kecelakaan pesawat dan hasil audit internal DJU. Namun tidak ada jawaban. Artinya DJU lalai.

5. 16 April 2007
FAA (Federal Aviation Administration) Amerika Serikat menurunkan peringkat atau rating penerbangan sipil Indonesia dari katagori I ke kategori II. Artinya FAA melarang warganya naik maskapai penerbangan sipil Indonesia atau maskapai penerbangan sipil Indonesia dilarang terbang di wilayah Amerika.

6. 24 – 27 April 2007
Pada pertemuan negara-negara ASEAN di Palembang, delegasi UE kembali menanyakan perihal keinginan UE untuk dapat duduk bersama dengan DJU dan membahas permasalahan keselamatan penerbangan sipil Indonesia.

7. 4 Mei 2007
Dalam pertemuan antara ASEAN dengan Directorate General for External Relations EU, pihak European Commission kembali meminta waktu untuk dapat duduk bersama dan membahas permasalahan keselamatan penerbangan sipil Indonesia dengan DJU. Namun sampai pertemuan selesai, DJU belum menjadwalkan.

8. 16 Mei 2007
DG TREN kembali mengirimkan surat kepada Menteri Perhubungan (yang juga disampaikan ulang oleh Kantor Perwakilan Delegasi UE di Jakarta pada tanggal 21 Mei 2007). Surat tersebut memberitahukan bahwa UE akan segera meng "update" community list dan untuk itu UE kembali meminta waktu DJU untuk dapat segera membahas permasalahan keselamatan penerbangan sipil Indonesia.

Dalam surat tersebut disampaikan juga bahwa penjelasan DJU menjadi sangat penting karena dapat dijadikan salah satu pertimbangan oleh UE dalam memutuskan apakah Indonesia perlu dimasukkan dalam Community List atau tidak ?

Untuk itu UE memberikan batas waktu 10 hari kerja kepada DJU untuk segera memasukkan informasi atau data teknis dari semua maskapai penerbangan RI yang diregistrasi oleh DJU paling lambat tanggal 26 Mei 2007.

9. 30 Mei 2007

DJU menjawab surat DG TREN tertanggal 16 Mei 2007 pada tanggal 30 Mei 2007 atau terlambat 4 hari dari batas waktu yang diberikan oleh DG TREN . Surat DJU berisi permohonan waktu kepada DG TREN supaya DJU dapat menjelaskan permintaan mereka secara lisan saja (tidak tertulis sesuai permintaan DG TREN melalui surat 21 Mei 2007) pada Air Safety Meeting yang akan dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 2007 di Brussels. Namun DJU tetap tidak memasukan dokumen yang diminta oleh UE lebih dari 1 bulan yang lalu

10. 15 Juni 2007
Merespon surat DJU, DG TREN mencoba mengatur pertemuan tanggal 15 Juni 2007 dengan DJU. Namun karena tidak ada konfirmasi dari DJU, maka pertemuan batal.

11. 22 Juni 2007

Akhirnya terjadi pertemuan antara DJU dengan DG TREN. Namun DJU belum juga menjawab pertanyaan DG TREN, baik secara tertulis maupun lisan, yang diajukan melalui surat tertanggal 16 Mei 2007. Pada pertemuan kali ini DJU hanya memberikan beberapa dokumen, seperti: (1) Preliminary ICAO Audit Report, (2) Ringkasan Penilaian (assessment) Jadwal Penerbangan yang dibuat bulan Juni 2007 dan Penilaian Maskapai Carter yang dibuat pada bulan Maret 2007, (3) Presentasi Singkat (2 halaman) Strategi Rencana Aksi Untuk Penerbangan (Strategic Action Plan for Aviation). Meskipun semua dokumen tersebut TIDAK LENGKAP dan baru diserahkan oleh DJU setelah lewat deadline, tapi DG TREN tetap menerimanya.

12. 25 Juni 2007
The European Commission Air Safety Committee mengadakan pertemuan untuk menyusun Community List sesuai aturan European Commission No. 2111/2005. DJU diundang untuk hadir bersama para operator penerbangan sipil Indonesia, namun delegasi Indonesia yang saat itu sedang berada di Eropa menolak hadir (akan tetapi menurut sumber di DJU, pihak DG TREN tidak mempunyai waktu lagi atau slot untuk delegasi Indonesia) karena harus pulang ke Jakarta. Padahal pada pertemuan itu, UE akan memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada Indonesia untuk memberikan sanggahan atau presentasi tentang keselamatan penerbangan sipil Indonesia.

