Rabu, 20 Agustus 2008

Otoritas Penerbangan Sipil Harus Dipisahkan

Jakarta, Kompas - Indonesia harus membentuk otoritas penerbangan sipil yang lebih independen dan terpisah dari Departemen Perhubungan. Kebijakan ini untuk mengoptimalkan upaya meningkatkan keselamatan penerbangan.

Demikian dikatakan pengamat penerbangan Chappy Hakim, Sabtu (26/7) di Jakarta. "Indonesia dapat meniru Federal Aviation Administration di AS. Bila otoritas penerbangan sipil tidak dipisahkan, sulit bekerja optimal," ujar Chappy.

Saat ini penanggung jawab kelaikan udara adalah Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.

Selain itu, Chappy mengimbau agar Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) bertanggung jawab langsung kepada presiden, tidak di bawah Departemen Perhubungan. "Bila ingin serius menurunkan kecelakaan penerbangan, seharusnya KNKT lebih independen," ujarnya.

Juru Bicara KNKT JA Barata menegaskan, meski di bawah Dephub, dalam menginvestigasi kecelakaan tim KNKT dijamin independensinya. "Karena anggaran KNKT dari Dephub, secara struktural KNKT di bawah Dephub," ujarnya.

Meski diakui masih ada kekurangan dalam keselamatan penerbangan, Chappy menilai larangan terbang oleh Komisi Eropa terhadap maskapai Indonesia adalah arogansi semata. "Sejak awal saya mencurigai alasan teknis yang dikemukakan. Komisi Eropa tidak pernah langsung mengecek kelaikan terbang pesawat kita," ujar Chappy.

Chappy meminta agar peningkatan keselamatan penerbangan dilakukan atas kemauan regulator dan operator nasional, bukan karena institusi tertentu.

Menurut Abdul Hakim, anggota Komisi V DPR, pelarangan terbang oleh Komisi Eropa sangat politis. Hal itu adalah upaya mendelegitimasi keamanan maskapai penerbangan nasional sehingga maskapai asing dapat masuk ke Indonesia.

Ekspor terganggu

Perpanjangan larangan terbang ke Eropa bagi maskapai penerbangan Indonesia dikhawatirkan akan semakin menurunkan ekspor ikan hias Indonesia. Pada tahun 2007, nilai ekspor ikan hias 9,3 juta dollar AS, turun 33,3 persen dibandingkan dengan tahun 2006.

Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung menyatakan, larangan terbang ke Uni Eropa yang diberlakukan sejak tahun 2007 menghambat ekspor ikan hias yang mengandalkan transportasi udara. Akibatnya, 70 persen ekspor produk ikan hias Indonesia ke Uni Eropa dilakukan lewat Singapura.

Ketergantungan terhadap Singapura menyebabkan Indonesia kehilangan nilai tambah produk hingga 50 persen. (lkt/ryo)

Tidak ada komentar: