Rabu, 20 Agustus 2008

Larangan Terbang ke UE, 'No Space for Political Negotiation'


Print E-mail
Friday, 01 August 2008

Oleh:Agus Pambagio - detikNews

garudaJakarta - Pemberitaan di beberapa media Indonesian paska Air Safety Meeting di Brussels Belgia yang terkait dengan upaya pencabutan larangan terbang Indonesia oleh Uni Eropa (UE) selalu hiruk pikuk dengan pernyataan Direktur Jenderal Perhubungan Udara (DJU) dan Menteri Perhubungan yang seolah-olah Indonesia sudah benar dan langkah-langkah yang diambil Uni Eropa (UE) kurang benar.

Saya sebagai seorang aktivis kebijakan publik dan perlindungan konsumen yang oleh DJU dianggap sebagai orang awam yang tidak paham ilmu penerbangan dan "konconya" UE menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh DJU. Memang sejak Nopember 2007 saya yang secara pribadi mengikuti permasalahan ini dan sempat datang ke kantor UE di Brussels merasa ada sesuatu yang coba disembunyikan oleh DJU, tetapi entah apa.

Pertanyaan saya, mengapa harus sampai mengorbankan nama baik bangsa ini?

Pemerintah melalui DJU selalu mengatakan bahwa UE melakukan tindakan pelarangan terbang itu tidak sesuai dengan standar yang dibuat oleh International Civil Aviation Organization (ICAO), karena ICAO tidak pernah sekalipun melakukan pelarangan terbang. Tidak ada otoritas penerbangan yang pernah melarang terbang selain UE. Padahal dengan diturunkannya rating penerbangan sipil Indonesia oleh Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat menunjukkan bahwa penerbangan Indonesia dilarang terbang ke wilayah Amerika Serikat.

Dilakukannya persyaratan yang ekstra ketat oleh Civil Aviation Safety Authority Australia pada pesawat Garuda Indonesia yang terbang ke wilayah Australia sebenarnya juga merupakan bentuk pelarangan terbang, hanya saja lebih halus berhubung Australia tidak enak hati dengan sahabat dekatnya, Indonesia. Lalu apa maunya DJU ini ?

Yang lebih aneh lagi, sejak awal DJU mengatakan bahwa langkah pelarangan terbang ini berbau politik. Maka dikaitkanlah masalah pembelian pesawat Airbus, kasus kematian sahabat saya Alm. Munir, dan sebagainya. Sehingga Presiden SBY sampai harus bicara dengan rekannya Presiden UE (Barosso) saat berkunjung ke Jakarta agar dapat membantu Indonesia segera dibebaskan dari larangan memasuki wilayah UE. Kasihan Presiden SBY yang sangat saya hormati mendapatkan bisikan yang salah dan menyesatkan dari orang-orang terdekatnya.

Persoalan mencuatnya isu politis atas pelarangan terbang oleh UE diperparah dengan langkah Menteri Luar Negeri RI, Hassan Wirajuda memanggil beberapa Duta Besar Negara UE pada tanggal 2 Juli 2008 di Jakarta untuk mendengarkan "wejangan" Pemerintah RI terkait larangan terbang yang tak kunjung dibebaskan oleh UE. Wejangan ini telah membuat para duta besar bingung dan tidak mengerti apa maksudnya. Belum lagi pernyataan Menlu pada ASEAN Regional Forum di Singapore minggu lalu yang menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia kecewa dan Menlu menyatakan bahwa masalah ini bukan masalah teknis semata tetapi sudah menjadi masalah politis.

Politis lagi politis lagi. Pernyataan ini menurut saya sangat menyesatkan dan membohongi publik, tetapi pasti sekali lagi para petinggi otoritas penerbangan akan mengatakan : "tahu apa si Agus Pambagio yang hanya seorang pengamat terkait isu politik ?". Menurut saya jika semua temuan pada USOAP 2000, 2004 dan 2007 (ada 121 temuan dan 69 diantaranya soal keamanan penerbangan yang menjadi dasar UE melakukan larangan terbang) sudah diselesaikan oleh DJU dan ICAO menyetujui perbaikan tersebut, maka jika Directorat General Transport dan Energi (DG TREN) tidak kunjung mencabut larangan terbang, barulah kita bisa bilang pelarangan terbang tersebut mengandung unsur politis. Saat itulah Menlu harus mulai berkoar dan bekerja. Tidak sekarang !

Yang membuat saya sebagai bagian dari bangsa ini bingung terhadap ulah DJU yang selalu berteriak bahwa UE tidak kooperatif dan mengada-ada sehingga larangan terbang tidak kunjung dicabut. Lha tugasnya belum tuntas kok minta dicabut. Kalau memang tidak mau mengikuti persyaratan pemilik wilayah (UE), ya tidak usah dibuat corrective action plan (CAP). Artinya tidak usah terbang ke UE. Kan sederhana ! Saya yakin UE juga tidak masalah.

Ibaratnya kalau tetangga sebelah rumah minta kita mengetuk pintu dan memberi salam ketika kita ingin mampir kerumahnya, ya harus dilakukan. Kalau tidak mau ya jangan berkunjung dan jangan bilang ke tetangga lain bahwa tetangga sebelah itu aneh, sok tahu dan sebagainya. UE tetangga Indonesia, tetapi kalau Indonesia tidak mau mengikuti persyaratan yang diminta, ya selain tidak usah mampir juga jangan "ngomel" lah. Gitu aja kok repot.

Kronologis Pelarangan Terbang oleh UE

Berdasarkan pemantauan saya sejak Nopember 2007 baik di Brussels maupun di Jakarta serta membaca beberapa dokumen yang saya peroleh, kasus pelarangan terbang oleh UE merupakan kasus teknis murni sehingga tidak ada ruang untuk lobi politik atau No Space for Political Negotiation, seperti yang pernah disampaikan Mr. Jose Manuel Barroso kepada Presiden SBY dan juga Wakil Tetap European Commission Mr. Pierre Philippe pada Press Conference di Kantor Perwakilan UE di Jakarta minggu lalu. Untuk memastikan bahwa kasus pelarangan terbang oleh UE adalah masalah teknis, berikut saya sampaikan kronologis mengapa Indonesia dimasukkan dalam Community List UE sesuai dengan aturan European Commission No. 2111/2005 :

1. 6 – 15 February 2007
ICAO melakukan safety oversight audit terakhir yang dikenal sebagai Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) dan muncul banyak temuan-temuan yang harus ditindak lanjuti oleh regulator (DJU), maskapai penerbangan sipil dan bandara.

2. Maret 2007
DJU mengeluarkan safety rating yang menghebohkan dimana tidak ada satupun maskapai penerbangan sipil Indonesia yang masuk kategori I

3. 22 – 23 Maret 2007
Pada sebuah pertemuan dengan beberapa pejabat DJU di Yogyakarta, UE telah menyampaikan keinginan mereka untuk berdialog terkait dengan keselamatan penerbangan sipil Indonesia, terutama dengan hasil USOAP ICAO terakhir Februari 2007, Safety Rating yang dikeluarkan oleh DJU dan penurunan rating oleh FAA Amerika Serikat.

4. 12 April 2007
DG TREN di European Commission mengirimkan surat resmi pertama kali kepada Menhub Hatta Rajasa untuk bertemu dan mendiskusikan permasalahan kecelakaan pesawat dan hasil audit internal DJU. Namun tidak ada jawaban. Artinya DJU lalai.

5. 16 April 2007
FAA (Federal Aviation Administration) Amerika Serikat menurunkan peringkat atau rating penerbangan sipil Indonesia dari katagori I ke kategori II. Artinya FAA melarang warganya naik maskapai penerbangan sipil Indonesia atau maskapai penerbangan sipil Indonesia dilarang terbang di wilayah Amerika.

6. 24 – 27 April 2007
Pada pertemuan negara-negara ASEAN di Palembang, delegasi UE kembali menanyakan perihal keinginan UE untuk dapat duduk bersama dengan DJU dan membahas permasalahan keselamatan penerbangan sipil Indonesia.

7. 4 Mei 2007
Dalam pertemuan antara ASEAN dengan Directorate General for External Relations EU, pihak European Commission kembali meminta waktu untuk dapat duduk bersama dan membahas permasalahan keselamatan penerbangan sipil Indonesia dengan DJU. Namun sampai pertemuan selesai, DJU belum menjadwalkan.

8. 16 Mei 2007
DG TREN kembali mengirimkan surat kepada Menteri Perhubungan (yang juga disampaikan ulang oleh Kantor Perwakilan Delegasi UE di Jakarta pada tanggal 21 Mei 2007). Surat tersebut memberitahukan bahwa UE akan segera meng "update" community list dan untuk itu UE kembali meminta waktu DJU untuk dapat segera membahas permasalahan keselamatan penerbangan sipil Indonesia.

Dalam surat tersebut disampaikan juga bahwa penjelasan DJU menjadi sangat penting karena dapat dijadikan salah satu pertimbangan oleh UE dalam memutuskan apakah Indonesia perlu dimasukkan dalam Community List atau tidak ?

Untuk itu UE memberikan batas waktu 10 hari kerja kepada DJU untuk segera memasukkan informasi atau data teknis dari semua maskapai penerbangan RI yang diregistrasi oleh DJU paling lambat tanggal 26 Mei 2007.

9. 30 Mei 2007

DJU menjawab surat DG TREN tertanggal 16 Mei 2007 pada tanggal 30 Mei 2007 atau terlambat 4 hari dari batas waktu yang diberikan oleh DG TREN . Surat DJU berisi permohonan waktu kepada DG TREN supaya DJU dapat menjelaskan permintaan mereka secara lisan saja (tidak tertulis sesuai permintaan DG TREN melalui surat 21 Mei 2007) pada Air Safety Meeting yang akan dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 2007 di Brussels. Namun DJU tetap tidak memasukan dokumen yang diminta oleh UE lebih dari 1 bulan yang lalu

10. 15 Juni 2007
Merespon surat DJU, DG TREN mencoba mengatur pertemuan tanggal 15 Juni 2007 dengan DJU. Namun karena tidak ada konfirmasi dari DJU, maka pertemuan batal.

11. 22 Juni 2007

Akhirnya terjadi pertemuan antara DJU dengan DG TREN. Namun DJU belum juga menjawab pertanyaan DG TREN, baik secara tertulis maupun lisan, yang diajukan melalui surat tertanggal 16 Mei 2007. Pada pertemuan kali ini DJU hanya memberikan beberapa dokumen, seperti: (1) Preliminary ICAO Audit Report, (2) Ringkasan Penilaian (assessment) Jadwal Penerbangan yang dibuat bulan Juni 2007 dan Penilaian Maskapai Carter yang dibuat pada bulan Maret 2007, (3) Presentasi Singkat (2 halaman) Strategi Rencana Aksi Untuk Penerbangan (Strategic Action Plan for Aviation). Meskipun semua dokumen tersebut TIDAK LENGKAP dan baru diserahkan oleh DJU setelah lewat deadline, tapi DG TREN tetap menerimanya.

12. 25 Juni 2007
The European Commission Air Safety Committee mengadakan pertemuan untuk menyusun Community List sesuai aturan European Commission No. 2111/2005. DJU diundang untuk hadir bersama para operator penerbangan sipil Indonesia, namun delegasi Indonesia yang saat itu sedang berada di Eropa menolak hadir (akan tetapi menurut sumber di DJU, pihak DG TREN tidak mempunyai waktu lagi atau slot untuk delegasi Indonesia) karena harus pulang ke Jakarta. Padahal pada pertemuan itu, UE akan memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada Indonesia untuk memberikan sanggahan atau presentasi tentang keselamatan penerbangan sipil Indonesia.

13. 28 Juni 2007
Akhirnya dengan keputusan bulat pada Air Safety Meeting dan sesuai dengan peraturan No. 2111/2005 dari European Commission diputuskan bahwa penerbangan sipil Indonesia, baik berjadwal maupun carter, DILARANG terbang diatas wilayah udara UE atau dimasukkan ke dalam Community List

14. 29 Juni 2007
DJU menyampaikan beberapa informasi pada DG TREN bahwa Pemerintah Indonesia telah memasukan Corrective Action Plan (CAP) pada tanggal 22 Juni 2007 bersama-sama dokumen lain yang diminta. Namun UE menganggap bahwa dokumen tersebut bukan CAP karena tidak sesuai dengan format standar UE dan tidak menjawab temuan ICAO dalam USOAP.

15. 4 Juli 2007
DG TREN mengirimkan surat pemberitahuan resmi kepada DJU dan para operator penerbangan sipil Indonesia bahwa Indonesia telah dimasukan kedalam Community List. Sebenarnya Komisi Eropa mulai memantau situasi keselamatan penerbangan sipil Indonesia sejak awal 2007 sampai hari ini, setelah terjadi 62 kecelakaan dan kejadian serius selama tiga tahun terakhir yang menelan korban lebih dari 200 jiwa. Termasuk 2 kali insiden (kejadian serius) pesawat Garuda Indonesia di Perth, Australia pada tanggal 9 dan 28 Mei 2008 lalu yang belum dijawab tuntas oleh DJU saat Air Safety Meeting 9 – 12 Juli 2008 kemarin.

Berbagai usaha perbaikan memang telah dilakukan oleh DJU namun banyak hal belum sesuai dengan temuan USOAP 2000, 2004 dan 2007, khususnya dalam hal pengawasan keselamatan (oversight) maskapai penerbangan Indonesia.

Dokumen yang selama ini diserahkan ke DG TREN UE menunjukkan bahwa pelaksanaan inspeksi penerbangan oleh DJU terhadap program fast track 4 perusahaan (Garuda Indonesia, Mandala Airlines, Premier Air dan Airfast) baru saja dimulai dan belum sesuai rencana. Juga tidak ada informasi rinci mengenai pengawasan terhadap maskapai penerbangan lainnya (di luar 4 perusahaan) dalam hal perawatan dan operasional penerbangan. Selain itu ICAO juga belum menyetujui CAP atas USOAP, sehingga UE belum bisa mengeluarkan Indonesia dari community list.

Alasan Pemerintah

DJU sebagai otoritas penerbangan sipil Indonesia merupakan organ pemerintah yang paling bertanggungjawab atas pengaturan bisnis penerbangan sipil Indonesia. Industri penerbangan akan berjalan baik, konsumen terlayani dengan baik kalau regulatornya cerdas, tegas dan tidak linglung. Namun justru DJU yang selalu mengelak dan terkesan membohongi publik dengan mengatakan bahwa Indonesia sudah melakukan hal-hal yang benar dan UE melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan ICAO.

Sekembalinya dari Brussels, sudah saya sampaikan bahwa Indonesia harus membuat CAP yang benar jika ingin segera dibebaskan, tapi DJU mengatakan bahwa persyaratan UE berubah-ubah. Awalnya dilarang terbang ke UE karena masalah surat yang tidak dijawab kok kemudian berubah ke CAP.

Anehnya saat ini pihak DJU kembali berkelit dan terkesan melempar kesalahan lagi atau mencari kambing hitam baru, yaitu DPR (Panja RUU Penerbangan di Komisi V). DJU mengatakan salah satu alasan Indonesia belum dibebaskan karena DPR belum menyelesaikan RUU Penerbangan. Pernyataan tersebut disampaikan oleh jajaran DJU di beberapa media ketika gagal di Air Safety Meeting yang berlangsung dari tanggal 9–12 Juli 2008 lalu. Mungkin DJU akan mencari kambing hitam baru jika pada Air Safety Meeting bulan Nopember 2008 mendatang Indonesia masih ada di community list. Mari kita tunggu bersama episode berikutnya.

Pada dasarnya persyaratan UE tidak pernah berubah (lihat tabel diatas). Sejak awal yang diminta UE adalah CAP berdasarkan USOAP ICAO, bukan berdasarkan keputusan lain. Jadi di sini bisa kita ambil kesimpulan bahwa masalah pelarangan terbang ini masalah teknis bukan politis. Dan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Harian Kompas tanggal 26 Juli 2008 halaman 8 sangat melegakan dan menyejukan: "perpanjangan larangan terbang ke Eropa harus dilihat secara positif, yakni adanya upaya untuk memperbaiki sarana dan prasarana keamanan penerbangan di masa mendatang sehingga keselamatan penerbangan secara nasional menjadi standar pelayanan utama". Jadi jelas "NO SPACE FOR NEGOTIATION".

Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)

Tidak ada komentar: