Rabu, 20 Agustus 2008

Safety Rating, Kebohongan Publik



Oleh: Agus Pambagio


Menyusul banyaknya pesawat udara yang mengalami incident (bermasalah saat tinggal landas atau mendarat karena adanya kesulitan teknis, tetapi tidak menimbulkan korban dan kerusakan) dan accident (kecelakaan yang menimbulkan kerusakan dan korban jiwa), pemerintah Indonesia dalam hal ini

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU), Departemen Perhubungan (Dephub) telah mengeluarkan hasil penilaian keselamatan (safety rating) terhadap beberapa maskapai penerbangan nasional termasuk angkutan kargo. Penilaian ini menurut Dephub didasarkan pada standar Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 4121 yang harus menjadi acuan semua maskapai berjadwal dengan kapasitas penumpang lebih dari 30 orang dan berjadwal kargo. Melalui rating tersebut, Dephub berharap selain untuk memberikan efek jera kepada maskapai penerbangan yang tidak taat pada peraturan, juga untuk memperbaiki citra DJU atau Dephub sendiri,khususnya Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara (DSKU).

Namun, langkah yang diambil Dephub dengan menerapkan safety rating ternyata telah menyesatkan dan membohongi publik. Mengapa? Karena: (1) dalam dunia penerbangan terkait CASR 4121 tidak dikenal istilah Safety Rating, yang ada Performance Airline Rating, (2) yang melakukan audit bukan auditor independen, tetapi jajaran Dephub sendiri yang selama ini telah berperan dalam pembunuhan secara perlahan namun pasti industri penerbangan. Safety atau keselamatan dalam industri penerbangan bukan merupakan faktor yang dapat diberikan pemeringkatan atau rating. Safety itu suatu hal yang mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Tidak ada satu pun regulator di negara lain yang memberikan pemeringkatan hanya pada aspek keselamatan seperti yang dilakukan DJU. Adanya Safety Rating ini semakin memperkuat perkiraan publik bahwa DJU memang tidak mampu bertindak sebagai regulator yang melindungi konsumen. Jadi jangan heran jika semakin lama angka accident maupun incident penerbangan di Indonesia semakin tinggi.

Dilema Hasil Pemeringkatan

Pemeringkatan performa penyedia jasa penerbangan merupakan alat komunikasi yang baik antara operator, regulator, dan konsumen. Informasi yang harus disampaikan kepada konsumen terkait performa ini harus akurat dan sesuai dengan standar (termasuk kriteria yang digunakan) dan dilakukan pihak-pihak yang berwenang melakukan pemeringkatan. Idealnya dilakukan sebuah lembaga independen yang terlepas dari struktur regulator dan operator.

Terkait dengan pemeringkatan atau rating ini bisa menjadi sebuah kebohongan publik jika dilakukan dengan tidak benar,meskipun maksudnya benar. Dampaknya akan membingungkan konsumen dan tentu saja industri penerbangan. Banyak pihak termasuk Komisi V DPR meragukan kriteria atau parameter yang digunakan DJU Dephub. Akibatnya,muncul banyak pertanyaan baik dari maskapai, publik maupun Komisi V DPR sendiri, seperti: ”Lah Garuda Indonesia ternyata berada di kelompok II? Padahal ke mana pun Presiden SBY melakukan kunjungan, hampir selalu menggunakan pesawat Garuda Indonesia”.

Artinya, DJU telah mengikutkan Presiden SBY dalam arisan nyawa di udara seperti layaknya penulis yang hanya rakyat biasa ini. Sementara itu di negara mana pun, keselamatan seorang presiden harus di atas keselamatan rakyatnya alias tidak bisa ditawar-tawar lagi.Alat transportasi yang digunakan juga harus super aman, tidak boleh sekadar aman atau aman ala kadarnya dan masuk kategori II. Jadi jangan heran jika Komisi V DPR saat rapat dengar pendapat dengan Menteri Perhubungan,juga meminta agar pemerintah tidak mengumumkan terlebih dahulu hasil rating tersebut (meskipun selang beberapa jam kemudian diumumkan), karena DPR ingin tahu lebih mendalam tentang kriteria yang digunakan.

Jika kita bicara tentang kriteria penilaian, menjadi kabur karena ada maskapai penerbangan lain yang sering sekali mengalami incident dan accident dalam lima tahun terakhir ini (seperti sering mendarat darurat, terperosok ke luar landasan, menyasar ke landasan nontujuan, pelampung tidak lengkap) juga masuk pada kategori II, bersanding dengan beberapa maskapai yang sering diaudit FAA maupun auditor independen dengan hasil baik serta sering digunakan presiden dan pejabat tinggi negara lainnya. Apakah ini adil? Dan adakah dampak negatifnya? Tentu ada. Dampak dari keluarnya Safety Ratingini sudah mulai bermunculan.

Pemerintah Australia sudah memperingatkan warganya yang akan bepergian ke Indonesia menggunakan penerbangan domestik. Ini tentu akan berdampak pada sektor pariwisata. Belum lagi kemungkinan para vendor maskapai Indonesia akan memberlakukan pembayaran tunai jika membeli suku cadang atau melakukan perawatan pesawat alias tidak bisa mencicil. Belum lagi akan naiknya biaya premi asuransi bagi maskapai yang masuk pada kategori II dan III yang tentunya akan berdampak pada naiknya harga tiket.Yang lebih mengerikan lagi,jika sampai ada pesawat maskapai penerbangan Indonesia yang dilarang masuk wilayah regional Asia karena membahayakan penerbangan mereka. Seperti yang pernah terjadi di beberapa negara Eropa tahun lalu terhadap beberapa maskapai LCC dari Afrika dan Asia.

Apa yang Harus Dilakukan Konsumen dan Maskapai Penerbangan?

Sesuai UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf (a): ”Hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa”, pemerintah memang harus melindungi konsumen penerbangan yang tahun ini mencapai 30 juta penumpang lebih. Jika pemerintah ingkar, termasuk melakukan pembohongan publik dengan memberikan informasi yang tidak tepat (meskipun secara niat sudah baik),sesuai dengan UU No 8/1999 Pasal 46, konsumen dapat melakukan gugatan kelompok atau class action.

Dan bagi maskapai penerbangan yang merasa dirugikan atas informasi pemeringkatan tersebut dapat mem-PTUNkan Departemen Perhubungan. Terlepas dari beberapa kritikan yang saya tulis ini, saya cukup apresiatif pada DJU Dephub atas usaha membuat shock therapy ini. Namun, alangkah elegannya jika DJU Dephub dapat segera melakukan pemeringkatan ulang yang benar dan sesuai dengan aturan yang berlaku agar hasil pemeringkatan tersebut dapat menjadi alat komunikasi yang baik dan menyejukkan publik,tetapi ”menjewer”maskapai penerbangan nakal yang tetap beroperasi dan tidak peduli dengan keselamatan penerbangan.(*)

URL Source:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/safety-rating-kebohongan-

AGUS PAMBAGIO Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??

David
HP. (0274)9345675