13. 28 Juni 2007
Akhirnya dengan keputusan bulat pada Air Safety Meeting dan sesuai dengan peraturan No. 2111/2005 dari European Commission diputuskan bahwa penerbangan sipil Indonesia, baik berjadwal maupun carter, DILARANG terbang diatas wilayah udara UE atau dimasukkan ke dalam Community List

14. 29 Juni 2007
DJU menyampaikan beberapa informasi pada DG TREN bahwa Pemerintah Indonesia telah memasukan Corrective Action Plan (CAP) pada tanggal 22 Juni 2007 bersama-sama dokumen lain yang diminta. Namun UE menganggap bahwa dokumen tersebut bukan CAP karena tidak sesuai dengan format standar UE dan tidak menjawab temuan ICAO dalam USOAP.

15. 4 Juli 2007
DG TREN mengirimkan surat pemberitahuan resmi kepada DJU dan para operator penerbangan sipil Indonesia bahwa Indonesia telah dimasukan kedalam Community List. Sebenarnya Komisi Eropa mulai memantau situasi keselamatan penerbangan sipil Indonesia sejak awal 2007 sampai hari ini, setelah terjadi 62 kecelakaan dan kejadian serius selama tiga tahun terakhir yang menelan korban lebih dari 200 jiwa. Termasuk 2 kali insiden (kejadian serius) pesawat Garuda Indonesia di Perth, Australia pada tanggal 9 dan 28 Mei 2008 lalu yang belum dijawab tuntas oleh DJU saat Air Safety Meeting 9 – 12 Juli 2008 kemarin.

Berbagai usaha perbaikan memang telah dilakukan oleh DJU namun banyak hal belum sesuai dengan temuan USOAP 2000, 2004 dan 2007, khususnya dalam hal pengawasan keselamatan (oversight) maskapai penerbangan Indonesia.

Dokumen yang selama ini diserahkan ke DG TREN UE menunjukkan bahwa pelaksanaan inspeksi penerbangan oleh DJU terhadap program fast track 4 perusahaan (Garuda Indonesia, Mandala Airlines, Premier Air dan Airfast) baru saja dimulai dan belum sesuai rencana. Juga tidak ada informasi rinci mengenai pengawasan terhadap maskapai penerbangan lainnya (di luar 4 perusahaan) dalam hal perawatan dan operasional penerbangan. Selain itu ICAO juga belum menyetujui CAP atas USOAP, sehingga UE belum bisa mengeluarkan Indonesia dari community list.

Alasan Pemerintah

DJU sebagai otoritas penerbangan sipil Indonesia merupakan organ pemerintah yang paling bertanggungjawab atas pengaturan bisnis penerbangan sipil Indonesia. Industri penerbangan akan berjalan baik, konsumen terlayani dengan baik kalau regulatornya cerdas, tegas dan tidak linglung. Namun justru DJU yang selalu mengelak dan terkesan membohongi publik dengan mengatakan bahwa Indonesia sudah melakukan hal-hal yang benar dan UE melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan ICAO.

Sekembalinya dari Brussels, sudah saya sampaikan bahwa Indonesia harus membuat CAP yang benar jika ingin segera dibebaskan, tapi DJU mengatakan bahwa persyaratan UE berubah-ubah. Awalnya dilarang terbang ke UE karena masalah surat yang tidak dijawab kok kemudian berubah ke CAP.

Anehnya saat ini pihak DJU kembali berkelit dan terkesan melempar kesalahan lagi atau mencari kambing hitam baru, yaitu DPR (Panja RUU Penerbangan di Komisi V). DJU mengatakan salah satu alasan Indonesia belum dibebaskan karena DPR belum menyelesaikan RUU Penerbangan. Pernyataan tersebut disampaikan oleh jajaran DJU di beberapa media ketika gagal di Air Safety Meeting yang berlangsung dari tanggal 9–12 Juli 2008 lalu. Mungkin DJU akan mencari kambing hitam baru jika pada Air Safety Meeting bulan Nopember 2008 mendatang Indonesia masih ada di community list. Mari kita tunggu bersama episode berikutnya.

Pada dasarnya persyaratan UE tidak pernah berubah (lihat tabel diatas). Sejak awal yang diminta UE adalah CAP berdasarkan USOAP ICAO, bukan berdasarkan keputusan lain. Jadi di sini bisa kita ambil kesimpulan bahwa masalah pelarangan terbang ini masalah teknis bukan politis. Dan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Harian Kompas tanggal 26 Juli 2008 halaman 8 sangat melegakan dan menyejukan: "perpanjangan larangan terbang ke Eropa harus dilihat secara positif, yakni adanya upaya untuk memperbaiki sarana dan prasarana keamanan penerbangan di masa mendatang sehingga keselamatan penerbangan secara nasional menjadi standar pelayanan utama". Jadi jelas "NO SPACE FOR NEGOTIATION".

Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)