Minggu, 24 Agustus 2008

Mimpi Buruk Dunia Penerbangan

Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail

Kita berharap di tengah masa sulit ini , Dinas Kelayakan Udara tidak bosan bosannya agar selalu mengadakan audit safety on the spot langsung ke lapangan , karena banyak disinyalir , salah satu instrumen yang dikalahkan untuk menutup biaya operasi adalah memberikan toleransi yang berlebihan dalam hal safety

Prediksi Presiden IATA Mr.Silvio Basignani yang menyatakan bahwa tahun 2008 trafik penumpang angkutan udara dunia tahun 2008 tumbuh 15 persen memasuki bulan April 2008 ini bisa menjadi sebuah tanda tanya besar .

Memasuki bulan April ini saja beberapa airline LCC (low cost carrier) di Amerika pun sudah bangkrut , catatan data maskapai LCC , Aloha Airlines , Sky Bus , ATA airlines sudah melakukan operasi terbang lagi (noops) , begitu juga di Hong Kong , Oasis Airlines juga bangkrut sedangkan di Indonesia , Adam Air , suspended untuk melayani masyarakat Indonesia , dan jika dalam waktu tiga bulan ke depan , AOC - ijin terbangnya akan dicabut pemerintah.

Begitu pada awal tahun 2008 , harga minyak dunia menyetuh .100 dolar AS per barel maka asumsi cost budget untuk fuel consumption yang dihitung maskapai menjadi meleset semua , maskapai rata-rata untuk cost budget fuel nya tahun 2008 di asumsikan pada angka.95 dolar AS/barel. Bayangkan sementara data terakhir ini , harga fuel bahkan pernah menyentuh level 135 dolar AS/barel .

Jelas angka tersebut di luar kontrol dari maskapai dan sudah cenderung un managedable lagi , sebuah mimpi yang sangat buruk memasuki kuarter pertama tahun 2008 , di mana empat bulan awal tahun justru traffic penumpang masih dalam tahapan low period dihantam kenaikan fuel yang menggila. Lebih parahnya lagi , maskapai rata-rata hanya mempunyai satu instrumen yang dimainkan untuk mengimbangi kenaikan harga fuel , yakni hanya gemar menaikkan fuel surcharge , sehingga beban penumpang juga akan semakin berat , karena ujung-ujungnya harga tiket akan semakin mahal akan tetapi penumpang tidak akan memperoleh tambahan kualitas servis karena maskapai juga tentunya memotong cost auxiliary service yang diberikan dengan alasan penghematan anggaran .

Ilustrasinya di lapangan , bayangkan untuk satu botol kecil air mineral isi 30ml saja penumpang di dalam pesawat harus membeli Rp 5.000 padahal kalau d iluar hanya dijual Rp1.500/per botol , kenyataan pahit , kualitas pelayanan versus profit oriented sepihak dari maskapai ?

Kondisi maskapai domestik.
Pertumbuhan maskapai Indonesia saat memang unik dan penuh dinamika , semua maskapai di tanah air meng klaim semuanya sebagai maskapai ekonomis / LCC. Akan tetapi dalam kenyataannya di lapangan , klaim sebagai maskapai LCC nampaknya masih jauh dari kenyataan .

Contoh kecil saja , semua maskapai LCC di Indonesia , menawarkan program layanan ekslusif berupa membership yang di iming-imingi member bisa akses menunggu di executive lounge, padahal kita semua paham bahwa layanan di executive lounge ini adalah fully cost dan merupakan trade mark layanan untuk full service airline bukanlah bentuk layanan yang disarankan untuk LCC .

Nampaknya konsep LCC di tanah air masih rancu , satu kaki kepengin berhemat akan tetapi di tempat lain , masih jor-joaran fasilitas - yang sebenarnya sarat dengan biaya yang tinggi. Belum lagi semua maskapai LCC juga membangun call centre , padahal contoh sudah diberikan Citilink dahulu , hanya membuat reservasi dari internet base saja cukup , hemat biaya dan bisa diakses kapan dan di mana saja .

Dampak kenaikan harga minyak dunia memang luar biasa, semua kena imbasnya , tidak terkecuali dunia penerbangan kelas dunia pun , santer terdengar maskapai kelas wahid Singapore Airlines pun juga akan mengurangi frekuensi nya ke salah satu tujuan ke kota Amerika Serikat karena biaya operasi yang sangat tinggi , utamanya fuel consumption yang bisa menyedot 43 persen dari total biaya yang dikeluarkan .

Sebagai perbandingan saja , survei menunjukkan bahwa sebelum kenaikan bahan bakar menyentuh level 130 dolar AS/ barel , dengan asumsi harga minyak.90 dolar AS saja untuk maskapai LCC , percentage cost -nya saja untuk bahan bakar sudah menyedot 60 persen dari total biaya operasi , apalagi dengan harga 130 dolar AS pasti cost untuk fuel menyedot kisaran 60-80 persen sendiri .

Pertanyaannya , dengan masih terjadinya perang tarif antar LCC , apakah profit margin yang didapat oleh LCC akan menutup biaya fuel dan lain lainnya . Yang menjadi kekhawatiran kita semua jangan sampai keterbatasan fleksibilitas anggaran ini mempengaruhi tingkat jaminan keselamatan pesawat , perawatan pesawat , pembelian suku cadang yang semestinya harus diganti .

Kita berharap di tengah masa sulit ini , Dinas Kelayakan Udara tidak bosan bosannya agar selalu mengadakan audit safety on the spot langsung ke lapangan , karena banyak disinyalir , salah satu instrumen yang dikalahkan untuk menutup biaya operasi adalah memberikan toleransi yang berlebihan dalam hal safety .

Biasanya penumpang memang sangat sulit untuk merasakan langsung dampaknya , contoh yang paling nyata adalah kasus pada Adam Air , temuan dari Dep Hub membuktikan hal tersebut.

Penghematan
Di luar biaya bahan bakar , dan maintenance /perawatan pesawat , ada beberapa overhead cost yang tampaknya masih bisa ditekan . Saya pernah membaca dalam internal news magazine salah satu maskapai tanah air , untuk crew ron (menginap) mereka mulai menyewa mess yang dimodifikasi sehingga cukup layak dan nyaman untuk ditinggali sebagai base crew ron, bayangkan kalau ada beberapa kota di Indonesia mereka kapten pilot dan cabin crew-nya mempunyai awareness mau tinggal di mess yang memang layak pakai tentu ini merupakan salah satu jurus penghematan yang patut diacungi jempol , daripada hanya memaksakan gengsi ron di hotel berbintang tiga ke atas asal semuanya tidak berpengaruh pada aspek safety , semua masih sah sah saja. Sebenarnya beberapa langkah penghematan dalam hal aspek tiketing , dahulunya memakai paper tiket ,hampir semua maskapai sudah beralih ke elektronik tiket (paperless) sudah dilakukan .

Bayangkan jika satu tiket dulunya memakan biaya tiga dolar AS per tiket sekarang dengan memakai teknologi e-ticket biaya per tiket hanya satu dolar AS per lembar , bila setahun, dari penghematan biaya tiket sudah mencapai puluhan miliar rupiah, sungguh penghematan yang rasional di tengah badai harga miyak dunia yang mencekik.

Market traffic penumpang domestik sungguh luar biasa, tahun 2008 ini diprediksi ada 40 juta orang yang akan memakai moda transportasi udara , dan perputaran uang di bisnis penerbangan ini ada 60 triliun rupiah per tahun , suatu angka bisnis yang masih sangat menjanjikan .

Tinggal bagaimana pihak operator penerbangan bisa menyikapi secara prudent dan bersikap profesional dalam mengelola bisnis penerbangan sarat dengan regulasi serta kompetisi yang sangat tajam . Selamat berkompetisi secara fair dan sehat.

Arista Atmadjati SE MM
Manager Sales Marketing Garuda Indonesia Banjarmasin


Tidak ada komentar: